10. Hari yang Ditunggu-tunggu

39.2K 4.4K 261
                                    

Happy reading

***

Seminggu telah berlalu.

Selama seminggu itu, Liana full di rumah Hawa. Tak ke mana-mana, hanya menemani perempuan berhijab panjang itu di rumah ketika Hawa tak mengajar di tempat kerjanya.

Hawa ini mengajar di sebuah MTS, sedangkan Imam akan mengajar di MAN yang pernah Imam jadikan sebagai tempat menuntut ilmunya sebelum ke Yaman. Kalau Zulaikha dan suami, serta kedua orang tua Imam, mereka mengajar di pondok pesantren yang didirikan oleh kakeknya Imam dan almarhum kakeknya Zahro.

Tidak berhenti Dewi mengucapkan kalimat tayyibah ketika melihat calon menantunya itu.

Liana Rahmadhania, gadis itu tampil cantik dengan gaun pengantinnya, serta dengan hijab yang menutupi kepalanya. Sesuai dengan permintaan Dewi. Dewi hanya tidak mau calon menantunya itu menikah menggunakan gaun yang terbuka, sangat tidak cocok untuk wajah ayu Liana.

Kalau Liana sih tidak masalah. Namun, ia belum terbiasa mengenakan hijab. Jadi, mungkin setelah pernikahan, dia masih lepas-pasang hijab nanti.

"Masyaa Allah, Nak Lia. kamu cantik sekali," ucap Dewi yang entah sudah berapa kali memuji calon menantunya.

Gadis yang ia lihat seperti wanita malam di pertemuan pertama, kini menjelma menjadi bidadari cantik yang tertutup. Apalagi melihat Liana yang tersenyum pada Dewi.

"Terima kasih. Tapi Lia merasa biasa aja. Lia juga belum terbiasa pakai hijab, jadi mungkin agak bikin pangling," kata Liana yang menerima pujian Dewi, tetapi agak merendah sedikit.

Dewi mengelus bahu Liana dengan sayang. Imam tidak salah pilih. Dari cerita yang ia dengar dari Hawa, seminggu yang lalu ketika Liana menginap di rumah Hawa, perempuan itu menceritakan segala hal tentang Liana yang sangat baik.

Liana adalah gadis penurut juga rajin. Bahkan, dia jujur pada Hawa jika belum bisa salat dan mengaji. Hawa pun mengajarinya, hingga gadis itu lumayan lancar dalam waktu seminggu. Walaupun Liana sempat berbohong sedang haid padahal dia tidak bisa salat, tetapi gadis itu akhirnya jujur juga.

Dari penilaian Hawa, Liana ini tidak pernah malu mengungkapkan apa pun yang ia tidak bisa. Hawa juga dengan senang hati mengajarinya. Sampai perempuan itu bilang kalau Liana ini lebih baik daripada dia.

"Nak Lia, kalau habis menikah, kamu mau tinggal di mana?" tanya Dewi. Mereka tengah menunggu penghulu datang.

Di kamar ini juga hanya berisi para perempuan, lebih tepatnya kamar Hawa. Ya, karena Liana tidak memiliki rumah, jadilah ijab kabul dilaksanakan di rumah Hawa.

Liana tersenyum. "Kalau Lia terserah Imam. Lia ikut aja sih, Bu?"

"Panggil umi aja. Kamu kan mau jadi anak Umi sebentar lagi," balas Dewi yang melihat Liana kebingungan mau memanggilnya dengan sebutan apa.

Lalu, disahutilah oleh kakak pertama Imam, "Iya, Liana. Kita bakalan punya umi yang sama," kata Zulaikha sembari memeluk leher Liana dari belakang.

Zulaikha tidak pernah menuntut Imam untuk mencarikannya ipar yang sesuai kriteria dia. Asal iparnya bisa saling menghargai, Zulaikha sudah sangat bersyukur.

Seperti Liana. Walaupun dia tidak begitu dekat karena baru beberapa kali bertemu ketika main ke rumah Hawa, tetapi Zulaikha merasa klop dengan gadis polos ini.

Zulaikha sampai penasaran bagaimana kehidupan Liana sebelumnya, di mana gadis itu menceritakan hal yang sama pada Zulaikha seperti apa yang ia ceritakan pada Hawa. Ternyata sekelam itu.

"Kalau Lia sama Imam tinggal di rumah Umi sama Abi, berarti Hawa sendiri dong? Yah, gak seru deh," ucap Hawa tiba-tiba, yang sedari tadi diam memandangi calon adik iparnya.

Cinta Suci Gus Imam || New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang