Bab 4 (Mau Bercerai Denganku?)
"Hahaha!"
Tawaku pecah, puas sekali rasanya mengerjai si nenek lampir itu. Ah, maaf. Ibu mertuaku maksudnya.
"Maafkan aku ya Bu. Aku memang tidak berguna," ucapku sambil menutup pintu depan. Aku masih sempat melihat ibu mertuaku yang lari terbirit-birit ke arah gerbang.
"Ibu, itu hanya sebatas garam yang aku masukkan ke dalam teh. Bukan garam yang aku taburkan dalam luka. Tunggu saja pembalasanku."
Gara-gara ibu datang, aku jadi terlambat satu jam pergi ke rumah wanita sial*n itu. Mungkin besok saja aku pergi ke sana. Kerjaan rumah juga sudah numpuk. Biar aku selesaikan pekerjaan rumah hari ini, besok aku akan punya waktu lebih lama untuk menemui wanita itu.
"Assalamualaikum ...."
"Rida, kamu baru datang?" tanyaku melihat pembantuku yang datang dari pintu.
"Iya, Bu. Maaf saya terlambat. Tadi anak saya rewel."
"Oh, ya udah. Kamu beresin aja bagian depan, sama buang sampah di dalam. Setelah itu, kalau nggak ada pekerjaan. Kamu boleh pulang." Rida dulunya adalah pembantu yang tinggal di sini. Namun setelah dua bulan pernikahanku, ia ijin untuk menjadi pembantu paruh waktu yang datang setiap pagi dan pulang sore hari.
Aku tidak bisa bercerita banyak tentang Rida, wanita itu adalah pembantu bawaan Mas Arman. Ia sudah lama bekerja pada Mas Arman, dan dia adalah wanita pekerja keras. Aku suka cara kerjanya selama ini.
"Aku harus mencuci pakain Mas Arman," ucapku pelan. Aku bergegas pergi ke belakang dan mulai mencuci. Setelah mencuci pakaian, aku kembali ke kamar.
***
Ting tung.
"Airini! Arini!"
"Ya!"
"Ada apa, Mas? Kok teriak-teriak begitu?"
"Kunci pintunya, aku tunggu kamu di kamar."
"I-iya, Mas."
"Jangan lama-lama."
"Iya."
Aku langsung mengunci pintu cepat. Sepertinya Mas Arman sedang marah. Entah karena apa. Sesaat kemudian aku teringat, mungkin Ibu mengadu pada Mas Arman.
Cklek.
Aku masuk ke dalam kamar. Kulihat Mas Arman sedang melepas jas hitam yang ia kenakan, kemudian disusul dengan menggulung lengan kemejanya. Andai aku tidak tahu dia selingkuh, pemandangan ini sungguh menggoda.
"Ada apa, Mas?" tanyaku hati-hati. Kemudian duduk di salah satu sisi ranjang.
"Mas mau bicara sama kamu."
"Iya, Mas. Ada apa?" Aku mencoba bersabar, dari tadi cuma bilang mau bicara tapi nggak bicara-bicara.
"Hemmm." Ia duduk di sampingku. Wajah kami berhadap-hadapan.
"Apa yang kamu lakukan sama Ibu tadi pagi?" tanyanya disertai helaan napas panjang.
"Enggak ada," jawabku ketus. Dugaanku benar mengenai Ibu.
"Jangan bohong, Arini. Ibu sudah memberitahuku."
"Oh, ya? Apa ibu memberitahumu semuanya? Aku yakin tidak."
"Apa maksudmu? Jangan kurang ajar Arini. Dia Ibuku, surgaku di bawah telapak kakinya, jadi kamu jangan sekali-kali bicara buruk tentangnya!" Mas Arman naik pitam. Tapi aku tidak ingin gentar.
"Apa kamu mau bercerai denganku, Mas?" tanyaku pelan. Namun berhasil memukulnya telak.
Mas Arman diam. Tatapannya padaku tidak segarang tadi. "Apa maksudmu?" Matanya memicing.
"Aku tanya sama kamu Mas. Apa kamu mau bercerai denganku? Karena itu yang ibumu inginkan dariku."
"Apa? jangan fitnah kamu Arini."
"Silahkan kalau kamu nggak percaya, Mas. Tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Ibu sering datang dan memintaku melepaskanmu. Ia bilang kamu bukan laki-laki yang baik, apa itu benar?"
"Apa maksudmu, Ibu bilang aku bukan laki-laki baik?" Ia terkejut.
Aku mengangguk. Memasang wajah sesedih mungkin. Kasihan sekali Mas Arman, jika ibunya saja bisa berkata seperti itu. Apakah mungkin selingkuhannya itu orang baik. Bodoh sekali kamu Mas. Kamu menyia-nyiakan aku demi sesuatu yang belum tentu berpihak padamu.
"Apa saja yang ibu katakan padamu?"
"Hanya itu."
"Kamu jangan dengerin Ibu ya. Tapi kamu juga nggak boleh kurang ajar sama beliau. Biar bagaimanapun ia tetap ibuku. Jangan pernah menaruh garam dalam minumannya lagi ya?" ujarnya pelan. Ia meraihku ke dalam pelukannya.
"Aku sayang sama kamu Arini. Sampai kapanpun aku tidak akan meninggalkanmu."
Aku hanya tersenyum miris mendengar perkataannya. Kali ini ucapan itu terasa hambar, tidak lagi membuat dadaku menggebu-gebu.
"Oh iya, ada satu lagi yang mau Mas omongin." Mas Arman melepaskan pelukannya.
"Apa?"
"Mulai besok, adikku Sindy akan tinggal bersama kita."
"Apa?!"
"Ya, Sindy, adik ipar kamu akan ikut tinggal bersama kita. Kamu tahu kan, di rumah ibu nggak ada kamar yang bagus. Di sini, Sindy yang baru pulang kuliah dari Jerman pasti akan betah. Kalian, kan sama-sama lulusan hukum. Kamu mantan pengacara, dan dia bercita-cita jadi pengacara. Aku pikir kalian akan cocok satu sama lain."
"Tapi, Mas."
"Ssssst. Udah, Sindy anaknya baik. Mas jamin, dia juga akan bersikap baik sama kamu."
"Kamu yakin, Mas?" tanyaku ragu. Aku tidak terlalu mengenal Sindy.
"Sangat yakin."
"Hmm." Bagaimana mungkin aku bisa percaya sama kamu, Mas. Orang kamu aja bisa selingkuhin aku.
"Iya Sayang, ya udah aku mandi dulu ya. Besok pagi Sindy akan datang ke sini."
"Iya, Mas."
Aku hanya menatap kosong tubuh Mas Arman. Aku harus punya rencana khusus untuk iparku itu, kali aja dia juga menyebalkan.
Kadang aku menyesal meninggalkan pekerjaanku sebagai pengacara, dan menjadi ibu rumah tangga yang hanya bergantung pada Mas Arman. Tabungan masih lumayan banyak, sih. Tapi kalau aku nggak merampok keluarga menyebalkan ini, kan aku yang rugi.
***
Bersambung ....
Berkenalan lebih dekat dengan Author?
Facebook : Arza Derya / Arza Derya II
IG :
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekas Lipstik
WerewolfDelapan tahun pacaran dan tiga tahun menikah. Sebelas tahun sudah aku bersamanya. Ternyata kebersamaan selama itu tidak menjamin dia akan setia. Sedangkan diriku, bodoh sekali tidak mampu mengenalinya. Sepuluh tahu sudah menjadi waktu terbodoh yang...