12. Kerja Keras

8 2 0
                                    

Fadlan merebahkan badan di kamar malam itu. Matanya nyaris tertutup sebelum suara teriakan dari balik kamar menganggunya lagi. Ia terpaksa bangun, jika tidak adiknya akan teris memanggil atau bisa saja menerobos masuk. Cowok itu membuka pintu dengan pelan. 

"Fa, Kakak--" Baru saja ingin mengatakan sesuatu, Fadlan sudah didorong masuk oleh adiknya itu. 

"Kak, bantuin aku sebentar." Shafa menarik Fadlan menuju kasur. "Aku melihat nilai aku kosong di email, pada artinya nilai Keisya juga kosong, dan ini masalah besar buat dia," oceh gadis berhijab itu sembari mondar-mandir di depan Fadlan yang duduk. 

Fadlan mengerutkan kening. "Bukannya tadi udah selesai?" tanya cowok itu melihat kenyataan bahwa tugas mereka sudah selesai. 

"Sebenarnya sudah, tapi aku juga nggak tahu kenapa bisa begini. Intinya aku dapat kabar bahwa Keisya gagal mengirim file itu," kata Shafa dengan wajah panik.

Shafa baru saja mendapatkan kabar dari mamanya Keisya bahwa sahabatnya itu telah dimarahi besar-besaran oleh Firman. Ia tak bisa tinggal diam mendengar hal itu, ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan gadis itu sekarang. Jadi, pertolongan pertama adalah Fadlan karena ia menemani Keisya mengerjakan. 

"Sekarang Kakak bisa bantu kirim ulang file yang tadi? Tapi ...." Shafa menggantungkan kalimatnya. "Waktu mengirim sudah habis," lanjut Shafa terdengar putus asa. 

Fadlan berpikir sejenak. "Nomor panitia penelitiannya kirim ke Kakak sekarang!" tegas Fadlan sambil membuka laptop dan memeriksa emailnya. 

Cowok berkaos putih itu menelepon nomor yang dikirim Keisya, lalu pergi ke balkon untuk membicarakan sesuatu. Sempat ditolak oleh panitia penelitian untuk mengirim file karena telah melewati deadline. Namun, dengan segala usaha dan pembicaraan cowok itu membuat panitian penelitian yakin dan mengizinkan Fadlan mengirim file ulang.

"Terima kasih, Pak." Fadlan berkata dengan ramah pada orang di seberang telepon. 

Fadlan segera duduk di tempat belajar setelah kembali dari balkon. Ia membuka email dan mengirim file yang ditunjukkan Shafa tadi. Sangat berharap dalam hati bahwa nilai yang keluar sesuai dengan harapan, tentunya bisa menyelamatkan Keisya dari amarah papanya.

"Gimana, Kak?" tanya Shafa masih dengan wajah khawatir.

Fadlan menoleh dan tersenyum. "Tenang, Kakak sudah mengirim laporannya dan sebentar lagi nilai akan keluar," sahut Fadlan membuat adiknya itu menghela napas lega.

"Terima kasih, Kak," ucap Shafa berbinar.

Selang sepuluh menit, notifikasi terdengar dari laptop Fadlan. Ia segera membuka email, lalu wajahnya tersenyum tersenyum lebar. Menandakan bahwa nilainya tinggi dan pastinya di atas rata-rata. Ia sama sekali ikut senang melihat kenyataan itu.

"Selamat, Sayang," ujar Fadlan pada adik mungilnya itu sambil mengelus kepalanya yang tertutup hijab. 

 Shafa mengangguk. "Semua berkat Kakak juga."

***

Seperti biasa Keisya akan ke rumah sahabatnya untuk menjemput setiap berangkat ke kuliah. Pagi ini, gadis itu telah tiba di rumah Shafa dan berdiri di depan pintu utama. Tangannya menekan bel, lalu tak lama kemudian oma Shafa membuka pintu itu.

"Keisya, ayo masuk dulu. Shafa masih sarapan, tuh," ajak Sandra dengan lembut pada gadis cantik itu.

Shafa memasuki rumah tersebut, tetapi ia tidak mengikuti Sandra ke ruang makan karena dirinya sudah sarapan di rumah. Ia menunggu di ruang tamu, mengeluarkan ponsel sembari menunggu Shafa. Cewek itu melihat beberapa video pendek untuk menghilangkan rasa bosan.

"Hei, maaf lama," kata Shafa baru saja menghampiri Keisya membuat gadis itu mendongak. 

Shafa duduk di samping Keisya, lalu menatap wajah itu dengan lamat. "Kenapa, sih?" tanya Keisya sedikit risi dengan tatapan itu.

"Semalam baik-baik aja, kan?" tanya Shafa dengan rasa khawatir.

Gadis berambut panjang itu mengangguk. "Awalnya nggak, tapi ... udah baik-baik aja," jawab Keisya mengingat hal semalam yang terjadi. "Ada yang aneh juga, kenapa tiba-tiba nilai aku jadi bagus. Padahal awalnya salah kirim file," tambahnya menggaruk kepala kebingungan. 

"Aku tahu semua ceritanya, kok. Mama kamu hubungi aku," kata Shafa apa adanya.

Keisya mengangkat alis. "Terus kamu kirim ulang? Bagaimana bisa? Kan--"

"Bukan aku yang melakukan ini semua. Tuh, bernegosiasi pada dosen kita," potong Shafa menunjuk Fadlan yang baru keluar dari arah dapur. 

Fadlan yang belum sadar menjadi bahan pembicaraan langsung duduk di depan mereka. Menyadari kedua gadis itu menatapnya, ia mengangkat alis seolah bertanya. Apakah ada yang salah dengan dirinya? Netranya bertemu tatap dengan Keisya yang juga menatapnya. Tatapan itu tiba-tiba berpotensi tinggi pada jantung Fadlan yang berdebar. 

"Terima kasih atas usahanya, Kak." Keisya bersuara membuat Fadlan tersenyum kecil.

"Bukan apa-apa, kok." Lelaki itu menjawab dengan senang hati. "Terpenting kerja keras kalian tidak sia-sia," lanjut Fadlan tertuju pada keduanya.

Keisya mengangguk. Ia merasa berhutang budi sekali pada Fadlan. Andai saja cowok itu tidak bernegosiasi dan berusaha keras menawar pada dosen, maka hidupnya pasti akan sampai semalam. Hal itu akan berpengaruh pada perasaan sang papa, tetapi Tuhan masih melindunginya dan mengirim Fadlan sebagai solusi dari permasalahan itu. 

"Kei, aku akan selalu ada buat kamu. Kapanpun kamu butuh bantuan, aku siap membantu." Shafa mengelus bahu gadis itu, ia tahu Keisya hanya berpura-pura kuat menjalani kesehariannya selama di luar.

"Pastinya. Aku tahu itu, kok," balas Keisya dengan senyum terharu.

"Jangan sungkan juga hubungi aku kalau butuh," timbrung Fadlan membuat Keisya menatapnya.

Kalimat pendek itu terasa mulus terdengar di telinga Keisya. Sejak tadi ia berusaha menguasai diri agar tidak gugup, tetapi Fadlan malah menambah kegugupan itu. Ia menghela napas, menghirup udara perlahan untuk menenangkan detak jantungnya. 

"Kalian cocok," celetuk Shafa membuat suasana hening seketika. 

Bersambung ....

______________

Pacaran, yuk!

See you♡♡

Bondowoso, 04 Agustus 2022

Aku, Kamu, dan Impian [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang