Bocah Kecil Itu

97 8 0
                                    


Bab 3 (Bocah Kecil Itu)

Bulir air yang mengalir kuseka dengan kasar. Mas Arman bisa begitu tega mengkhianatiku, dan bocah kecil itu ... bocah yang jika kutaksir masih berumur lima tahun.

Bocah usia lima tahun, ia bahkan lebih tua dari usia pernikahanku. Bagaimana bisa, apakah Mas Arman selingkuh dengan seorang janda beranak?

"Tuhan, ini benar-benar kejutan. Aku tidak hanya menemukan wanita simpanannya, tapi juga anak simpanannya.

"Kita pergi, Pak."

***

Selesai sudah aku meraung sepulang membuntuti Mas Arman. Sebentar lagi Mas Arman pulang. Bukan jam pulang kantornya, melainkan jam biasa ia pulang ke rumah. Mungkin yang kulihat tadi pagi adalah alasan kenapa ia selalu pulang terlambat.

Ting tung!

Bel rumah dibunyikan. Hari ini, Rida yang merupakan asisten rumah tangga kami sedang ijin. Jadi tidak ada yang membukakan pintu untuk Mas Arman, selain aku.

Berkali-kali kupatut wajahku di depan cermin. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan Mas Arman.

"Mas, sudah pulang?" tanyaku bersikap sebiasa mungkin.

"Sudah. Kamu masak apa malam ini?" tanya setelah memberikan kecupan singkat di keningku.

"A-aku tidak masak, Mas. Apa kamu belum makan tadi?"

"Hehe, aku sudah makan Arini."

Entah kenapa hatiku sakit mendengar jawabannya, aku justru berharap ia belum makan, dan apa yang kulihat tadi pagi hanya ilusi belaka. Tapi ini benar, suamiku memiliki wanita lain.

"Arini, ayo masuk. Kenapa malah berdiri di pintu saja."

"I-iya." Tanganku sedikit gemetar saat menutup pintu.

"Arini, aku sangat merindukanmu hari ini. Ayo kita mandi." Mas Arman tersenyum, memamerkan gigi putihnya yang rapih.

"Aku sudah mandi, Mas."

"Oh iya ya. Mas yang belum mandi. Ya udah Mas mandi dulu ya. Kamu tunggu Mas di kamar."

Sikap lembut ini sangat aku rindukan. Jika saja tadi pagi aku tidak nekad membuntutinya, aku tidak akan merasakan rasa sakit seperti ini. Aku pasti akan senang diperlakukan selembut ini.

Krieet.

Pintu kamar mandi terbuka. Mas Arman keluar hanya dengan mengenakan handuk menutupi bagian bawahnya saja.

"Airini ...."

"Iya, Mas?"

"Aku_"

"Aku lagi haid, Mas," jawabku cepat memotong perkatannya.

"Emm, ya udah istirahat gih. Mas nyusul nanti."

"Iya, Mas." Aku terpaksa berbohong pada Mas Arman. Aku tidak sanggup bersentuhan dengannya. Aku bahkan merasa jijik dengan sikap lembutnya.

***

"Mas berangkat bekerja dulu ya."

"Iya Mas."

"Jaga diri di rumah ya." Ia tersenyum setelah memberikan kecupan ringan di keningku.

"Kenapa empat kali, Mas?"

"Karena kemarin, sudah tiga hari Mas lupa enggak mencium kening kamu. Maafin Mas ya, sayang."

"Iya, Mas."

Satu jam berlalu setelah Mas Arman pergi ke kantor. Aku sudah siap dengan atribut yang aku pakai. Hari ini akan aku datangi wanita simpanan Mas Arman.

"Arini!"

"Ya."

"Arini!"

"Iya sebentar!" seruku dari dalam. Sepertinya Ibu yang ada di luar. Di mana Rida, kenapa ia tidak membukakan pintu di untuk mertuaku itu.

"Iya, Bu. Silahkan masuk."

"Lama sekali sih buka pintunya! Mau jadi mantu durhaka kamu? Menjengkelkan sekali. Buatkan ibu teh manis. Cepat!"

"Iya, Bu." Aku melangkah ke dapur.

Anaknya tukang selingkuh, sudah begitu Ibunya juga amit-amit. Tuhan, karma apa sampai aku harus berurusan dengan keluarga seperti mereka.

"Aku kerjain aja sekalian," kataku gemas. Mengambil cangkir putih, memasukan satu kantong teh, kemudian menuangkan sedikit air hangat.

"Selesai! Eh, tinggal gulanya." Aku mencari kotak gula yang berjajar dengan kotak lainnya. Seperti garam, merica, penyedap rasa, dan lain-lain.

"Satu, dua, tiga, empat ... nah, ini sudah sangat manis." Segera kuantar teh yang aku buat dengan penuh kasih sayang ke ruang tamu.

Sampai di ruang tamu, tidak kutemukan ibu mertuaku yang galak bin sinis itu di sana. Aku tidak heran, wanita itu memang suka kelayapan kalau datang ke sini. Ada saja ruangan yang ia masuki.

Prang!

Suara benda terjatuh terdengar nyaring di telingaku. Sepertinya aku tahu, di mana dia berada saat ini.

"Sedang apa, Bu? Apa tadi yang jatuh?" tanyaku sambil mengedarkan ke seluruh ruangan.

'Astaga! Itu vas bunga kesayanganku. Rencananya akan aku letakkan di ruang pribadiku' batinku kesal. Tapi aku menahannya.

"Lihat-lihat saja. Ingin tahu apa isi ruang koleksi mantuku, itu saja."

"Oh. Ini tehnya di minum."

"Mana. Ternyata selera kamu itu rendah juga ya. Vas jelek begitu dipajang di lemari kaca. Mending aku banting saja."

"Oh, jadi Ibu bating? Nggak apa, nanti aku bisa beli lagi. Ibu tau vas itu harga berapa? Dua belas juta." Ucapakan sukses membuatnya terbelalak. Kemudian terbatuk-batuk kaget.

"Duh, jangan kaget dong Bu. Diminum tehnya, kasihan Ibu batuk-batuk terus. Lagipula aku membelinya juga dengan uang Mas Arman."

Kulihat ia langsung menenggak teh manis yang aku buatkan. Tapi air itu tidak bertahan lama berada dalam mulutnya. Karena mertuaku itu langsung menyemburkan isinya sembarangan.

"Kenapa Bu?"

"Mantu sial*n! Mau meracuniku kamu? Di suruh bikin teh manis, malah asin begini. Kalau sampai aku mati, aku seret kamu ke neraka!"

"Maaf Bu. Aku nggak bermaksud."

"Alah! Omong kosong saja kamu bisanya! Minggir!

***

Bersambung ....


Berkenalan lebih dekat dengan Author?

Facebook : Arza Derya

IG : arzadry


Bekas LipstikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang