BAB 6 (Wanita Itu Pembantuku)
Aku termenung di dalam kamar. Mas Arman sudah pergi bekerja, Ibu juga sudah pulang, Sindy mungkin sedang istirahat di kamarnya.
Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah Rida begitu pias saat melihat Sindy. Wajah Sindy berbeda, gadis itu yang awalnya bahagia melihat Rida, tiba-tiba terkejut mengetahui Rida adalah pembantu di rumah ini. Sedangkan Mas Arman mengatakan bahwa Rida adalah pembantunya sejak lama.
"Sebenarnya apa yang sedang terjadi. Apa benar hanya sebuah kesalahpahaman. Aku harus selidiki semuanya. Terlalu banyak rahasia yang ada di sini. Sepuluh tahun bersama Arman, tapi kenapa aku seolah tidak mengenalnya." Kurebahkan tubuh di atas kasur. Memijit keningku pelan, rasa sakit menderaku sepanjang hari ini.
Aku tidak tahan lagi. Sore ini juga aku akan pergi ke rumah wanita itu. Pukul enam sore harusnya Mas Arman pulang dari kantor. Tapi ia selalu beralasan lembut setiap hari, hingga pulang pukul sembilan malam.
Aku akan datangi wanita itu pukul tujuh malam. Mas Arman pasti sudah bersama mereka, aku yakin sekali.
***
Aku merasa tidak enak badan. Tapi aku harus segera menyelesaikan misi ini. Aku harus membongkar kedok besar yang disembunyikan dariku.
Pakaian yang sudah aku siapkan sejak dulu, kini aku kenakan. Langkahku besar-besar ke luar rumah. Di sana sudah ada taksi pesananku sudah menunggu.
"Apakah sudah lama menunggu, Pak?" tanyaku basa-basi.
"Tidak, Mbak. Baru saja sampai," jawabnya tersenyum. Wajah tua supir taksi ini tampak sangat kelelahan. Aku merasa iba padanya.
"Ya udah, jalan ya Pak. Nanti saya arahkan jalannya."
"Baik, Mbak."
Suasana sunyi di dalam mobil. Tapi itu hanya sesaat, sopir yang umurnya seumuran dengan ayahku ini menyalakan lagu yang sedang hitz saat ini.
"Suaminya lagi kerja ya, Bu?" tanya bapak-bapak itu.
"Iya, Pak."
"Bagaimana kabar suaminya, Bu?"
"Baik, Pak."
Aku sedikit heran dengan supir taksi yang terus bertanya seperti ini. Namun aku tidak ingin mempermasalahkannya, aku sedang fokus pada jalanan menuju rumah wanita itu.
"Belok kanan Pak."
"Baik."
Mobil berbelok ke kanan. Kemudian berhenti di depan sebuah rumah yang aku datangi beberapa waktu lalu. Kondisinya masih sama, lengkap dengan mobil Mas Arman yang terparkir di halaman.
Meski sudah dari kemarin aku mengetahui ini. Tapi hatiku masih saja tetap terasa sakit mendapati semua ini.
"Mas, bagaimana jika sampai Mbak Arini mengetahui hubungan kita? Apa nggak sebaiknya, Mas mengatakan yang sebenarnya?"
Kudengar suara wanita bicara dari dalam. Aku merapatkan tubuhku di pintu. Menguping pembicaraan mereka.
"Tidak. Kamu tahu, aku sangat mencintai Arini. Aku tidak ingin dia terluka."
"Kamu selalu memikirkan perasaannya, Mas. Tidak pernah sedikitpun memikirkan perasaanku. Kau jauh lebih sakit dari yang Arini rasakan Mas. Bertahun-tahun aku melihat suamiku sendiri menikah dengan orang lain, aku dengan sangat sadar suamiku tidur bersama wanita lain setiap malam. Aku yang terus mengalah demi menjaga perasaannya. Tapi tidak satupun orang yang memikirkan perasaanku."
Aku tidak mendengar apapun lagi. Sepertinya Mas Arman tidak bisa menjawab perkataan istrinya. "Mas Arman menikah dengan wanita lain?" lirihku. "Apa yang wanita itu maksud adalah aku? Apa aku istri kedua? Tapi mana mungkin, aku sudah berpacaran selama delapan tahun bersama Mas Arman. Bagaimana bisa aku justru jadi istri kedua?" tambahku keheranan.
"Kamu salah Rida. Ibu sangat peduli padamu. Itulah kenapa aku tidak pernah menyukai wanita jalang itu." Itu suara Ibu. Jadi ini maksud dari perkataan Ibu tempo hari.
'Mas Arman dan Rida adalah sepasang suami istri?'
Tubuhku lemas, pintu tidak mampu menahan berat badanku. Hingga ia terbuka lebar, menampilkan tubuhku dihadapan mereka.
"Arini!"
"Ceraikan aku, Mas," ucapku datar.
"Arini, kamu salah paham. Mas bisa jelaskan sama kamu. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan."
"Salah paham. Aku? Tidak Mas! Aku mendengar semuanya. Jadi aku adalah istri kedua? Kapan, Mas? Kapan kamu menikah dengan wanita ini? Kapan!"
"Tiga tahun sebelum pernikahanku denganmu Arini."
"Tiga tahun?" Aku terkejut. Sangat terkejut.
"Iya Arini. Tapi aku bisa jelaskan semuanya."
"Cukup, Mas! Aku benar-benar bodoh. Kamu selingkuh saat kita masih pacaran. Aku begitu bodoh, aku terlalu mempercayaimu sampai-sampai tidak menyadari konspirasi sebesar ini."
"Arini ...."
"Ceraikan aku, Mas. Selesaikan penderitaan istri pertamamu. Istri pertama yang kamu kenalkan sebagai pembantu padaku. Ckckck. Kamu ini kejam sekali, Mas. Bagaimana bisa seorang istri kamu katakan sebagai pembantu. Kamu menjijikkan, Mas! Aku jijik padamu!"
Aku ingin berlari cepat, tapi tubuhku tidak bisa diajak kompromi. Langkahku sempoyongan.
"Arini!"
Tidak, aku tidak ingin berbicara apapun padanya. Meski lemas kupaksa tubuhku untuk untuk berjalan cepat ke arah taksi.
"Taksi!"
Bapak tua itu keluar, ia tergopoh-gopoh membantuku masuk ke dalam mobil.
"Cepat jalan, Pak."
"Baik, Mbak."
Mobil melaju pelan meninggalkan rumah Rida.
"Arini!"
"Arini!"
Aku terisak, sekuat apapun seorang wanita ia masih bisa terluka.
"Mas Arman, terimakasih untuk luka yang kau goreskan begitu dalam," ucapku disela-sela isak tangis.
"Mbak baik-baik saja?" tanya Pak supir.
"Saya baik-baik saja, Pak?"
"Mau minum teh hangat? Kalau mau kita bisa mampir di sebuah kedai tidak jauh dari sini. Barangkali itu akan membuat Mbaknya jauh lebih tenang."
"Terimakasih, Pak. Tapi saya ingin segera pulang."
"Mampir saja sebentar, Nak. Kamu pasti akan lebih baik."
'Nak?' batinku gamang.
***
Bersambung ....
![](https://img.wattpad.com/cover/318396401-288-k601176.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekas Lipstik
Hombres LoboDelapan tahun pacaran dan tiga tahun menikah. Sebelas tahun sudah aku bersamanya. Ternyata kebersamaan selama itu tidak menjamin dia akan setia. Sedangkan diriku, bodoh sekali tidak mampu mengenalinya. Sepuluh tahu sudah menjadi waktu terbodoh yang...