2. Autumn In My Heart : Jennie - Rosè

403 67 10
                                    

A/N : pembaca yang baik adalah pembaca yang meninggalkan jejak. Entah itu komen, vote dan follow. Thanks_

.

.

Tapi ada satu hal yang membuatnya fokus pada foto itu adalah terdapat seorang pria yang sepertinya Ia kenal diantara kerumunan banyak itu.

"Dia? Apa mungkin dia adalah_ mantannya Jennie-Ssi itu?"

------

"Apa ini milikmu?" Jennie kembali lagi dengan menyerahkan buku harian hitam miliknya yang terkunci. Untuk itu Jennie tak bisa membaca isi didalamnya. Membuatnya terkejut sekaligus senang karena ternyata bukunya kembali. Ia bahkan tak menyangka jika buku yang melebihi harta karun baginya itu tertinggal di mobil Jennie.

"Terima Kasih, ya. Aku pikir buku ini benar-benar hilang."

"Tadi pagi adikku yang menemukannya saat mencuci mobil."

"Buku ini pemberian terakhir dari kakakku." Ucapnya singkat. Membuat Jennie mengerti karena terdengar nada kesedihan saat Rosè mengucapkannya.

"Ngomong-ngomong Roseanne Park itu nama lengkapmu,ya? Di sampul buku itu tertulis dengan jelas."

"Benar. Itu memang namaku. Kenapa memangnya?"

"Cantik. Tapi_boleh'kan, jika aku_memanggilmu dengan nama_ Rosiè?"

Rosè menatap Jennie sejenak yang saat itu wajahnya terlihat khawatir. Hingga akhirnya berubah cerah saat Ia mengangguk.


"Boleh, kok. Di dunia ini hanya kakakku yang memanggilku begitu."

Suasana tiba-tiba berubah sunyi dan sendu. Rosè tak menyukai itu. Ia segera berganti topik sebelum keadaan menjadi semakin suram. Hidupnya saja sudah suram. Itulah sebabnya Ia benci kesedihan. Karena baginya kesedihan menunjukan kelemahan.

"Ngomong-ngomong, kenapa rumahmu sunyi begini, Unnie. Kau tidak takut?"

"U-unnie?"

"Ya. Kau bilang ingin memanggilku Rosie. Berarti kau kakakku. Apa tidak boleh? Aku seumuran adikmu. Rasanya tak sopan jika aku tak memanggilmu Unnie."

"Tentu saja boleh. Kau boleh memanggilku senyaman yang kau mau. Lagi pula Lisa pasti sangat senang jika Ia punya saudara yang seusia dengannya." Membuat Rosè mengangguk setuju dan kembali bertanya kenapa malam ini Ia sendirian.

"Mereka memang tidak tinggal disini. Mereka selalu pulang saat pekerjannya selesai. Lisa tak menyukai keramaian. Jadi ayahku dan ibuku menurutinya."

"Adikmu sangat beruntung terlahir disini. Sempurna." Tapi_kenapa kau merasa tak bahagia? Aku merasakannya sejak pertama kali kita bertemu."

"Benar'kah aku seperti itu?"

"Ya. Bahkan terlihat sangat jelas. Apa kau tak merasakannya?"

Jennie menggeleng. Bahkan Ia sudah lupa arti bahagia itu apa. Karena sejak ayahnya meninggal, separuh hidup Jennie dan keluarganya seolah menghilang. Setelah itu masalah lainnya pun bermunculan. Seolah kesendirian dan kesedihan menjadi teman setianya.

[ Short Story ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang