02. Menikah?

51K 5.1K 251
                                    

Happy reading

***

Sudah sekitar sepuluh menit Liana hanya diam menatap dari arah pintu. Ya, menatap bagaimana sedihnya Imam, di mana dirinya juga tidak tahu lelaki itu menangis karena apa.

Sampai di detik kelima, bahu Liana ada yang menepuk. Hawa yang masih memakai mukena itu menatap Liana penuh heran, begitu juga sebaliknya.

"Kamu lihatin apa?" tanya Hawa.

Liana pun hanya mengalihkan pandang yang ia arahkan ke arah di mana ada Imam yang masih setia bersujud sembari menangis. Bukan hanya Liana saja rupanya yang bingung dengan Imam, tetapi Hawa juga.

Perempuan itu mengerutkan dahi dan bertanya, "Udah lama Imam nangis gitu?"

"Lumayan. Emang kalau orang salat itu harus nangis, ya, Mbak?" tanya Liana.

Hawa menoleh. "Ya, nggak juga, sih. Tergantung gimana kita. Kalau sampai nangis, biasanya lagi ada masalah, kalau enggak lagi ngerasa dirinya penuh dosa. Mbak juga sering, kok, nangis sehabis salat apalagi kalau iman Mbak lagi turun banget. Memang kamu gak pernah nangis pas salat?"

Liana menundukkan kepalanya. Lalu bercicit, "S-saya gak pernah salat, Mbak."

"Astaghfirullah." Hawa reflek menutup mulutnya karena merasa terkejut. Namun, baru saja perempuan itu hendak bertanya lebih jauh tentang Liana, suara isakan adiknya terdengar lebih kencang. "Mam!"

Hawa pun menghampiri adiknya itu. Imam langsung terbangun dari sujud, lalu memeluk sang kakak dengan air mata yang berlinang. Dada Imam bergemuruh, tidak bisa dielak bahwa rasanya sangat sesak. Liana hanya bisa mengikuti dari belakang tanpa tahu harus melakukan apa untuk mereka berdua.

Sedangkan, Hawa berkerut bingung. Tidak biasanya sang adik menangis di hadapannya sekejar ini.

"Kamu kenapa, Mam? Kenapa tiba-tiba nangis gini? Jangan bikin Mbak khawatir, deh," kata Hawa yang bertanya lembut sembari mengusap-usap punggung Imam.

"Imam dosa besar, ya, Mbak?" tanya lelaki itu dengan suara serak.

"Dosa besar? Memangnya kamu habis ngapain?"

Imam melepaskan pelukannya dari Hawa dan mengusap area hidungnya, kemudian berusaha untuk menenangkan diri dan kini matanya yang bengkak itu mengarah kepada Liana yang tengah menatapnya heran. Hanya sebentar Imam mengarahkan pandangan ke arah Liana, lalu dia berkata dengan sangat pelan di telinga Hawa, "Imam gak sengaja ciuman sama Liana, Mbak."

Deg.

***

Di ruang tamu, ada tiga orang yang mana dua di antaranya sama-sama menunduk karena takut untuk menatap ning di depannya ini. Ya, Hawa. Siapa lagi kalau bukan kakak dari Gus Imam?

Sudah beberapa menit mereka saling diam, padahal Hawa sedang menunggu keduanya menjelaskan apa maksud dari perkataan Imam tadi.

"Ini mau sampai kapan kita diam? Sampai azan Subuh, hm?" Hawa yang sudah muak dalam suasana canggung ini pun akhirnya membuka suara.

Hawa hanya ingin mendengarkan penjelasan, bukan malah diam-diaman seperti ini. Apakah mereka mengira bahwa Hawa bisa mengetahui semuanya cukup dengan mereka berkumpul?

Kan, tidak.

"Mbak marah, ya?" tanya Imam yang masih menundukkan kepalanya. Dia takut, karena kedatangannya malah membuat aib di keluarga ini. Walau sepenuhnya bukan salah Imam ataupun Liana.

Toh, mereka berdua sama-sama tidak tahu dan tidak ada kesengajaan di kejadian itu.

Hawa mengembuskan napasnya kasar. "Nggak. Mbak sama sekali nggak marah. Tapi, tolong ceritain minimal kenapa kalian bisa datang bareng, mana tengah malam begini. Terus juga ceritain apa pun supaya semuanya gak jadi salah paham."

Cinta Suci Gus Imam || New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang