Dua perbedaan Kisah Rasa

6 1 0
                                    

31 Juni 2022. Jam, 20:30 malam hujan turun begitu deras membuat aku mau tidak mau harus menunggu hujan redah. Aku menatap hujan di ruko ditempat persinggahanku berharap hujan cepat redah karena aku sudah merindukan kasur tempat paling ternyaman buatku.

"Nak sini jangan main hujan," panggil seorang ibu kepada anak nya yang buat aku sontak menatap kearah ibu tersebut.

Aku melihat sang ibu yang duduk beralas kardus dengan pakaian yang sudah terlihat kusam yang dipenuhi noda tanah di bajunya. Sang anak datang menghampiri sang ibu yang langsung duduk dipangkuan ibu. Mereka terlihat bahagia walau hanya beralas kardus untuk istirahat mereka.

Si-ibu yang merasa diperhatikan langsung melihat kearah ku. Aku pun langsung tersenyum canggung kearah ibu tersebut karena ketauan memperhatikan mereka, ibu itu tidak marah padaku dan malah membalas dengan senyuman. Gila, dunia begitu kejam kepada orang-orang seperti mereka. Dilihat tidak merasa hina dan malah memberi tatapan lembut kepada kami yang menatap iba kepada mereka. Berbeda denganku yang ditatap mereka, aku merasa risih padahal mereka tidak meminta uang sepeserpun kepadaku. Yang padahal mereka hanya sekedar menatap.

Aku pun kembali menatap hujan yang tak kian berhenti. Saat aku asik lihat kerah hujan dengan angan-angan ku akan hidup buyar seketika saat aku mendengar Si-ibu melantunkan lagu tidur kepada anaknya. Aku kembali melihat sang Ibu itu, bisa kulihat betapa bahagianya sang anak tidur  pangkuan si-ibu yang sedang menyanyikan lagu tidur buat nya. Sang ibu juga begitu, dia terlihat bahagia melihat anak tidur di pangkuannya.

Ibu itu berhasil membawa aku kembali nostalgia kenangan masa kecil. Kala itu aku ingat banget kursi goyang di mana tempat ibu ku merajut syal. Saat aku pulang bermain aku selalu menyempatkan diri untuk duduk di pangkuannya yang tanpa sadar aku sudah tertidur di pangkuannya.

Kenangan masa kecil yang aku suka. Sayangnya itu masa lalu masa aku kecil bukan sekarang. Sekarang yang ada itu tumpukan kertas. Ya, mau gimana. Namanya udah gede bukan anak-anak lagi.

Aku pun kembali menatap ke arah hujan yang kali ini sambil melantunkan doa kepada Tuhan. Memberikan mereka panjang umur kepada mereka peneman masa kecilku, mereka yang memberi aku rasa kasih sayang, mereka yang buat aku tahu sayang itu seperti apa.

Tak terasa hujan mulai reda, aku langsung menaiki motorku tak lupa ijin pamit kepada si-ibu yang sedang mengelus kepala anaknya. Si-ibu membalasnya dengan senyuman di iringi anggukan. Aku langsung ngegas motorku dengan kecepatan rata-rata.

Sesampainya di kosan aku melihat temanku Dino sedang duduk di teras kosanku. "Ngapain, bung?" Tanya ku padanya yang dibalasnya dengan cengar-cengir tidak jelas.

"Ngga jelas," ucapku menggelengkan kepala melihatnya cengar-cengir tidak jelas.

"Bosan gw dirumah, Ngga ada teman. Cuman gw sendiri dirumah," jelasnya maksud kehadirannya ke kosan ku.

"Oooo."

Aku mengambil kunci kosan ku dari saku celana membuka pintu kosan ku. Aku langsung masuk kerumah yang langsung di ikuti temanku dari belakang.

"Kosan lu kecil yah," ucapnya melihat ruangan kosan untuk pertama kali main ke kosan ku. Aku hanya tersenyum mendengar ucapan nya karena kenyataannya emang seperti itu, tidak yang perlu dibantah. Lari akan kenyataan yang sebenarnya dan bahkan sangat sederhana dan muda untuk diterima akan kenyataannya.

"Yah udah, lu mau minum apa?" Tanya ku padanya yang sudah sadari tadi rebahan dikasur.

"Kopi hitam aja, bung. Sekalian bawa asbak yah. Mau merokok gw," jawab nya dengan cengiran tak merasa bersalah telah mengusahakan teman nya.

"Nih," meletakan kopi dan asbak di lantai. Kosan ku tidak ada meja karena terlalu kecil aku lebih memilih tidak menggunakan nya. Lagian, ruangan ku hanya ada dua ruang. Dapur dan kamar yang juga sebagai ruang tamu.

"Makasih. Aku pengen bangat keluarga gw selalu ada buat gw," ujarnya tiba-tiba buat aku bingung harus mengatakan kalimat apa. Apalagi saat melihat wajah nya yang terlihat begitu sedih.

Jujur aku tidak terlalu mengenal teman ku Dino. Aku hanya mengenal nya dari teman ke teman, berawal mengiyakan ajakan Teman nongkrong yang ternyata dia membawa Dino dan mengenalkan nya pada ku.

"Yah, gimana yah, Din. Gw ngga tau harus bilang apa tapi jika gw lihat lu udah punya semua nya. Rumah yang besar, segalanya ada. Lu ngga perlu harus repot memikirkan apa -apa," Nasehat ku padanya berharap dia terlalu berlarut-larut kedalam kesedihan nya.

"Iya lu benar gw punya semua nya, tapi apa gunanya kalau mereka tidak peduli sama gw," ujar nya kembali mengeluhkan semua tentang kehidupan nya yang begitu  kesepian baginya. Tidak ada pelukan hangat kerinduan, tidak ada senyum selamat datang dikala pulang.

Aku menarik napas berat. "Bagaimana lu tau kalau mereka tidak peduli sama lu?"

"Yah dari semua nya. Dari mereka nggak pernah pulang, dari mereka yang tidak pernah nanya kabar aku bagaimana, semua lah," jawab Dino melihat kearah ku dengan tatapan nanar.

"Kau tau. Kadang kita tidak bisa mensyukuri apa yang kita punya dan lebih mengeluh apa yang kita tidak punya," ucapku sembari menghisap sebatang rokok yang sedari tadi aku nyalakan. "Kau tau? Sang anak ekonomi rendah mengeluh soal kebutuhan dia yang susah terpenuhi kepada orang tua nya yang sedang lagi beristirahat kelelahan bekerja,"

"Lu terlalu fokus ketidak hadiran mereka. Lantas, bagaimana hasil kerja mereka yang lu nikmati? Bukankah itu semua untuk mu? Bukan, kah, tanda nya mereka sayang sama lu? Jangan sering mengeluh karena ketidak hadiran, mereka kerja buat lu senang bukan buat lu merasa terbebani, buat lu tidak merasa kurang karena mereka pernah merasakan nya dan mereka ngga mau lu merasa itu," ujarku panjang lebar.

"Sejak kapan lu sebijak ini?" Tanya nya sedikit heran karena tidak pernah melihat ku memberi nasehat kepada orang lain. Aku pun menyadari nya kalau ucapan ku terlalu keren menasehati orang yang yang walau anggapan ku terlalu naif bagiku untuk menasehati orang sekeren itu, sedangkan aku tidak kalah jauh dari dia. Orang yang kurang bersyukur dan lebih sering mengeluh soal segala hal dan iri akan segala hal.

Aku tersenyum kepada nya. "Sudahlah lupakan itu semua. Mending kita bahas yang lain," ucap ku mengalihkan pembicaraan.

Kami pun membahas segala hal tentang dunia, sejarah, buku kesukaan. Apa saja kami bahas tentang segala hal yang random tapi menyenangkan untuk didengar.

Tidak terasa waktu menunjukkan jam dua belas malam, membuat kami memberhentikan obrolan kami karena besok kami harus kembali beraktivitas. Dino yang kuliah, aku yang harus bekerja dan malam lanjut kuliah jurusan HUKUM.

"Aku pamit yah," ucap Dino dari dalam mobil nya yang perlahan menggas mobil nya hingga tidak terlihat lagi.

Setelah melihat kepergian nya aku masuk ke kosan ku kembali dengan kegiatan ku akan keheningan. Aku mengambil buku ku tempat aku sering menulis segala hal tentang apa pun dan menyalin tulisan yang pernah aku tulis di ponsel ku tentang apa yang aku lihat.

Kita selalu membandingkan hidup kita pada orang lain, cemburu sama hal-hal yang tidak kita punya tapi dia punya. Orang tua yang baik, hidup yang tidak kekurangan, hangatnya rumah, cantik, ganteng. Semua tentang apa yang tidak kita punya, tapi pertanyaannya kenapa kita tidak pernah cemburu kepada apa yang kita punya dan dia punya?

Lagian, kalau kita sadar aku cemburuan kita tidak jelas tahu, bagaimana kita cemburu sama mata yang memandang telinga mendengar bukan kepada hati yang merasa. Kita melihatnya harmonis. Telinga mendengarnya dari mulut mereka, tapi apakah hatimu merasakannya? Jelas tidak kita memandang, kita mendengar, tapi kita tidak merasakannya kita hanya memandang situasi mereka, kita hanya mendengar situasi mereka dari mulut yang berbicara.

Jangan pernah cemburu kepada apa yang kita pandang kepada orang lain. Semuanya bohong. Percayalah. Hidup kita itu sudah enak, banyak yang ingin terlahir seperti kita, cintai kepunyaan kita dengan syukur dan kita akan memandang keindahan yang kita punya melebihi indahnya mata kita memandang kepunyaan mereka.

Setelah menulis tulisan tersebut aku memandang pemandangan luar pintu yang sadari tadi belum ku tutup karena aku sengaja membiarkan angin masuk keruangan kecil ku mendinginkan aku dari suasana panas akan ke irian.

"Andai kita bisa minta dilahirkan di keluarga yang kita ingin, kan. Pasti sangat menyenangkan," ucap ku dalam hati.

Perjalanan Cerita Dan MaknaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang