01. Tawaran

151 14 4
                                    

Mas Ft. Moon Taeil
[New Version]

Happy reading, ygy.
<3

Jam kayu berbentuk lingkaran yang tergantung rapi di dinding ruang makan menunjukan pukul delapan malam. Aku baru saja selesai menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim, sholat isya. Setelah mengikat rambutku yang panjangnya hanya sebahu itu lantas bergegas keluar kamar memenuhi langgilan ibu untuk segera makan malam bersama.

Ibu duduk berdampingan dengan ayah, sementara aku langsung mengambil tempat di samping adik perempuanku yang baru menginjak umur 12 tahun, saling berhadapan dengan ibu dan ayah.

Makanan sudah tertata rapi di atas meja, nasi putih, sambal goreng tempe yang dibagi menjadi dua wadah yang satunya tanpa campuran kacang dan ikan teri karena ayah tidak bisa memakan makanan hasil laut, ada juga telur dadar, serta sayur bening berupa jagung dan bayam. Sederhana namun menurutku ith sungguh nikmat ketika kita memakannya bersama keluarga.

Tanpa perlu banyak bicara, masing-masing kami mulai menyantap hidangan tersebut, tentu saja tidak lupa membaca doa yang dipimpin oleh ayah. Dalam keluarga ini memang dibiasakan untuk tidak banyak berbicara saat makan, takutnya hal yang tidak diinginkan terjadi, seperti tersedak misalnya.

Puluhan menit berlalu, satu persatu dari kami sudah menghabiskan makan malam kali ini.

"Kak?" panggil ayah sesaat setelah beliau meneguk setengah gelas dari air minum yang ibu siapkan.

Aku menoleh menatap beliau dengan penasaran, "Kenapa ayah?"

"Kakak mau tidak kalau ayah nikahkan dengan nak Taeil?"

Uhuk.... Uhuk...

Aku tersedak setelah mendengar ucapan beliau. Terdengan santai namun tatapannya terlihat begitu berharap kepadaku.

Aku menatap beliau heran bercampur rasa tidak percaya. "Ayah, ayah bercanda kan?" ucapku, "Kakak belum genap 20 tahun, loh, ayah. Kuliah aja baru semester satu yawalaupun sebentar lagi UAS." imbuhku.

Ayah mengangguk mantab. "Ayah serius. Ya tidak apa-apa, kakak tetap bisa melanjutkan kuliah karena, ayah yakin nak Taeil mampu." jawabnya lugas.

Aku menatap ayah tidak percaya. Menggeleng kuat sebagai bentuk penolakanku. "Ya kak Taeil memang mampu. Tapi ayah mikir tidak apa anak ayah ini mampu mengurus rumah tangga dan beban kuliah dalam waktu bersamaan. Ayah tahu sendiri, bahkan ayah sering bilang kalau kakak belum bisa mengurus diri sendiri ini malah anaknya disuruh nikah." tanpa sadar intonasiku meninggi. Membuat ibu segera menghampiriku lantas memberikan usapan lembut pada bahuku, menenangkan.

"Kak, tenang kak." guman ibu di sela-sela usapannya.

Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Tidak lupa merapalkan istighfar guna meredam emosiku.

"Ayah niatnya baik, kak. Ayah hanya ingin yang terbaik untuk anak-anak gadisnya. Kakak dengarkan baik-baik dulu, ya?"

Aku hanya diam tidak berniat merespon ucapan ibu. Ku lirik adikku yang sama diamnya dengan ku, tetapi aku tahu dari tatapannya ia terlihat khawatir pada ku.

Netra ayah tak lepas menatapku yang kini pikirannya sudah berkecamuk, "Iya, ayah hanya ingin yang terbaik buat kakak. Nak Taeil orangnya baik, akhlaknya bagus, sudah mapan, dia juga tampan. Paket komplit, semuanya sudah ada. Coba kakak pikirkan." ucap ayah.

"Ayah sama ibu sudah tua nak, ayah hanya ingin yang terbaik dan feeling ayah bilang kalau nak Taeil yang memang pas untuk kakak. Ayah ingin kakak dapat hidup layak tanpa terbebani hutang seperti ayah dan ibu. Hutang ayah dan ibu sudah banyak belum lagi hutang bibi mu yang kini ditanggung sama ibu. Kami sudah tidak tahu bagaimana kedepannya. Kakak tahu sendiri keadaan toko dan bengkel ayah bagaimana."

Terdapat jeda cukup panjang serta helaan napas berat ayah.

"Bukan maksud ayah dan ibu buat lepas tangan terhadap tanggung jawab biaya kuliah kakak, tapi untuk saat ini beban ibu dan ayah sangat berat. Banyak sekali orang-orang secara bergantian mendatangi ibu, menagih hutang bibi mu yang bahkan uangnya saja bahkan ibu tidak tahu wujudnya dan digunakan untuk apa saja." ucap ayah panjang lebar.

Hatiku mencelos, emang benar akhir-akhir ini masalah berdatangan silih berganti. Mulai dengan dipasangnya label pengawasan bank di rumah nenek karena bibi yang telat menyetor hingga beberapa bulan, motor yang dicabut dealer, belum lagi ditagih oleh orang tidak sabaran yang mengambil bunga tidak sedikit.

Lagi-lagi aku menggelengkan kepala ku. “Iya, kakak tahu kakak cuma beban di sini. Itu makanya ayah mau menikahkan kakak dengan kak Taeil. Iya kan ayah?” tanyaku diakhiri dengan kekehan yang ku yakini semua orang yang ada di ruang makan ini pun sadar bahwa itu kekehan pedih.

“Bukan begitu, kak, sekali lagi ayah katakan bahwa ayah hanya ingin yang terbaik. Kakak dan adik itu anugrah terindah yang ayah dan ibu miliki. Bukan beban seperti yang kakak pikirkan. Ayah hanya takut tidak mampu lagi membiayai kuliah mu. Ayah tidak ingin kakak berhenti begitu saja di tengah jalan. Ayah mau kakak bisa meraih cita-cita kakak. Kakak mau lanjut S2 ke Singapur, kan, kakak mau jadi dosen, ingin mendirikan yayasan untuk orang-orang yang berkebutuhan khusus. Itulah kenapa ayah ingin menikahkan kakak dengan nak Taeil. Feeling ayah kuat kalau nak Taeil mampu membantu kakak wujudin keinginan kakak itu, ibu juga berpikir begitu.” jelas ayah.

Ayah mengelap tangannya pada serbet di samping piringnya, “Coba kakak pikirkan lagi kedepannya, ayah sayang sama kakak.” ayah menghampiriku lantas mencium keningku sekilas dan meninggalkan kami bertiga di ruang makan.

“Dipikirkan baik-baik dulu apa yang ayah katakan.” ibu menepuk bahu ku pelan dan mengusap kepala ku penuh kasih sayang, “Gih kakak masuk kamar, istirahat. Ini biar ibu sama adik yang beresin.” ucap beliau sembari mengukir senyum menenangkan melukis wajahnya yang mulai memunculkan banyak tanda penuaan.

Tanpa kata aku langsung menghamburkan diri ke dalam pelukan ibu, “Bu, kakak masih mau fokus kuliah dulu sampai selesai S2. Kakak janji bakalan cari beasiswa. Kakak takut gak mampu nyelesaiin kuliah kalau sudah berumah tangga nanti.” gumanku.

“Iya kak, ibu tahu. Doakan saja ibu sama ayah panjang umur dan diberikan kesehatan, juga orang-orang masih mempercayai ibu dan ayah untuk meminjam rizki mereka.”

Aku menggeleng cepat merespon ucapan ibu, “Jangan menambah hutang lagi, ibu.” rengek ku.

Hatiku terasa tersayat ketika mendengar ibu berkata demikian. Langsung teringat dengan cemoohan tetangga sekitar rumah. Meskipun ibu selalu mengingatkan ku untuk tidak terlalu mengambil hati perkataan mereka, tetap saja itu sangat sulit bagi ku.

Mentang-mentang mereka dari keluarga berkecukupan tidak seharusnya mereka bersikap demikian. Apa mereka lupa bahwa dunia itu berputar? Tidak selamanya kita berada di atas begitupun sebaliknya.

Ibu malah terkekeh mendengar rengekan ku. Yang bahkan aku tahu itu hanya topeng yang ibu perlihatkan guna menutup kesedihannya. “Masuk kamar gih, langsung istirahat ya. Jangan begadang baca AU loh ya, kak.”

“Kakak nggak.”

“Iya nggak, dipikir ibu gak pernah apa nengok kakak masih main hp baca AU, lampu kamar dimatiin biar dikira sudah tidur.”

“Emang gitu kakak, bu.” kompor adik.

Aku menatapnya sengit, beralih menatap ibu. “Ibu mah..” rengek ku.

“Udah sana masuk kamar, dipikirin baik-baik kata ayah barusan.”

Yahh malah diingatkan lagi sama ibu, harus bagaimana aku kalau sudah begini?

Tbc...

Mas Ft. Moon TaeilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang