Happy reading
***
Liana baru saja menapakkan kakinya di sebuah rumah sederhana. Terdapat beberapa furniture sederhana juga, ada beberapa lukisan estetik di dinding, warna earthone menjadi dasar dari semuanya. Entah itu dinding, kursi, meja, dan segala hiasan yang ada. Kebanyakan didominasi dengan warna coklat.
Dua hari lalu, Liana sudah ke tempat ini dan beristirahat di sini. Ia masih sibuk memandangi sekeliling. Kini dia terpesona dengan desain yang lagi-lagi sederhana, tetapi nilai keindahannya begitu mengagumkan. Ya, ini rumah Hawa.
Hawa yang ada bersama Liana dan memperhatikan perempuan itu dari tadi pun akhirnya berkata pelan, "Kalau kamu kurang nyaman sama baju Mbak, Mbak bisa antar kamu ke toko baju dan kita beli baju yang kamu mau," kata Hawa. "Soalnya Mbak gak punya kaos, baju pendek pun paling baju tidur."
Liana sedari tadi tidak bisa diam dengan gamis yang dipakai, kelihatan seperti risi di mana Hawa sebenarnya tidak bisa menilai hal tersebut hanya dengan melihat. Mungkin karena kepanjangan, jadi perempuan itu harus mengangkatnya sebatas mata kaki.
Liana menoleh. Lalu tersenyum. "Nggak kok, Mbak. Saya bisa pakai baju apa aja. Malah saya senang bisa pakai baju yang kaya Mbak. Saya belum pernah pakai, emm lebih tepatnya Ibu gak mau saya pakai itu, karena katanya nanti gak menjual."
"Gak menjual gimana maksudnya?"
"Tubuhnya, Mbak."
Hawa menggeleng pelan sembari beristighfar di dalam hati. Jika dia yang menjadi Liana, entah akan kuat atau tidak hidup di dunia.
"Dari kecil kamu gak dibiasakan pakai kerudung dan pakai baju panjang, Lia?" tanya Hawa kemudian. Ia jadi semakin ingin tahu bagaimana kehidupan Liana sebelumnya. Ya, hitung-hitung pendekatan dengan calon ipar.
Liana langsung diantar ke rumah Hawa setelah dari rumah Ning Zahro, karena keluarga Imam mau, Liana memantaskan diri seperti apa yang Gus Imam katakan. Gus Imam meminta Hawa untuk menjadi guru Liana, menuntun Liana sebelum Imam yang menuntun perempuan itu nantinya.
Mengajarkan dasar-dasar agama hingga satu minggu ke depan. Dan, Gus Imam juga perlu kembali meyakinkan diri apakah pilihannya ini tepat atau tidak, apakah Liana adalah pilihan terbaik atau bukan. Begitu pun sebaliknya. Liana juga perlu meyakinkan diri sendiri.
Liana menatap Hawa sebentar. Lalu menjawab, "Iya, dari kecil. Mbak tahu? Rasanya saya ingin kabur kalau udah digoda sama laki-laki, bahkan kebanyakan usianya seumuran sama kakeknya Imam."
Hawa mengatupkan bibir. Sungguh?
"Saya gak pernah lihat orang-orang seperti Mbak di lingkungan saya. Kayaknya gak ada. Makanya, pas saya punya teman SD yang kayak Mbak, itu rasanya senang banget. Tapi sayang, entah apa yang Ibu lakuin ke dia, sampai dia ngejauh dari saya," cerita Liana lagi pada Hawa.
Perempuan yang tengah memakai gamis milik Hawa itu sudah tidak lagi merasa canggung karena Hawa sangat menerima keberadaannya.
Hawa mengelus bahu Liana. "Padahal sebagai perempuan, kita wajib pakai hijab, pakai pakaian tertutup. Gunanya supaya gak mengundang syahwat. Tapi lingkunganmu malah bikin kamu terjerumus dalam maksiat. Kamu mau berubah 'kan, Lia?"
"Mau banget, Mbak. Kalo aja saya gak ketemu Imam, mungkin saya gak tahu nasib saya gimana selanjutnya," kata Liana.
Hawa pun tersenyum. "Perbanyak bersyukur. Bisa bernapas aja suatu kenikmatan besar buat kita. Makanya, setiap perjalanan harus kita terima dengan lapang dada. Ingat aja kalau dunia hanya sementara, tapi akhirat selamanya. Selagi dikasih kesempatan sama Allah buat bertaubat, bertaubatlah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Selalu menerima kapan pun hamba-Nya bertaubat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Suci Gus Imam || New Version
Spiritualité[SUDAH TAMAT] -- New Version -- Mengisahkan tentang kehidupan seorang gus yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Yaman. Di mana saat pulang, gus tersebut menolak untuk dijodohkan dengan seorang ning, karena bertemu dengan seorang gadis yang berha...