Selamat bagi para pejuang
yang masih hidup di atas
tuduhan palsu, kalian hebat.—BUBAR; Bukan Kembar
◇
"Di sana Angeli punya banyak teman, yang ini namanya Fani. Orang lucuuuu banget, bisa bikin ketawa. Dan ini, dia namanya Laura, tomboy dan kuat, enggak ada satu pun orang yang berani cari gara-gara sama dia. Kalo ini Nova, hobinya makan sama ngemil, di mana ada Nova di situ ada makanan." Angeli menceritakan segala hal mengenai kehidupannya yang berwaran, dia luwes, sangat bebas dan merasa bahagia.
Enggak kayak gue. Penuh tuntutan dan aturan, dikekang dan dipaksa. Bahkan sampai berumur 17 tahun, gue terbiasa hidup dalam perintah Oma.
"Lily suka pamer pacar, dia orang kaya, banyak uang ...." Sumpah! Gue rasa temannya Angeli ada ribuan, atau jutaan? Kalau dilihat dari followers instagramnya aja ada puluhan ribu, dan sumpah lagi, mau namanya Surti kek, Ponimin kek, Masturah kek, gue enggak perduli.
"Angela gimana? Mana teman-teman Angela? Mau lihat, ayo ayo ayo!" Dia bangkit dari rebahnya, turun ke lantai bawah dan ikut rebahan di lantai.
"Angeli!" Gue segera bangkit. "Jangan duduk di lantai!" Tubuhnya gue pindahkan buat duduk di pinggir kasur aja.
Oh bahaya kalau ada yang tahu dia duduk di lantai, apalagi berbaring? Bisa-bisa gue digantung oleh Oma sama jemuran baju.
"Ayo, mana teman Angela." Dia terus menagih sesuatu yang membuatnya penasaran, dan tentu gue bingung harus menunjukkan siapa. Tapi karena dia maksa, ya sudah gue buka-buka ponsel, masuk ke ikon galeri. Dan nihil, enggak ada apa-apa selain fotonya Revano yang gue ambil secara acak.
"Mana?" Angeli celingak-celinguk di depan gue, wajahnya beneran enggak sabar.
"Nih." Dan gue menunjukkan satu foto, dia tertawa, sampai merebahkan diri ke kasur.
"Kenapa temannya Angela malah Upin Ipin dan kawan-kawan? Jangan bercanda!" katanya setelah dapat aliran napas yang normal.
"Enggak bercanda, mereka temen Angela," kata gue, sambil tertawa.
"Angela lucu!" Dia meluk gue, lagi-lagi erat banget. Kalau mengingat bagaimana kami punya hubungan batin yang begitu kuat, gue merasa terharu buat mengakui Angeli tuh sayang banget sama gue.
"Angela awaaasss!" setelah mata gue tertutup cukup lama menikmati dekapan hangat Angeli, gue tersadar dan mendorong tubuhnya. Jantung gue berdebar kencang, sakit, bahkan sesak.
"Angela?" Dia bangkit dan berdiri di belakang gue yang udah menghidar. "Angel kenapa?"
Tidak. Rasanya sakit, sangat sakit. Tragedi itu, darah yang keluar dari kepala Angeli, suara sirine ambulans dan polisi. Semua menari-nari di pikiran gue, ini sakit banget. Gue sampai nangis sesegukan dan gak terkendali.
"Angela ...."
"Enggak." Gue angkat tangan buat kasih dia kode jangan dekat-dekat, tubuh gue ngerasa nyaman dalam waktu singkat, kehadirannya bikin gue risih.
"KAMU DORONG KEMBARAN KAMU SENDIRI HAH?"
"KENAPA ENGGAK BISA JAGA KEMBARANNYA?"
"KALO DIA MATI GIMANA?"
"KAMU IRI SAMA DIA? KAMU ENGGAK SUKA PUNYA KEMBARAN?"
"Enggak, Ma... Pa... Bukan Angela." Gue jadi bicara sendiri, memegang kedua pipi gue yang dingin dengan tangan bergetar.
"Angela? Angela kenapa?"
"Haaaaaaaaaa!" Gue berteriak cukup panjang saat berbalik melihat Angeli, dia kaget, bahkan ketakutan. "BUKAN ANGELA! BUKAAANNN!" Gue mendorong Angeli hingga dia jatuh ke kasur, membopong badan gue lari ke luar rumah tanpa alas kaki.
Entahlah. Semua bergerak di luar kendali gue. Tanpa arah, tanpa tujuan, kaki gue seakan gak mau berhenti sampai sebuah tangan meraih pundak gue dari belakang. "Angela ...?" Dia meluk gue, dan detik itu juga keadaan hati gue yang hancur perlahan mereda, napas gue habis di pelukkannya.
"Revano." Dan hanya ada tangisan kecil setelah itu.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
BUBAR | Bukan Kembar✔️
Short Story"Angela Jahat!" Gue? Iya. Dia bilang gue jahat dengan raut wajahnya yang ketakutan. Tanpa dia sadari, bahwa segala sesuatu yang gue punya, berada di tangannya semua. @Mi2022