BAB 4: PETUALANGAN KE INDRAMAYU

24 2 0
                                    

Gelas-gelas kopi diadukan antar satu sama lain dalam sulangan. Isinya bukan kopi, melainkan champagne yang dibeli oleh Wawan demi merayakan kesuksesan pemburuan hantu pertamanya. Empat sekawan aneh sedang tertawa-tawa di lantai dua ruko yang ditinggali Herman dan Sharla, tepatnya di ruang kerja Sharla. Jam dinding menunjukkan pukul satu pagi.

"Mantep. Langsung dapet tips lima belas juta. Salut banget gua ama lu, Wan," senyum Herman yang kemudian meneguk cairan keemasannya; "Gua rela lu dapet tujuh setengah. Sumpah."

"Thank you, Bang," sengir Wawan.

"Uang haram langsung dibuang buat barang haram ya," komentar Fajri, yang gelas kopinya diisi kopi sungguhan, bukan champagne.

"Yoi," sambut Sharla yang wajahnya dimerahkan barang haram yang disebut Fajri; "Buat lu doang haram, Jri."

"No comment lah, sis. Gua yang beda server diem aja," gerutu Fajri.

Herman menimpal, "Udah terkenal begini jangan sampe terlena ama duit."

"Ngaca, tolol," kini Sharla yang menggerutu.

"Anjir, punya istri begini amet," Herman meneguk minumannya.

"Urusan rumah tangga nggak usah dibawa-bawa deh, sis," sahut Fajri. Tanpa melanjutkan basa-basi, Fajri langsung membahas kerjaan, "Nah, sisters, gua udah ngelolosin klien baru nih. Ini orang yang paling berani bayar mahal. Lokasinya di Indramayu."

"Indramayu?" Herman terkejut.

"Iya, Indramayu," Fajri mengonfirmasi; "Uang transport dia yang tanggung. Penginapan sampe duit makan juga. Kita nggak bakal keluar duit sesenpun. Cuma ya itu. Indramayu."

Herman berpikir sejenak, "Jauh, coy. Apalagi kalo harus bolak-balik. Perangkat gua di sini semua."

Sharla menambahkan, "Kalo harus stay seminggu di sana, gua nggak bisa ikut. Banyak klien."

Setelah diam sesaat, Fajri menengok kepada Herman, "Ada laptop kan, lu?"

"Ada."

"Nggak bisa pake laptop aja, sis?"

"Bisa sih. Yang gua masalahin cuma alat-alat yang lain aja. Dia minta paket lengkap?"

"Ya kalo berani nanggung idup kalian seminggu, pasti lah paket lengkap, sis. Orangnya banyak duit pasti."

"Berarti tinggal bawa semua alat aja ya?"

"Nah, tuh pinter lu."

Herman mengangguk walau ragu. Kini Fajri menatap kepada Sharla, "Lu gua gantiin dulu deh, sis. Sekalian liburan gua. Mayan lah, wisata ke hutan mangrove."

Sharla terbelalak. Untuk pertama kalinya, Fajri menawarkan diri terlibat dalam pemburuan hantu. "Serius lu?" ujar Sharla setengah berteriak.

"Ngapain aja sih emangnya? Paling kayak ketemu klien biasa aja, kan?" Fajri meremehkan Sharla.

Sharla tak merasa teremehkan, karena menurutnya, peran dia dalam pemburuan hantu memang bisa terhitung remeh. "Iya sih."

"Ada yang perlu gua perhatiin ga?" tanya Fajri.

"Kayak ngadapin klien biasa aja, Jri. Cuma ya, lebih fokus sama skizotipal sama skizofrenia aja. Penggunaan obat-obatan, konsumsi makanan ato minuman yang bisa jadi notable, ama orang-orang sekitar yang notable juga—mau potensi skizo atopun sugesti."

"My gosh, gampang bener. Gua berhenti jadi psikiater aja kali, kalo job-lu segampang itu."

"Yoi. Gua emang makan gaji buta doang."

PARA PENAKLUK HANTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang