"Itu anak gue, kan?"
Pertanyaan itu lugas, tajam, dan dingin hingga mampu membuat Kala merinding sampai ke tulang belakang.
Segera setelah pengumuman (tidak sengaja) yang menggemparkan itu, Damian Raka tanpa basa basi segera menarik Kala ke tangga darurat di jalur evakuasi gedung. Kala mencoba maklum, mungkin itu satu-satunya tempat sepi untuk berbicara hal pribadi yang terpikir oleh otak panik Damian. Setidaknya Kala bersyukur Damian tidak memilih toilet.
Atau mungkin lebih baik toilet saja.
Karena sekarang perut Kala bergejolak ingin memuntahkan semua makan siangnya––indikasi dari tubuhnya setiap ia gugup, panik, atau takut. Kakinya gemetar di bawah intimisasi Damian.
Tapi Jikala berusaha menguatkan dirinya sendiri. Jangan lembek, Kal. Demi Lilo.
"Nggak usah didengerin si Rhys. Dia ngelantur," sanggah Kala berusaha terdengar sesantai mungkin.
Ia pernah mendengar kalau pemangsa dapat mencium ketakutan hewan incarannya. Sial, kini Kala jadi merasa seperti kelinci kecil yang terkurung dengan singa lapar yang siap menerkamnya kapan saja.
"Gue benci ngulang pertanyaan yang sama, Jikala," Damian menggeleng berbahaya. Lalu bertanya dengan suara rendah penuh penekanan. "Apa. Lo. Hamil. Anak. Gue."
Kala meneguk ludahnya gugup. Habis sudah, ia tidak memiliki kesempatan sedikit pun untuk mengelak. Alih-alih menghindar, kini Jikala memilih untuk berani demi Lilonya. Dia balas menatap sorot tajam Damian dengan tak gentar.
"Bayi ini adalah urusan gue," tangan Kala bergerak otomatis memeluk perutnya sendiri dengan defensif. Menutup akses Damian menatap tempat nyaman Lilonya bersemayam. "Gue nggak akan nuntut lo buat tanggung jawab atau apapun. Tinggalin gue sendiri."
Damian mengamati gerakan Kala yang protektif menutupi perutnya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Lo––"
"Gue nggak mau lo suruh aborsi!" Kala menyalak keras. Sorot matanya penuh ketakutan dengan napas menderu. Persis seperti induk hewan terluka yang berusaha melindungi anaknya.
Damian mengerjap dan terhenyak kaget. Buru-buru ia mengangkat kedua telapak tangannya ke depan dada. "Hey, Jikala, Jikala. Plis, tenang dulu." Ia menahan diri untuk tidak merangkul bahu mungil Kala yang gemetar. Tak tega melihat kondisi Kala yang masih panik, tapi tetap ingin menjaga batas kesopanan.
Damian tidak menyangka Kala akan mengira demikian. Ia merasa buruk saat Kala sangat protektif melindungi bayinya dari Damian, seakan pria itu adalah monster jahat. "Nggak ada yang nyuruh lo aborsi, oke? Gue nggak akan nyuruh lo aborsi."
Jikala menoleh ragu-ragu. Ia menatap lekat mata gelap Damian, mencari-cari kebohongan di dalamnya. "Lo ... enggak?"
Damian menggeleng tegas. "Nggak akan."
Pemuda manis itu menegakkan tubuhnya lagi. Mungkin sudah mendapatkan ketenangan dan kewarasannya yang tadi sempat hilang. Ia mengerjap malu dan berdehem. "Oh."
Damian bersedekap menyilangkan tangannya di depan dada dan mengamati Jikala lekat-lekat dengan penuh pertimbangan. Raut datarnya tak terbaca. "Jadi?"
"Jadi apa?" Kala bertanya dengan bodohnya.
Pria yang memakai kemeja kerja formal tanpa jas itu berdecak tak sabar. "Apa maksudnya lo bohong ke gue tadi? Terus barusan lo bilang kalo bayi itu urusan lo?"
Kini giliran Kala yang mengernyit bingung. "Harusnya lo seneng, kan? Bayi adalah tanggung jawab besar yang jelas-jelas ngerepotin. Gue yakin lo nggak bakal mau––"
"Kata siapa gue nggak mau?" tukas Damian tajam. "Bayinya kan bukan anak orang lain. Dia anak gue."
Kala berdehem dengan tak nyaman. 'Anak gue' yang keluar dari mulut Damian terdengar mutlak. Tak bisa diganggu gugat––meski memang begitu adanya. Dan Kala merasa terganggu dengan fakta baru mengejutkan bahwa Damian juga menginginkan Lilonya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art of Becoming Parents
Fiksi PenggemarMinho dan Jisung adalah sepasang rekan kerja yang mendadak harus bekerja sama belajar menjadi orang tua demi mempertanggungjawabkan buah dari "kecelakaan" yang mereka perbuat di suatu malam yang panas. Akankah si paling terpaksa-menjadi-pasangan ya...