"Lucu sekali dunia ini. Takdir kita ditentukan dari kompaknya jarimu dan jariku berselancar ke arah kanan di atas layar ponsel."
Zara mengernyitkan dahi ketika mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh sahabatnya, Maya. Sudah sebelas tahun untuk mereka saling mengenal. Dengan pertemanan selama itu, Zara tahu betul bagaimana Maya memilih keadaan.
Maya bukanlah orang yang mudah jalan dengan orang yang baru ia kenali. Untuk dapat mengajak Maya jalan atau segala macam, gadis itu mempunyai batasan dan aturan. Minimal kenal dengan dirinya selama satu tahun baru pria itu bisa mengajak Maya pergi.
Dan baru saja beberapa detik, gadis yang sedang merebahkan tubuh di atas kasur dengan kaki yang menjulang bersandar ke tembok layaknya huruf 'L', mengatakan bahwa dirinya sudah mengunggah aplikasi tinder.
"Nggak usah aneh-aneh, May! Inget bokap lo strick abis." Omel Zara.
Maya terlihat tak peduli. Gadis itu orang yang begitu keras kepala dan susah menerima masukan dari orang lain. Makanya sang ayah menyuruh dirinya kuliah jurusan Hukum. Siapa tahu bisa jadi pengacara kondang karena bisa selalu mempertahankan pendapatnya.
"Nggak ada hubungannya ya, Zar." Jawabnya santai.
"Ya ada, dong." Nampaknya Zara masih mencoba meyakinkan Maya. "Banyak cerita miring dari tinder. Ya dibawa kabur lah, di tipu ratusan juta, lah. Dan oh, ya! Kita bahkan sempet nonton dokumenternya, kan? Tinder Swindler! Apa lo nggak takut, May?"
Maya tak langsung menjawab dan Zara yakin gadis itu sedang memutar otak bagaimana caranya untuk menimpal jawaban.
"Mungkin orang-orang yang ketipu atau dibawa kabur itu karena mereka cinta kali sama pelakunya."
"Memangnya lo nggak akan gitu?" Zara menaikan sebelah alisnya.
Maya segera menggelengkan kepala. "Ya nggak lah, Zar. Gue cuma pengen lebih mendalami interaksi sama cowok tuh kayak gimana."
Zara memicingkan mata seraya bibirnya ragu-ragu akan berbicara. Maya paham betul bila Zara begitu, tandanya ada yang ingin Zara sampaikan tapi takut menyinggung hati Maya.
"Kenapa, Zar? Ngomong aja, sih." Kalau tidak dipersilahkan, Maya yakin Zara akan menyampaikannya lewat chat panjang dan ujung-ujungnya mereka adu mengetik.
"Kenapa lo nggak pacaran sama temen kantor lo itu, sih? Si Dimas."
Zara meneguk ludah karena Maya langsung merubah ekspresinya seakan berniat menyantapnya saat itu juga.
"Pake 'Mas' manggilnya!" Protes Maya kepada Zara. Sudah berapa kali dikasih tahu, berapa kali juga Zara melanggar. "Gue udah bilang berkali-kali kita nggak bisa pacaran. Dan kan lo tau juga gue sama Mas Dimas cuma temen? Dia tipikal cowok yang baik sama semua orang gitu. Harus berapa kali sih, Zar gue jelasin?"
Melihat Zara yang sudah menggerakan bibirnya, Maya buru-buru melemparkan ponselnya ke arah Zara.
"Mending lo pilihin cowok yang pas buat gue."
Zara mengikuti permintaan sahabatnya itu. Tanpa sepengetahuan Maya, Zara mengatur kategori umur yang diminati. Awalnya Maya mengatur dari usia 25 hingga 30 tahun. Tapi Zara mengubah ke 20 sampai 25 tahun.
Sedangkan dilain sisi Maya sibuk dengan pikirannya. Tentang alasan sebenarnya Maya berhenti menulis, sampai keinginan Dimas yang berharap sang 'Terang Bulan' kembali. Ada perasaan takut dalam hati Maya. Bagaimana jika dirinya mengecewakan kembali pembacanya?
Ngomong-ngomong soal 'Terang Bulan', Maya selalu menganggap dirinya sebagai bulan. Kali ini posisinya layaknya bulan sabit. Sebagian dari dirinya tertutup oleh benda langit bernama matahari. Ya, Maya pun merasa sebagian dirinya tertutup ketika berhenti menulis.
Sekitar setengah jam Maya larut akan pikirannya sendiri. Hingga pada akhirnya ia dikejutkan dengan teriakan Zara.
"MANTAP. MATCH!"
Maya melirik Zara yang sedang fokus pada ponsel. Wajahnya begitu sumringah seperti sudah memenangkan lotre. Kalau saja Maya bisa dokumentasikan, ia ingin menjepret momen tersebut.
Sebuah foto seorang pemuda menggunakan kacamata disodorkan oleh Zara kepada Maya. Wajahnya tak begitu jelas karena pemuda itu sedikit menunduk. Yang jelas alis tebal milik pemuda itu menyita atensi Maya saat pertama kali melihat foto tersebut.
"Lumayan kan, May?" Zara seakan bangga dengan hasil jarinya yang telaten menggeser ke kiri dan kanan di atas layar ponsel. "Namanya Gibran. Kayaknya sih orangnya romantis."
"Dari mana lo tau?" Maya meragukan pernyataan Zara.
"Dari namanya."
Begitulah Zara. Dia selalu mengambil kesimpulan dari hal kecil.
"Nggak semua yang namanya Gibran itu puitis kayak Khalil Gibran, Zar."
Zara sudah berniat menimpal teori cocoklogi-nya, ponsel Maya tiba-tiba berbunyi ㅡtanda bahwa ada sebuah notifikasi masuk. Baru saja diperdebatkan, sosok bernama Gibran itu mengirimkan pesan melalui aplikasi tinder.
Gibran
Halo, Maya. Salam kenal, cantik."NAJIS." Umpat Maya secara terang-terangan.
Zara mengetikan sesuatu sambil tersenyum. "Santai kali, May. Belom apa-apa udah najis-najis aja."
Karena sudah lama tidak berinteraksi dengan lawan jenis, Maya jadi mudah geli. Ia begitu merinding dengan ketikan Gibran yang belum apa-apa sudah memujinya. Padahal di dalam aplikasi tersebut Maya hanya menampilkan satu foto, dirinya yang sedang melakukan mirror selfie.
Berbeda dengan Zara, dia sering berinteraksi dengan pemuda-pemuda di kantornya. Entah itu dari vendor ataupun karyawan magang yang selalu ia latih. Maka dari itu Zara mengambil alih tugas Maya untuk berinteraksi dengan kaum adam di aplikasi tinder.
"Lo sabtu depan ada acara, nggak?" Tanya Zara secara tiba-tiba. Pandangan gadis berbola mata besar itu masih fokus ke layar ponsel.
Maya tidak menyadari akan situasi yang ada. Alhasil ia menjawab dengan santai, "Nggak ada. Lo mau minta anterin kemana, dah?"
Yang dipikiran Maya adalah kemungkinan Zara yang minta ditemani ke suatu tempat. Padahal kenyataannya Zara sedang mengatur waktu untuk Maya dengan seseorang.
"Oke, jam empat sore di Brewspace Coffee & Creative Space. Dia bakal ketemu sama lo di sana."
Maya tidak bergeming selama beberapa detik. Ia mencoba menelaah setiap kata yang Zara ucapkan. Ketika otaknya sudah terkoneksi, Maya refleks melempar bantal ke arah sahabatnya.
"KAMPRET!" Maya bersiap menggerutu. "Perasaan lo yang menentang gue download dating apps, kenapa lo yang sekarang semangat, sih? Gue tau ini ide gue. Tapi ya jangan mendadak gini, dong! Ah, nggak asik lo, Zar."
Zara tidak menjawab apapun dan memilih untuk menertawakan kepanikan sahabatnya. Suruh siapa main-main dengan dating apps. Giliran sudah Zara aturkan pertemuan, nyali Maya kecut juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIBRANISME | WAYV AU
Teen FictionSeorang penulis online yang dikenal sebagai 'Terang Bulan' sudah menjalani hiatus selama satu tahun. Hal itu disebabkan ia mengalami 'writer's block'. Sebelum hiatus, pembaca setia 'Terang Bulan' mengomentari cerita bergenre romantis yang dibuat pe...