Bab 5 (Kedatangan Adik Ipar)
Sesuai ucapan Mas Arman semalam, adiknya itu datang ke rumah. Lengkap dengan tiga koper besar bersamanya.
'Astaga, dia kek mau pindahan aja. Apa dia bakal tinggal di sini selamanya.' batinku terkejut melihat tiga koper. Belum lagi yang terbungkus dalam beberapa kardus.
Kamar tamu di rumah ini memang besar, tapi untuk meletakkan barang sebanyak itu, entahlah. Biar itu jadi urusan dia sendiri.
"Eh Sindy, ayo masuk. Ibu mana?" tanya Mas Arman begitu antusias.
"Ibu masih di mobil, Mas. Lagi debat sama supir taksi."
"Ohh. Arini, ayo bantuin Sindy. Kasihan dia angkat barang sebanyak ini sendirian." Mas Arman beralih memandangku. Aku hanya mengangguk dan mulai membantu mengangkat barang-barang Sindy.
"Arman! Sindy! Ibu datang ...."
Suara Ibu membuatku menghentikan aktivitas, menoleh, melihat tiga orang itu berpelukan mesra. Khas sekali keharmonisannya. Tapi sayang, itu tidak membuatku tertarik. Aku harus bertahan di rumah ini, dan membuat perhitungan dengan mereka.
"Arini! Ngapain kamu masih di situ? Mantu kurang asem aja lihat-lihat. Sana pergi! Angkatin itu barang-barang Sindy."
Malas meladeni Ibu, aku mengangkat barang-barang Sindy ke dalam kamarnya. Bukan apa-apa, aku belum sarapan jadi sayang aja kalau dipake cuma buat debat sama Ibu.
"Sindy, bagaimana kabar kamu di Jerman selama ini? Kok kamu jarang sekali telepon ke Ibu. Ibu kangen sekali."
"Sindy baik-baik saja, Bu. Maaf, Sindy jarang telepon karena Sindy sibuk sekali dengan skripsi."
"Oalah, kamu pasti capek, kan. Kamu lapar? Mau makan apa?" tanya Ibu lagi.
Kurang asem memang. Dia yang pindahan, eh, aku yang disuruh angkat-angkat. Sikap Ibu manis sekali dengan Sindy, tidap pernah semanis itu padaku. Meskipun aku hanya menantunya, tapi aku juga bisa jadi anaknya, kan.
"Arini! Masakin telur rebus setengah matang untuk Sindy ya!" seru Ibu dari ruang tamu.
"Kalau aku masak, siapa yang angkat barang-barang sebanyak ini?" tanyaku kesal.
"Bisa, kan kamu berhenti sebentar. Masak telur. Paling juga lima menit itu telurnya matang."
"Tapi, Bu."
"Arini ... kamu denger apa yang dikatakan Ibu, kan?" Mas Arman menatapku tajam. Seolah mengatakan agar aku menurut saja.
Mas Arman memang sudah tidak mencintaiku, buktinya ia sama sekali tidak membela saat aku diperlakukan seperti pembantu. Ia juga tidak membantuku mengangkat barang-barang Sindy.
Perasaanku kesal. Aku meraih handphone di dalam saku, kemudian menelpon Rida agar cepat datang.
"Halo, Bu." Kudengar suara halus Rida di seberang.
"Rida, kamu lagi apa? Cepat datang ke rumah saya."
"Anak saya lagi rewel, Bu. Tapi saya usahakan untuk segera datang ke sana. Maafin saya ya, Bu."
"Ya udah Rida, tidak masalah. Kalau anak kamu sudah bisa ditinggal, cepat datang ke sini."
"Baik, Bu."
Klik.
Aku pergi ke dapur. Memasakkan telur setengah matang untuk Sindy. Tidak lama, telur aku angkat dan membawanya ke ruang tamu.
"Ini telurnya."
"Terimakasih ya, Mbak. Maaf sudah merepotkan."
"Sama-sama."
"Mbak, duduk saja dulu. Kita ngobrol sebentar, nanti biar aku angkat sendiri barang-barangku," ajak Sindy sopan.
"Halah. Ngapain juga mesti di suruh duduk. Biarkan saja dia angkatin barang kamu!" seloroh Ibu.
"Tapi, Bu."
"Sudahlah Sindy! Biarkan saja dia yang angkat. Kamu pasti capek, jadi setelah makan kamu bisa langsung istirahat di kamar!"
"Arini ...." Kali ini Mas Arman yang bicara.
"Ada apa Mas?"
"Kamu angkatin barang-barang Sindy nggak papa, kan?"
"Iya, Mas."
'Sabar, sabar, sabar. Kamu harus kuat Arini. Jangan gegabah. Jangan sampai mereka membuangmu seperti sampah, sebelum kamu mendapatkan sesuatu yang berharga dari mereka.' batinku menguatkan.
"Mas bantuin kamu, ya," tambahnya. Aku hanya mengangguk.
"Nggak usah Arman. Sebentar lagi kamu kan harus berangkat kerja. Mending kamu mandi saja deh, daripada telat kerjanya." Ibu melarang. Mas Arman menatapku, tatapan yang meminta agar aku mengijinkannya untuk mandi.
"Ibu bener, Mas. Kamu mandi saja. Aku bisa kok angkat semua ini."
"Ya udah, kamu pelan-pelan saja ya angkatnya. Kalau capek istirahat."
Mas Arman pergi ke dalam. Aku mulai memindahkan koper ke dalam kamar tamu. Baru satu koper yang aku pindahkan, terdengar ucapan salam dari luar.
"Assalamualaikum ...."
"Waalaikumsalam."
"Rida, kamu sudah datang? Ayo bangun saya." Rida mengangguk, kemudian mulai membantuku memindahkan barang.
"Mbak Rida!" seru Sindy. Sontak aku dan Rida berhenti.
Rida menunduk, dari wajahnya bisa aku lihat dia sedang cemas.
"Mbak Rida sini, Sindy kangen banget sama Mbak. Fadil apa kabar, Mbak?" Sindy menyerbu Rida dengan banyak pertanyaan.
"Fadil b-baik Mbak Sindy."
"Mbak Rida kok manggil aku Mbak, sih. Aku ini kan_"
"Iya Mbak. Mbak memang lebih muda dari aku, tapi di sini aku kan jadi pembantu. Jadi harus sopan sama majikan." Rida memotong ucapan Sindy.
"Sindy, kamu kok bisa kenal sama Rida?" tanyaku heran.
"Iya kenal dong, Mbak Arini ... Mbak Rida ini, kan_"
"Pembantuku sejak lama," sahut Mas Arman yang muncul dari belakang.
Aku menatap Rida, Sindy, dan Mas Arman bergantian. Aku merasa ada yang sedang di tutup-tutupi di sini. Ada apa ini, apa yang sebenarnya sedang terjadi?
***
Bersambung ....
Barkenalan lebih dekat dengan Author?
Facebook : Arza Derya & Arza Derya II
Ig : arzadry
KBM App : Arza Derya
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekas Lipstik
WerewolfDelapan tahun pacaran dan tiga tahun menikah. Sebelas tahun sudah aku bersamanya. Ternyata kebersamaan selama itu tidak menjamin dia akan setia. Sedangkan diriku, bodoh sekali tidak mampu mengenalinya. Sepuluh tahu sudah menjadi waktu terbodoh yang...