02. Intraksi Pertama

77 14 5
                                    

Hari jum'at telah tiba. Hari yang sangat ku tunggu-tunggu karena hari ini tidak ada jadwal perkuliahan. Koordinator kelas ku cukup pandai bernegosiasi dengan dosen hingga kami memiliki jadwal hanya pada hari senin hingga kamis. Sebab hal itu juga membuatku enggan untuk menuewa kost, lagi pula jarak kampus dengan rumah hanya membutuhkan 30 hingga 45 menit saja.

Saat libur begini biasanya ku manfaatkan untuk me time, berdiam diri di kamar entah hanya scroll sosial media atau pun membaca novel yang belum sempat ku selesaikan. Namun hari ini aku hanya menonton live kak Jill sambil menghitung berapa gelombang kanan dan kiri gorden yang ada di rumah.

“Kak?”

Aku menoleh ke arah pintu saat mendengar ketukan dan juga panggilan dari ibu. “Iya bu?” menunggu ibu memasuki kamar ku. Namun, tidak ada tanda-tanda beliau akan masuk kamar.

“Ayo bantu ibu masak, ayah mebgundang nak Taeil untuk makan siang bersama. Buruan ya, ibu tunggu di dapur.” setelah berucap itu, aku mendengar langkah kaki ibu mulai menjauhi kamar ku.

Aku yang tadinya tengkurap sembari sibuk menonton kak Jill langsung duduk tegap. “Kok bisa? Ini ayah beneran mau nikahin aku? Maksud ayah apa nih mengundang kak Taeil makan siang bersama?” guman ku dengan alis mengkerut.

“Kakak?”

“Iya bu, ini kakak keluar.”

“Jangan lupa pakai jilbab, nak Taeil-nya datang sebelum jumatan soalnya. Mau jumatan bareng sama ayah.” ucap ibu.

“Iya bu.” pasrahku kemudian mengambil jilbab bergo yang tersampir di sandaran kursi meja belajarku. Semalam lupa ku pindah setelah ku gunakan pergi membeli minya goreng.

...

Sesekali ku lirik kak Taeil yang duduk di sampingku. Saat ini kami tengah berada di gazebo samping rumah di temanai dua gelas es teh manis dan kue kering buatan ibu.

Ayah dan kak Taeil sudah pulang jumatan 15 menit yang lalu. Makan siang pun sudah selesai bahkan sebelum mereka pergi ke masjid.

Dan sejak 10 menit yang lalu pula belum ada percakapan sama sekali antara kami berdua. Atmosfer canggung pun terasa begitu kuat saat ini.

Aku tidak tahu bagaimana cara memulai percakapan dengan lawan jenis hanya berdua saat ini. Rasanya aku ingin protes pada ibu dan ayah yang tiba-tiba sibuk dan malah meninggalkan ku dan kak Taeil di rumah. Tidak berdua saja, ada adik ku juga. Tapi anak itu memilih berdiam diri menonton si Bolang.

Hingga tiba-tiba suara deheman kak Taeil membuatku menoleh seutuhnya pada pemuda itu. “Kuliahnya gimana, lancar?” tanyanya.

“Ya gitu-gitu aja kak. Kuliah, dijelaskan, dikasih tugas, dosen gak datang ya langsung pulang.” jawabku sekedarnya. Toh, memang begitu adanya.

“Kakak dengar-dengar kamu gak ngekost ya?”

Aku mengangguk pelan, “Iya, menurutku gak terlalu jauh jaraknya. Kalau di rumah kan bisa bantu-bantu ibu. Aki juga gak bisa ngekost kayaknya.” ucapku.

Kak Taeil menatapku dengan alis mengernyit. “Loh, kenapa gitu?” tanyanya penasaran.

Homesick, susah tidur kalau bukan di kamar sendiri. Gak biasa.” jawabku jujur.

Entah bagian mana yang lucu dari perkataanku barusan. Namun itu berhasil membuat pemuda di samping ku saat ini terkekeh. Bahkan tindakan tiba-tibanya membuatku cukup terkejut saat telapak tangan besarnya mengusap kepala ku yang tertutup bergo dengan gemas.

“Kamu harus mulai belajar beradaptasi di tempat baru, dong.” ucapnya. “Katanya mau lanjut S2 di Singapura. Masa iya kamu nanti baru sampai di Singapura langsung mau pulang.” imbuh kak Taeil di akhiri dengan kekehan.

“Kayaknya ayah sudah banyak cerita ya ke kak Taeil?” celetuk ku.

Ia berdeham cukup panjanh sembari mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk, “Lumayan banyak.”

Aku menghembuskan napas berat, “Banyak jeleknya atau baiknya?” tanya ku lagi.

“Gak tahu, penilaian orang beda-beda. Tapi menurut kakak kamu tuh lucu.”

Eits kak Taeil siapa yang memberikan anda hak berbicara demikian?

“Y—ya gak begitu juga, kak.” bantah ku sembari mengalihkan topik pembicaraan yang mungkin saja bisa membuatku merasa tak karuan. “Bukannya gak bisa beradaptasi, ya memang jaraknya menurutku dekat jadi lebih baik PP hemat biaya kost.” jelasku padanya.

Entah hal apa lagi yang membuat beliau di samping ku saat ini terkekeh. Yang sialnya kekehan itu membuatku merasa bertambah gugup.

“Kenapa sih tangannya, gak sakit diremas-remas begitu? Remasanya kayak kuat begitu.”

“Eh,” aku langsung menghentikan kebiasaan ku saat gugup saat mendengar pertanyaan kak Taeil. “Kak, ini yang dibilang ayah kalau kakak mau nikahin aku itu beneran?”

Ia lantas menatapku intens, bahkan tubuhnya sepenuhnya mengarah pada ku yang otomatis membuat rasa gugupku melambung semakin tinggi. Ngomong-ngomong benar kata ayah, kalau kak Taeil itu ganteng. Not gonna lie.

“Sejujurnya kakak sudah lama tertarik sama kamu.”

“Gimana?” tanyaku memastikan bahwa aku tidak salah dengar.

“Iya kakak sudah lama tertarik sama kamu. Terhitung tiga tahun lalu.”

Aku menelan air liur ku susah payah, masih tidak percaya dengan fakta yang diucapkan kak Taeil. “T—tapi tertarik belum tentu cinta, kan, kak?”

Ia tersenyum, tetap menatapku dalam namun terasa begitu lembut. Jika boleh percaya diri tatapan kak Taeil terasa seperti memuja ku saat ini.

“Terus apa dong namanya kalau tertarik dan sudah berniat mau nikahin kamu?” tanyanya balik yang sukses membungkamku.

“Kakak tidak akan memaksamu untuk nerima kakak. Tapi, boleh tidak minta tolong sama kamu untuk berikan kakak ruang buat membungktikan niatan baik kakak?”

Ku beranikan diri untuk balik menatapnya. Menelisik apakah ada kebohongan yang terpancar di maniknya. Namun nihil, aku tidak menemukan kebohongan sama sekali di sana.

Prove it.” gumanku. Namun ku yakin kak Taeil masih mampu mendengarnya.

“Serius?” tanyanya, nadanya terdengar begitu gembira dan antusias sekarang.

Aku mendengus mendengar pertanyaannya tersebut. Bisa-bisanya ia bertanya demikian, hei kak akun bukan tipe orang yang suka mempermainkan perasaan orang.

“Tergantung, kalau kak Taeilnya serius ya aku juga serius.” jawabku seadanya.


Tbc...

Mas Ft. Moon TaeilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang