**✿❀3❀✿**

26 10 0
                                    

Seseorang yang ada di saat
kamu perlu cuma satu,
yaitu dirimu sendiri.

BUBAR; Bukan Kembar

Senja gak biarin gue buat di luar sampai malam, dia kayak sengaja enggak pergi, dan itu sesingkat gimana Revano udah markir motornya depan rumah gue. Ah, ralat. Depan rumah Kanjeng Ratu Yang Mulia The Queen Oma Tersangar.

“Jangan kayak gitu lagi atau lu bakal gue gantung di jemuran!” Revano membuat gue tertawa.

“Itu kata-katanya Oma, ngejek ah!” Gue mau noyor kepalanya, tapi Revano jauh lebih tinggi, jadi enggak sampai.

“Angel.” Dia megang kedua pundak gue. “Lu bisa lawan trauma itu, jangan sampai dikuasain,” katanya.

Gue gak bisa nyahut untuk yang satu ini, lagian kejadian itu cukup merusak mental gue.

“Angel, gue gak bisa selamanya ada buat lu. Karena kita masih sebatas pacar, belum suami istri. Atau lu mau kita nikah sekarang juga? Jadi lu ikut di rumah gue?” candanya.

Revano jago bikin ketawa, bahkan mudah menguasai suasana hati gue. Kalau dia senang, gue akan lebih senang. Dia sedih, gue jauh lebih sedih. Intinya kunci dari segala hal yang gue rasa ada di dia, dan itu gue percayakan sejak kelas dua SMP, sebelum kami resmi jadi pacar di kelas satu SMA.

“Gue gak tau apa yang mengganggu pikiran gue, jadi untuk melawan itu semua, lu bisa bayangin muka ganteng gue, ahahahhh.” Dia tertawa dan menoyor kepala gue, lumayan kenceng, dan kami sempat lari-lari sebentar. “Udah! Udah, gue harus pulang. Jangan ulangin kejadian ini, gue gak mau lihat orang gila yang mirip cewek gue lari-lari di pinggir jalan lagi, awas lu!” pesan sayangnya.

Gue mengangguk, lalu fokus pada kakinya yang tak menggunakan alas. “Sendal lu ....”

“Dadah, Angel Sayang!” Dan dia justru tancap gas ninggalin gue.

Ya sudah, mau bagaimana lagi. Gue bisa kembalikan ini besok. Jadi gue melangkah untuk masuk ke area pekarangan, tapi enggak bisa sampai pelataran, karena dari depan pagar, gue lihat Oma pegang sapu lidi. “Cepat!” Beliau beri arahan.

Langkah gue yang pasrah tertahan, soalnya gue lihat buku paket yang jatuh dari siang tadi. Untung enggak kena hujan, soalnya hari sudah mendung. Ctar! BARU AJA DIBILANG!

Gue terjingkat dan lari sebisa mungkin, menghindari sesuatu yang paling gue takutin dari kecil.

“Mau ke mana?” Oma memegang tangan gue, menariknya dengan kuat hingga kami berhadapan.

“Hujan Oma ...,” cicit gue.

“SINI!” Beliau narik gue dengan paksa dan membawa gue ke tengah pekarangan lagi, buku-buku paket gue selamatkan dengan lempar sembarang di pelataran. Lalu petir dan kilat menyebar di langit jelah, gue merasa bakal kena kutukan jadi batu.

“NAKAL! PULANG SORE! BIKIN KEMBARANNYA NANGIS! ANAK GAK TAU DIUNTUNG!” Beliau memukul bagian kaki gue dengan sapu, rasanya mungkin seperti ditendang sapi, soalnya dulu gue pernah kesleding sapi punya Pak Jumono, pas praktik.

Satu kali pukulan aja udah sakit, apalagi berkali-kali kayak yang dilakuin Oma sekarang. Gue bisa ngerasain setiap bilah lidi menekan daging-daging gue. Dan di sini gue cuma bisa nangis, tanpa melawan, padahal bisa aja gue nendang Oma sampai terpelanting beberapa meter. Tapi apa daya? Enggak ada.

“Oma ampun.” Gue tau ini sia-sia, tapi mulut gue kayak emang enggak bisa diem banget. Sampai akhirnya hujan turun, dan Oma dorong badan gue sampai terduduk ke tanah.

“Tunggu di situ, jangan ke mana-mana!” Beliau ninggalin gue di suasana dingin ini, biarin gue basah kuyup dan menggigil. Kemudian beliau duduk di salah satu bangku dan lihat gue dari sana.

Apa enggak ada rasa kasihan sedikit pun? Bahkan gue mau mati ketika dengar guntur menggelegar nyaring di atas sana, menertawakan gue yang punya nasib jelek ini, mengejek gue tanpa henti dengan merekam apa yang terjadi pada gue pakai blitz, entah apalah namanya.

Gue gak tau berapa puluh menit dibiarin hujan-hujan gini. "Angela takut petir, Angeli juga." Mama tau, tapi beliau enggak perduli setelah menyuguhkan secangkir teh panas buat Oma.

Tolong... siapa pun itu.

Gue bisa merasakan kaki gue membengkak, napas gue terasa berat, dan badan gue nyaris terhuyung ke belakang. Sedikit lagi, kalau enggak tangan Oma yang kurus megang puncak rambut gue yang basah, mungkin gue udah pingsan. “Masuk,” katanya narik paksa gue biar berdiri, bahkan payung yang beliau pakai enggak bisa melindungi gue dari air yang ditiup-tiup angin.

Tepat saat pintu dibuka, gue ketemu Angeli yang berdiri pas di depan kami.

“Angela basah!” Dia menghampiriku, tapi Oma mengangkat tangan.

“Biar dia ganti baju dulu.” Dan Oma mencubit punggung belakang gue untuk segera bergerak dan enggak biarin tetesan air makan banyak bercecer di lantai.

“Tapi kenapa, Oma? Kenapa Angela basah?” tanya Angeli.

“Kehujanan, Sayang.”

“Kenapa bisa, aaaaa!” Petir dan guntur datang lagi, bahkan gue dan Angeli terjingkat cukup kuat karena sama-sama kaget. Yang beda adalah, Angeli langsung di peluk Oma, sedangkan gue cuma bisa meluk diri sendiri.

Bersambung....

BUBAR | Bukan Kembar✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang