4. Gibran Sesungguhnya

16 3 2
                                    

"Apa alasan kamu tertarik kepada seseorang bila tidak soal fisiknya terlebih dahulu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa alasan kamu tertarik kepada seseorang bila tidak soal fisiknya terlebih dahulu?"

Gibran Adi Wicaksana POV

Dalam kebisingan yang nggak jelas, gue memperhatikan orang sekitar. Ada yang sedang berdiskusi sambil mengerjakan tugas, ada juga yang sedang menyantap kopi sambil membaca buku. Dan oh! Ada juga yang sedang saling tatap dengan penuh kasmaran pada atmosfir mereka. Elah, lo pikir dunia ini cuma punya lo berdua? Ingin rasanya gue suruh mereka pindah ke Mars!

Hari ini gue sedang menunggu seorang gadis yang gue temukan di dating apps. Namnaya Maya Saphira. Dari namanya saja sudah cantik, makanya gue nggak ragu mengetikan kata 'cantik' pada setiap kalimat pesan yang gue kirim untuknya. Tapi nggak tahu kenapa, dia selalu membalas pesan gue seperti tidak niat. Pada akhirnya buliran pesan tersebut bakal terlihat seperti gue yang sedang mewawancara dia.

Seorang gadis datang membuka pintu coffee shop. Semua kepala terangkat dan pandangan fokus kepada gadis itu, termasuk gue –yang pada saat itu memang selalu bergerak cepat melihat siapa yang datang karena sedang menunggu Maya. Gadis itu berambut panjang dengan mata tajam. Pandangannya tak ramah, dan ia terlihat berusaha menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya yang lurus.

Gue langsung mengangkat senyum ketika meyakini bahwa dia adalah Maya. Belum sempat mengacungkan tangan, Maya tiba-tiba saja duduk di hadapan seorang pria berjaket denim –dan sialnya jaket yang dia pakai sama kayak yang gue pakai sekarang– di sudut ruangan. Pria itu terlihat kebingungan dengan kehadiran Maya.

Ini gue yang salah menyangka itu Maya atau Maya yang salah menyangka bahwa pria itu gue?

Gue belum beranjak dari tempat, karena gue jadi merasa ragu. Akhirnya gue putusin untuk kembali mengirimkannya pesan meski pesan gue sebelumnya sama sekali nggak dijawab oleh Maya.

May, lo udah sampai?

Tidak ada pergerakan gadis itu yang menunjukan bahwa dirinya adalah Maya. Terbukti dari perilakunya yang sama sekali tidak melirik ponsel. Setidaknya bila itu Maya, mungkin saja dia mengecek dulu pesan yang gue kirim, kan?

Pandangan gue masih belum lepas dari gadis yang gue yakini adalah Maya itu. Ditambah lagi mereka dikejutkan dengan kehadiran gadis lain di sana seakan menciduk mereka. Okay, yang gue cari sekarang adalah kamera dan tim Katakan Putus karena siapa tahu mereka sedang shooting.

Mereka bertiga sukses menjadi penonton dadakan. Termasuk gue. Beginilah rakyat negara ini, lebih menyukai urusan pribadi orang lain ketimbang menundukan kepala dan meyakini bahwa yang sedang terjadi bukanlah konsumsi publik. Halah, sok kritis banget gue. Hehehe.

Gue bisa mendengar mereka memperdebatkan kata Tinder. Keyakinan gue semakin meningkat bahwa Maya sempat berkata, "Kok lo malah jelekin gue, sih? Jelas-jelas lo yang ngajak ketemuan duluan!"

Fakta, memang benar bahwa gue yang mengajak Maya untuk ketemu duluan di tempat ini. Gue bahkan menentukan hari dan jam sebelum Maya yang mengiyakan. Gue juga menginformasikan bahwa hari ini gue pakai jaket denim dan sepertinya Maya sudah salah sangka karena pria di sudut ruangan itu memakai jaket yang sama dengan gue.

Tidak mau semakin keruh, gue memutuskan untuk menghampiri mereka. Gue tiba di meja mereka ketika gadis di sebelah Maya memutuskan pria itu.

Refleks gue menggenggam tangan Maya, agar dia menyerahkan atensinya ke gue. Dia pikir gue nyosor nggak, ya? Belum apa-apa gue udah pegang tangan aja.

"Maaf, cowok yang dia maksud adalah gue." Potong gue di tengah drama romansa mereka. Jujur, gue malu pakai banget. Kehadiran gue seakan mengubah genre drama yang tadinya sad romance menjadi comedy.

Pandangan akhirnya gue alihkan kepada Maya yang menatap gue dengan tatapan yang nggak bisa dideskripsikan. Marahkah? Atau malu?

"May, ini gue. Gibran." Gue mencoba menjelaskan gue ini siapa.

Maya mengerjapkan matanya beberapa kali. Mungkin dia butuh waktu untuk mengerti akan situasi. Sampai akhirnya tangan yang sedang gue genggam berubah menjadi dingin. Gue paham betul dia sedang malu setengah mati.

"Mba, gimana, sih? Bikin malu saya, aja!" Bentak pria itu kepada Maya.

Gue menarik Maya untuk bangkit dari kursi dan menuntunnya untuk berdiri di belakang gue. Seakan gue lah yang pasang badan untuk Maya. Jujur gue merasa keren saat ini. Entah dengan Maya, mungkin saja dirinya tidak mau berkomunikasi dengan gue setelah ini.

"Maafin ya, Mas." Cuma itu yang bisa gue katakan. "Dia salah orang. Dan jaket saya sama dengan Mas-nya."

Tidak mau memperpanjang, gue menarik Maya untuk keluar dari coffee shop ini. Sampai akhirnya di parkiran dia melepaskan genggaman gue.

Gue membalikan badan dan mendapati Maya yang memegang kening dengan telapak tangannya. Pandangan gadis itu dilemparkan ke sembarang arah –yang penting mata kami nggak bertemu.

"May..—" Baru saja gue berniat manggil namanya, dia menimpal.

"Lo kalo ngasih ciri-ciri yang spesifik dikit, dong!"

Caranya menegur gue bikin gue menahan tawa. Dia sedang belagak sok tegas, tapi bisa gue lihat pipinya begitu merah. Alhasil gue mempersilahkan dia mengomel sepuasnya.

"Lo pikir yang punya jaket denim cuma lo doang?" Dia baru berani menatap gue. Tapi nggak lama, cuma beberapa detik. "Belom lagi profil tinder lo nyantumin satu foto, doang! Nunduk lagi! Mana bisa gue liat muka lo!"

Dia berhenti mengomel ketika mendapati gue memperhatikannya dengan senyum. Delikan matanya setajam jarum yang menusuk jari. Sepertinya dia sudah bingung untuk menyalahkan gue dengan hal apalagi.

"Udah ngomelnya, cantik?" Tanya gue yang hanya dijawab dengan bola matanya yang berputar tanda nggak suka. "Mending kita ke tempat lain, yuk. Gue yakin lo udah nggak mau ke tempat ini lagi, kan?"

Akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke restoran cepat saji yang berada di ujung jalan. Dia awalnya menolak, katanya sudah tak selera untuk berinteraksi. Tapi gue mencoba meyakini Maya untuk tidak membahas kejadian tadi.

Sebelum Maya masuk ke dalam mobil gue memanggilnya kembali.

"Tapi makasih ya, May." Gue menggantungkan ucapan terimakasih untuk menunggu respon selanjutnya darinya.

Maya memiringkan kepalanya agar dapat melihat gue. "Untuk apa?"

"Karena mau ketemu orang yang wajahnya aja lo nggak tau sama sekali kayak gimana."

"Apasih?" Ketus Maya. "Memang kalo wajah lo nggak keliatan apa spesialnya?"

"Bukannya fisik segalanya di zaman sekarang?"

Maya berkacak pinggang. "Lo nggak sejelek itu kali."

Gue mengembangkan senyum ketika Maya membanting pintu mobilnya. Gadis yang gue temui benar-benar unik. Pada dasarnya dia memang sudah jutek, tetapi ketika dia merasa malu, juteknya bertambah dua kali lipat.

GIBRANISME | WAYV AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang