Ruang perpustakaan kota yang sepi dan hanya diisi oleh suara-suara dari lembaran kertas yang dibalik oleh pembacanya dan suara ketikan yang berasal dari keyboard laptop pemiliknya sedikit memecah keheningan. Terlihat Alesya yang sibuk sendiri dengan laptop yang ada dihadapannya dengan beberapa buku yang ia bawa, gerakan dari sepuluh jari tangannya dengan cepat memenuhi layar laptopnya dengan kalimat-kalimat yang ia rangkai menjadi sebuah paragraf.
Alesya kini tengah berfokus pada cerita yang dibuatnya, ia sangat pandai dalam merangkai kata demi kata itu menjadi sebuah kalimat sehingga membuat kalimat itu menjadi suatu rangkaian yang indah. Alesya sejak masih duduk dibangku SD sudah bercita-cita menjadi seorang penulis hebat yang bisa membuat orang lain merasa senang dengan karya-karya yang ia buat. Merasa cukup dengan tulisan yang ia buat saat ini, Alesya mematikan laptopnya dan memutuskan untuk pergi ke Pantai yang tak cukup jauh dari taman tempat ia biasa sering berkunjung.
Berada di pantai dan mendengar suara deburan ombak yang menyapu pasir terasa seperti hiburan tersendiri. Berjalan sendirian diantara milyaran butir pasir pantai serta menuliskan beberapa kata diatasnya. Menurut Alesya pantai adalah tempat sunyi yang cocok untuk melepaskan segala beban pikiran yang ada. Dibiarkannya kaki itu dihempas ombak air diatas hamparan pasir dibibir pantai, sesaat ombak air merendam sebagian kaki indahnya namun sesaat juga hilang dan menjauh.
Sesaat ia menatap kosong pantai dihadapannya itu namun seketika ia kembali pada kesadarannya. Matahari kala itu kian menenggelamkan dirinya membuat langit yang biru berubah perlahan menjadi jingga. Setelah matahari tenggelam seutuhnya Alesya beranjak pergi dan pulang meninggalkan pikirannya yang kacau disana.
Tiba di rumah Alesya langsung merebahkan dirinya di kamar dan menatap langit-langit kamarnya pikirannya seketika buyar ketika terdengar dering handphone miliknya. Tertulis nama Bude Ayu disana, menurut Alesya sebelumnya Ayu jarang menghubungi jika tidak ada hal penting atau terkadang nenek yang menelpon melalui handphone milik Ayu. Tanpa berfikir panjang Alesya langsung menggeser tombol hijau itu kesamping kanan.
"Halo bude?"
"Iya, Halo Alesya. Apa kabar nak?"
Suara dari Ayu saat itu terdengar gemetar seperti orang yang sedang menahan tangis, membuat Alesya bingung dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi pada sang bude diseberang sana.
"Baik bude, bude kenapa? Tumben nelpon Ales?"
"Ales udah makan, nak?" Ayu mencoba mengalihkan pertanyaan Alesya.
"Belum bude, Ales masih belum lapar."
"Bude sama nenek apa kabar disana?" Tanya Alesya.
"Bude baik kok."
"Nenek? Kabar nenek gimana? Tadi kan Ales juga nanya kabar nenek."
Alesya semakin bingung pasalnya suara dari Ayu makin bergetar seakan benar-benar akan menangis. Benar saja tak lama setelah itu terdengar suara tangis dari sang bude.
"Bude kenapa nangis? Bude sakit?" Pikirnya yang berusaha positif.
"Nenek, Les" Tangis dari Ayu pecah, sudah tak sanggup lagi dibendung.
"Nenek kenapa bude? Nenek sakit lagi?" Alesya tau bahwa belakangan ini sang Nenek sedang sakit namun masih terlihat seperti orang normal lainnya yang sehat dan segar bugar.
"Nenek Les, nenek."
"Iya nenek kenapa bude?" Kali ini Alesya benar-benar tidak bisa berfikir positif.
"Nenek udah nggak ada Les, Nenek udah nggak sama kita lagi." Lemas, seketika semua tubuh Alesya tidak ada tenaga. Air matanya mengalir tanpa ia sadari membasahi pipinya.
"Maksud bude apa? Bude nggak becanda,kan? Nggak lucu bude. Nggak lucu sama sekali."
Masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya Alesya memutus telponnya sepihak dan segera memesan ojek online untuk pergi ke stasiun dan memesan tiket keberangkatan ke Yogyakarta detik itu juga yang hanya berbekal beberapa potong pakaian dan buku notebook yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Pikirannya kalut seperti orang yang tidak tau harus apa. Entah sudah berapa orang yang ia tabrak sedari tadi disepanjang jalan stasiun itu.
Selama perjalanan di dalam kereta Alesya hanya bisa menangis, tidak peduli orang-orang dikereta saat itu menatapnya aneh dan sesekali ada penumpang yang menanyakan dirinya kenapa namun Alesya tidak menghiraukan mereka. Sesampainya di kota pelajar itu Alesya langsung memberhentikan taksi yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Terlihat banyak orang keluar masuk dari rumah Joglo khas Yogyakarta yang terlihat sederhana itu, tak lupa terkibar dengan jelas bendera berwarna kuning yang menandakan sedang ada yang berduka ditempat tersebut. Ayu yang melihat kedatangan Alesya langsung menangis menghampiri dan memeluk Alesya dengan erat, didekapnya tubuh kecil Alesya.
Tangis Alesya pecah lagi dan lagi ia benar-benar jatuh sejatuh-jatuhnya, nafasnya terasa sangat sesak dan dadanya terasa sakit sekali. "Bude nafas Ales sesak. Sakit rasanya sakit banget." Sambil memukul-mukul dadanya Alesya masih terus menangis.
"Alesya liat bude! Masih ada bude disini ya, Alesya nggak boleh nangis kasian nenek nanti disana." Ayu mencoba menenangkan Alesya sebisanya.
Alesya yang masih lemas dituntun untuk masuk melihat sang nenek yang sudah terbujur kaku dengan wajah pucat dan balutan kain putih yang menutupi tubuh sang nenek. Tangis Alesya kembali pecah kala melihat orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya tanpa ada salam perpisahan.
"Nenek jahat banget ninggalin Alesya sendiri disini."
"Nenek bilang kalau udah sehat mau jalan-jalan sama Alesya, nemenin Alesya klau Alesya sendirian. Nenek bohong sama Alesya, nenek jahat."
"Nenek udah nggak sayang lagi sama Alesya."
"Nek, dada Ales sesak banget sakit nek sakit sekali rasanya." Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang ada disana Alesya masih terus menangis.
"Sudah Alesya. Ikhlaskan nenek ya ndok." Ayu mencoba menenangkan Alesya untuk yang kesekian kalinya.
sedaritadi orang-orang disana hanya mengucapkan kepadanya untuk tetap bersabar dan tetap tabah, sejujurnya Alesya sudah muak dengan kata-kata itu namun apa yang bisa dia lakukan? memang hanya kata-kata itulah yang sering orang-orang katakan kepada orang yang sedang bersedih atau tertimpah musibah.
Usai mengantarkan nenek keperistirahatan terakhir Alesya langsung masuk ke kamarnya yang ada di sana. Nenek adalah satu-satunya orang yang bisa mengerti Alesya, sedari kecil Alesya juga selalu dititipkan oleh kedua orang tuanya di rumah sang nenek jika mereka ada pekerjaan diluar kota, itu sebabnya Alesya sangat dekat dengan sang nenek dan begitu menyayanginya. Alesya benar-benar merasa kehilangan saat itu dan tidak tau apa dan bagaimana dia nantinya.
Saat merasa dunianya sudah hancur dan tidak ada lagi tempat buat ia bersandar Alesya melihat sebilah pisau buah yang berada di atas nakas kamarnya tanpa berpikir panjang Alesya mengambil pisau buah itu dan mencoba menyayatkan mata yang pisau tajam itu pada pergelangan tangannya. Namun entah apa yang terlintas dipikirannya saat itu ia menghentikan dan menjatuhkannya ke lantai dan kembali menangis sembari meringkuk memeluk kedua kakinya.
Alesya teringat oleh kata-kata sang nenek yang mengatakan bahwa Alesya harus tetap kuat dan bahagia dalam menjalankan hidupnya, tak peduli seberapa sakit dan terlukanya dia Alesya harus tetap bisa mengangkat kepalanya agar mahkota indah miliknya tidak terjatuh begitu saja dan menjadi sia-sia. Tak sadar Alesya tertidur dalam isak tangisnya yang begitu menyayat hati bagai seorang anak kucing yang ditinggal pergi oleh sang induk.
KAMU SEDANG MEMBACA
°Alesya's Story°
FanficAlesya seorang mahasiswi semester 3 Sastra Indonesia yang mengabdikan hidupnya setiap waktu pada sebuah buku yang selalu dia bawa kemanapun. Ketika hidup tidak berjalan sesuai dengan apa yang kamu impikan dan berharap hidupmu seperti scenario yang k...