7. Receiving Gifts

21 3 1
                                    

"Kadang, kamu sebenarnya sudah mengerti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kadang, kamu sebenarnya sudah mengerti. Tapi kamu menyangkalnya entah karena takut atau karena tidak terima."

Maya Saphira POV

Gibran
Udah dikirim via Go-Send ya, Cantik.

Begitu pesan yang aku terima dari sosok pemuda tengil bernama Gibran. Tidak disangka ketika aku terburu-buru belanja ke swalayan untuk membeli beberapa kebutuhan di awal datang bulan, aku malah dipertemukan dengan Gibran. Padahal sudah beberapa hari aku mengabaikan pesannya karena ya.. ternyata aku sesulit ini berinteraksi dengan orang baru.

Sialnya, karena kecerobohan aku tak sengaja meninggalkan pembalut dan benda itu dibawa oleh Gibran untuk di antarkan. Awalnya aku menolak setengah mati karena aku bisa membeli lagi ketimbang harus bersosialisasi dengan Gibran kembali. Ternyata pemuda itu tetap teguh dengan pendiriannya untuk mengantarkan dengan alasan: 'ya mau disimpen sama gue juga buat apa? Gue nggak pake benda beginian.' Akhirnya aku menyerah atas perdebatan yang ada dan memberikan syarat barang itu boleh diantarkan tapi melalui aplikasi ojek online saja.

Sampai akhirnya ponsel aku berbunyi. Gibran menelfonku mengatakan gojek yang mengantarkan pembalutku sudah tiba di depan. Rasa percayaku kepada Gibran sangat nihil sehingga aku mengecek lewat jendela kamarku dan.. benar, kan? Gibran berbohong! Bukan gojek yang mengantarkan pembalutku melainkan dirinya sendiri!

Aku berjalan jengkel menghampirinya. Sebenarnya dalam otak aku sudah memikirkan hal ini tapi aku mencoba membuang kemungkinan itu. Ternyata apa yang ku pikirkan benar terjadi.

"Malam, Cantik." Sapa Gibran yang tengah duduk di atas motor Kawasaki KLX 150. Motor yang sangat diinginkan oleh Yudi, adikku.

Aku merapatkan kardigan yang sedang ku pakai karena angin yang semeliwir. "Selain jadi mahasiswa, ternyata lo sempet ngojek juga?"

Gibran terkekeh atas perkataan yang sama sekali tak pernah ku niatkan untuk memberi lelucon. Sepertinya bila dia kebingungan dengan omongan pedasku, dia hanya meresponnya hanya dengan tawa. Kalau aku jadi dia, mungkin aku tidak akan mengajak ngobrol orang semenyebalkan itu. Iya aku sadar, aku memang bersikap menyebalkan kepada orang pecicilan seperti Gibran.

"Mana?" Tagihku kepada Gibran karena tak mau berlama-lama.

Ia belagak tidak mengerti sampai akhirnya aku memperjelas semuanya. "Mana pembalut gue?"

"Nah, gitu dong yang jelas. Kan gue nggak tahu lo cari apa. Siapa tahu kan yang lo cari itu gue." Kata Gibran sambil membuka tas ranselnya.

Aku sama sekali tidak tertarik dengan gurauan yang diberikan Gibran. Sehingga yang kulakukan hanyalah diam seperti batu. Melihat aku tidak merespon dia berdeham dan telinganya berubah menjadi kemerahan.

"Ini." Dia memberikanku sekantung plastik besar yang ku yakini bukan hanya berisikan pembalut. "Pembalut lo ada di sana. Sisanya bonus dari mamang gojek. Buka-nya nanti aja, ya kalo udah di kamar."

GIBRANISME | WAYV AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang