Bagian 2 : Vano, Bakso, dan Mang Juki.

202 31 71
                                    

Katanya, orang yang punya banyak cobaan adalah orang-orang yang Tuhan sayangi. Dengan ikhtiar dan tawakal, semua pasti akan baik-baik saja. Katanya sih begitu.

"Lo lagi ngapain, Bi? Nunggu hidayah dateng?"

Aku menoleh ke asal suara, Vano datang dengan tas dan jaket jeans sobek-sobek yang dia pakai. Melihat Vano berjalan mendekat, kupalingkan lagi wajah untuk menatap pucuk dari pohon pinang yang tertanam rapi di belakang kelas kami. Entah siapa yang menanamnya sampai-sampai sekarang sudah tumbuh setinggi itu.

"Nunggu duit segepok jatuh. Lo kenapa gak ujian? Entar bokap Lo ngamuk lagi, doyan banget Lo nyari gara-gara!"

"Bodo amat Gua ama si Bahar, Gua gak ada temen di kelas. Ini aja disuruh balik cepet sama Bu Sesil, dapet surat cinta lagi untuk si Bahar."

Vano mendudukkan dirinya disampingku. Aku hanya berdeham menyahuti ucapannya. Kulihat anak-anak kecil yang berlarian kesana-kemari membawa dagangan di tangan kecilnya dari satu tempat ke tempat lain, dengan wajahnya yang tak pernah muram. Mereka selalu tersenyum menghampiri satu demi satu manusia yang berjalan melewatinya.

"Apa gua ngasong aja ya, Van? Kayak anak-anak itu."

Aku menunjuk ke arah dua orang anak yang tengah menjejali barang dagangan pada orang di sekitarnya. Sesekali mereka duduk melihat sekeliling sekedar untuk mengambil nafas dan beristirahat sejenak.

Vano memicingkan matanya menatap apa yang aku tunjuk. Kemudian kami bertatatpan untuk beberapa detik sampai aku memutuskan kontak mata kami, kembali menatap dua anak kecil yang sejak tadi aku perhatikan.

"Kenapa? Lo butuh duit? Gua ada kalau Lo mau, mentok lima ratus ribu, Gak usah Lo balikin, gantinya Gua mau nginep malam ini di rumah Lo. Biasalah, males ngasih ni surat ke Bahar."

Vano sudah mengeluarkan dompet kulit yang tak begitu tebal miliknya. Aku menggeleng, menolak tawarannya. Aku menerawang awan yang tidak terlalu banyak hari ini, menghembuskan napas kasar.

"Lo kalau mau nginep ya tinggal nginep aja, gak perlu kasih duit, lagian Lo udah sering kasih umma bahan makanan. Gua mau kerja sendiri, Van. Pake tenaga Gua sendiri."

"Yaudah, Gua buatin usaha, Lo yang kerja. Gimana?"

"Ah... Susah ngomong sama Lo. Lo gak ngerti perasaan Gua."

Kami sempat diam selama beberapa menit, sibuk dengan pikiran kami masih-masing. Sampai Aku merogoh saku celana dan mengeluarkan semua uang yang kupunya. Total ada 15 ribu ditambah 1 coin fun city yang biasa dibuat kerokan Abah, kumasukkan kembali coin fun city kedalam saku celanaku, kemudian kutunjukkan uang kertas ungu dan coklat itu kedepan wajah Vano, dia merespon dengan menaikan kedua alisnya bertanya.

"Gua jajanin bakso pak Ucup di depan, mau?"

"Gas lah!"

☆★☆

Aku menyibakkan terpal yang menjuntai menutupi pintu masuk warung bakso pak Ucup.

"Abian disini... Pak, kayak biasa ya! Yang pedess poll!"

Pak ucup menoleh kearahku, dia tersenyum sambil memberikan jempol andalannya. Tanpa babibu pak Ucup langsung menyiapkan pesanan kami. Aku dan Vano berjalan kebelang, duduk lesehan di tempat yang paling dekat dengan kipas angin, tempat ini selalu menjadi favorit kami kalau berkunjung di sini.

TONGKRONGAN ABAH ¦ NCTDREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang