4

7.2K 812 213
                                    

Layar Macbook menyala yang menampilkan film garapan Hayao Miyazaki diletakkan dengan asal di meja ruang tamu.

Di sofa berwarna biru tua depan meja berkaki rendah tersebut, Kala duduk bersila dengan semangkuk besar popcorn caramel yang tinggal separuh berada di pangkuan. Punggungnya yang ramping bersandar santai di sofa. Sementara di depannya masih ada es krim double chocolate dalam cup besar, yang terus-terusan disendok oleh pemuda itu dan disuapkan ke dalam mulutnya sendiri dengan riang.

Jikala kini tengah menonton ulang film Howl's Moving Castle untuk yang kesekian kali. Film anime itu sudah berjalan separuh sejak tadi ia memutuskan menontonnya usai makan malam. Kala nampak begitu fokus menikmati film ditemani camilan tinggi kalorinya.

Bunyi nyaring bel pintu membuat Kala mendongak dari layar Macbook-nya. Pemuda itu mengernyit dan melirik jam dinding. Pukul setengah delapan malam, siapa yang berkunjung malam-malam begini?

Dengan setengah enggan, Kala mem-pause filmnya kemudian bangkit membukan pintu. Dan betapa terkejutnya ia, mendapati––tidak lain dan tidak bukan––Damian Raka berdiri di depan pintu apartemennya.

Tadi siang, pria itu memang sudah izin ingin ke rumahnya, 'mau belajar tentang kehamilan dan melakukan sesuatu yang berguna untuk bayinya', dia bilang. Saat itu Kala asal saja mengiyakan. Tapi ia sama sekali tidak menyangka Damian akan ke tempatnya malam ini banget. Hari ini banget sehabis dia meminta.

Tapi sekarang pria itu memang sudah di sini. Berdiri nyata di depan Kala.

Damian memakai kaos dan jaket yang membungkus tubuhnya dengan apik namun kasual. Kakinya yang panjang dibalut celana jeans dengan sepatu converse sebagai alas. Selain penampilan formalnya di kantor, Kala jarang melihat Damian tampil sesantai ini. Namun style apapun nampaknya tidak berpengaruh bagi Damian. Karena ia tetap setampan dewa dan semempesona model runway.

Dan di sinilah Kala. Berdiri pilon dengan kaos longgar usang dan celana pendek rumahan. Rambutnya berantakan belum disisir dan barangkali ada celemotan noda es krim di pipinya.

Sempurna. Benar-benar sempurna.

Dengan penampilan primanya saat ke kantor saja, Kala masih merasa terintimidasi dengan aura mahal dari wajah aristokrat dan postur tinggi tegap pria itu. Lalu kini ia berhadapan dengan Damian dengan memakai baju rumahan jeleknya? Habis sudah.

"D-damian." Kala bersuara tercekat seperti cicitan tikus yang terjepit. "Lo ngapain?"

Damian tersenyum tipis. "Mau drop beberapa barang yang tadi gue beli." Ia mengangkat kantung belanja di kedua tangannya. Laki-laki itu menatap Kala sungkan, lalu bertanya halus, "Boleh masuk?"

Kala dengan tidak rela menggerakan tubuhnya kaku seperti robot berkarat. Mempersilakan pria itu memasuki apartemen mungilnya yang sederhana, tidak luas dan––well––agak berantakan.

"Wow," guman Damian. Matanya menyusuri ruang tamu apartemen Kala, lalu berhenti di Macbook-nya yang menyala dan camilan yang berserakan di sana. "Nggak ke party Bianca, lo ngadain party sendiri di rumah, Kal? Not bad."

Kala mengangkat bahu dan tersenyum menyeringai. "Welcome to my humble party."

Laki-laki itu tertawa kecil. "Sori gue harus menyusup party lo."

"Sori juga apartmen gue berantakan," ujarnya sungkan, meski dibalas Damian dengan senyum santai. Tapi memang sofa di ruang tamunya tampak kacau––tidak pantas untuk menyambut tamu. Kala buru-buru menepuk-nepuk sofa itu, membuang beberapa remah popcorn yang mengotori sofanya. "Silakan duduk. Anggep aja rumah sendiri."

The Art of Becoming ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang