Dear Mystery (15)

15 5 0
                                    

Juna. Ehm, menurutku kok kurang sinkron dengan nama perempuan selengkap ini, Juanita Dinarsya. Seharusnya, kata orang sih, mending ia disapa Nita, Din, atau Arsya saja menuruti nama belakangnya. Ada yang sampai nekat menyebutnya Ju, yang kutahu bikin Juna mangkel, teringat tokoh Julian dalam Lima Sekawan dan seorang teman penggerutu kami, namanya Juliwati yang kumusuhi berat lantaran kelakuan minusnya, bisa diterjemahkan ngeselin sekali.

"Julian itu baik, kekakakan, ngemong sama sepupu-sepupunya, cuma sayang gue lihat dia tuh patronizing geto seh. Sok menggurui kadang-kadang, meski halus dan maksudnya sih baik." Suatu hari Juna membahas seorang Ju dalam karya best seller Enid Blyton, tak lain berjudul Lima Sekawan, geng sepupu yang kompakan bertualang ala detektif cilik itu.

Sedangkan Ju satunya lagi, si Juliwati rekan sekelas kami di SMP, jutek dan judes, sesuai awalan Ju di awal namanya. Selain suka main perintah, lagak boss si cewek Juliwati ngeselin parahnya. Seakan ketua kelas yang penuh wewenang, setiap giliran piket, aku dan Juna diperdaya mengerjakan semua tugas kebersihan. Yang tak enak enak seperti menyapu, mengepel semuanya jadi kewajiban kami, sementara Madam Ju senang-senang membersihkan papan tulis dan mengosongkan keranjang sampah yang enteng isinya. Mengelap meja kotor pun jadi pekerjaan kami, aku dan Juna, termasuk titah mengambil kapur dan penghapusan dari kantor guru yang angker sikonnya pun dilimpahkan pada kami.

Angker yang kumaksudkan karena guru BP yang mengurus stok kapur dan penghapus papan tulis bukan main kikir dan ceriwisnya. Mesti menguliahi kami soal berhemat kapur, kadang kami disuruh membelikan makanan di rumah makan seberang yang "ricuh" entah di pagi, siang, atau sore hari. Bisa ditebak, bila kami mengambil kapur terlalu lama, Juliwati menuduh kami korupsi waktu dengan berleha-leha di kantin sekolahan. Siakhek memang mafia cewek yang satu ini.

Kenangan manis yang masih awet, bila telat pulang akibat piket berkepanjangan, kami bakal menongkrong di rumah makan yang sedap pisan menunya, makan sampai kenyang, dan akhirnya pulang dengan menumpang taksi. Uang saku punyaku banyak, dan setidaknya satu kali sepekan kami menumpang taksi putih yang wanginya jeruk, sejuk ber-AC, bagaikan anak sultan yang memanjakan diri setelah lumayan menderita digencet si Madam Ju yang celamitan luar dalamnya.

Namun, suatu kali si Madam Ju berjasa besar kepada kami. Ceritanya suatu kali kami terpaksa berkelompok tiga orang. Ini hasil undian guru Biologi SMP yang senang eksperimen dan kami dihimbau mengumpulkan spesimen rumput-rumputan liar di lahan kosong, berbatasan letaknya dengan pagar sekolah kami. Sekolah kami punya rumput, tetapi jenis rumput bermuda dan rumput golf yang tak boleh diganggu gugat, karena rapi jali pemeliharaannya.

Aku lupa-lupa ingat, entah bagaimana ceritanya, aku, Juna, dan Madam Ju terpisah dari kelompok anak-anak sekelas kami. Asyik mengamati rumput putri malu, kami disambangi sosok menggeram yang jalannya mengendap-endap, tak disadari kami menghampiri tempat kami meneliti.

Bukan main! Sesaat aku menyangka terjerumus ke alam fantasi Gadis Tudung Merah, dan akulah gadis nahas yang diberangus si nenek maut serigala. Betul-betul sosok anjing yang besar tak kepalang, mirip serigala abu-abu, bahkan Juna si bodyguard pun tak berkutik mati kutu. Sebelum aku dan Juna sempat berpose ambil langkah seribu, Madam Ju alias Juliwati memerintahkan kami untuk berjalan seperlahan mungkin.

"Uy, jangan kelihatan takut, jangan memandang muka si asu. Apalagi matanya, jangan dilihat, ya. Jangan lari, juga jangan kelihatan buru-buru. Biasa aja jalannya, anggap kita ketemu anak kucing lucu. Alright, lesgo." Juliwati menginstruksi secara terperinci.

Juliwati selalu menggunakan kata asu untuk anjing, karena ia keturunan Jawa dan selalu berbahasa Jawa dengan orangtuanya. Asu yang dimaksud Juliwati bukan sembarang asu. Diam-diam aku mengintip dengan mata menyamping, bagaimana si anjing punya taring panjang yang dipamerkannya dengan tetesan liur mengancam. Matanya seperti burung hantu, hitam tetapi pupil matanya kecil dan urat putih matanya kemerahan. Juga kuingat bulunya jabrik, keabu-abuan, dekil, dan hackles-nya sejabrik bulu-bulu landak yang dilanda marabahaya.

Bakery Ma(r)tiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang