BAB 6: PARA PENAKLUK HANTU

4 1 1
                                    

Sudah lima tahun Wawan bekerja bersama Herman, baik sebagai barista maupun sebagai pemburu hantu. Kedua orangtuanya bangga, karena kini dirinya sudah memiliki rumah di Jakarta Timur. Ia sedang sibuk mengambil foto kedua adik kembarnya yang lulus dalam waktu bersamaan. Pun orangtuanya juga bangga bahwa Wawanlah yang membiayai kedua adiknya kuliah. Tiap kali Wawan pulang ke rumah, orangtuanya selalu membicarakan tentang dirinya yang sudah beberapa kali muncul di televisi. Mau acara lawak di malam hari ataupun acara wawancara di sore hari, komentar mereka tetap sama: kumis Wawan mempertampan dirinya. Meskipun demikian, pertanyaan soal pernikahan belum pernah dijawab; Wawan tetap kesulitan mencari pasangan, apalagi pasangan hidup.

Selagi Wawan menunjukkan foto kelulusan kepada kedua adiknya, Wawan mendapat pesan dari Herman: "Cepet balik, ada yang mau diomongin". Wawan tertegun, mengira bahwa Herman menemukan kesalahan dalam pencatatan data atau apa. Meski sudah bertahun-tahun mengurusi data spektroskopi dan komposisi partikulat udara, Wawan masih tetap kena marah karena salah memasukkakn data. Ia hanya terdiam dan mempersiapkan senyum mirisnya nanti.

Sesampainya di kafe Herman, Wawan tertegun. Kafe Herman tutup, meski baru jam dua siang. Ia bertanya-tanya. Apa pun yang mau dibicarakan oleh Herman, sepertinya hal yang cukup serius. Apakah Herman kini memutuskan untuk bekerja penuh sebagai pemburu hantu? Atau apakah kafe Herman dipaksa tutup oleh pemerintah karena masalah pajak? Hal terburuk yang dapat dipikirkan oleh Wawan saat itu adalah kepolisian memergoki bisnis gelap mereka dengan kenalan-kenalan Pak Rahmat. Namun jika demikian, sepertinya Wawan akan lebih dulu dihubungi polisi ketimbang Herman. Apa pun itu, Wawan hanya menghampiri kafe dan menunggu Herman membuka pintu.

Herman datang dari lantai dua setelah Wawan mengonfirmasi kedatangannya melalui gawai, lalu membukakan pintu. Ketika masuk ke dalam kafe, Wawan mendapati Fajri dan Sharla sedang duduk sambil merokok. Lucunya, Sharla terlihat sedang meminum anggur. Raut wajahnya dan Fajri terlihat berbeda dari biasanya.

"Wan," sapa Herman.

"Kenapa, Bang?" Wawan berjalan masuk bersama bosnya.

Herman mempersilakan Wawan duduk tanpa berbicara sama sekali. Wawan kebingungan. Tanpa melihat dirinya, Sharla menuangkan anggur merah ke cangkir kopi di depan Wawan. Wawan semakin kebingungan. Ketika ia memandang Sharla, Sharla merespon, "Percaya ama gua. Lu butuh."

Ketika Herman duduk, keempat pemburu hantu diam. Cukup lama diamnya, sehingga Wawan merasa tidak nyaman. Ia bertanya lagi, "Ada apaan, Bang? Mbak?"

Tidak ada respon. Wawan menebak, "Gua mau dipecat?"

Herman terkekeh singkat, "Nggak, Wan. Kerjalu emang nggak bener, tapi nggak sampe harus dipecat."

"Jadi apaan, Bang? Serem banget ini suasana."

Ketimbang mendengar jawaban Herman, Wawan mendengar helaan napas panjang dari Fajri. Kemudian, Fajri memperlihatkan layar gawainya pada Wawan. Wawan hanya dapat melirik sebentar, dan Fajri kembali menyimpan gawainya. Namun lirikan yang sebentar itu berhasil membuat Wawan terpatung.

"Minum, Wan, minum," Fajri menawarkan. Wawan butuh waktu untuk bernapas, dan seketika meneguk habis seluruh anggur di cangkir kopinya. Satu titik air mata menetes, entah karena anggur, entah karena apa yang ia saksikan pada layar gawai Fajri.

"Berapa?" tanya Wawan dengan suara serak.

"Berapa apaan?" Herman bertanya balik.

"Korban jiwa," jelas Wawan.

Herman bernapas sebentar, "Belum ada angka pasti. Perkiraannya delapan ribu."

Wawan memandang Herman lama, kemudian menutup mata dan menarik napas dalam-dalam. Ia menyumpah, "Anjir."

PARA PENAKLUK HANTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang