Mas... Aku Menunggu..

0 1 0
                                    

Hari-hari berlalu dengan cepat, tak terasa Rizal sudah mau di wisuda.

Aini ingat bahwa Rizal akan memperkenalkan dia kepada orang tuanya di Kediri saat dia pulang nanti. Aini harus siap-siap bila sewaktu-waktu Rizal mengajaknya.

Aini merasa dia mulai bisa mencintai Rizal, karena kepribadiannya yang selalu mengingatkan ia pada mengingat Allah. Komunikasi yang terjalin di antara mereka pun hanya sebatas berkirim pesan dan tidak pernah lebih, itu mereka rasakan cukup untuk menjaga keistiqomahan mereka untuk setia dan menunggu.

Drrt...drrt...drtt... hape Aini berdering panjang, ada telepon dari Akhsan. Aini sedikit kaget dan membatin kemana saja Akhsan bebulan-bulan yang lalu. Dia pun segera mengangkat telepon itu.

"Assalamualaikum, Mas"

"Waalaikumsalam, Dik... Maaf baru bisa telepon balik, kamu ada waktu ndak? Ada yang aku perlu sampaikan ke kamu, Dik." suara Akhsan terdengar diujung telepon.

"Aku juga ada yang mau  disampaikan ke kamu, Mas. Di masjid kampus ya?" tanya Aini memastikan.

"Di taman kampus saja, aku tunggu ba'da ashar. Assalamualaikum".

"Wa..." belum sempat Aini menjawab Akhsan sudah menutup teleponnya, membuat Aini heran dengan sikap Akhsan yang tidak seperti biasa.

Aini setengah berlarian menghampiri Akhsan yang sedang duduk dibangku taman sendirian. Aini terengah sampai didepan Akhsan.

"Ini jam 4 lebih lho,dik" ucap Akhsan yang sebenarnya dari tadi sibuk membolak-balik kata yang akan dia sampaikan pada Aini.

"Maaf lah, Mas."

Aini duduk di bangku sisi kanan tempat Akhsan duduk, dan Akhsan di sisi kiri.

"Ada apa, Mas?" tanya Aini setelah mengatur napas.

Akhsan gugup, bingung dengan kata apa dia memulai perkataannya, tapi dia mampu menguasai diri dan mengutarakan perasaannya pada Aini.

"Aku sayang sama kamu, Dik. Rencananya setelah wisuda aku akan melamar langsung ke orang tuamu... tapi aku minta jawaban darimu terlebih dahulu, apakah kamu mau atau tidak?" Akhsan begitu lega dengan helaan napas panjangnya, tapi tidak dengan Aini. Dia menangis dan berusaha agar tangisnya tidak terdengar orang disekelilingnya saat dengan lembut Akhsan mengatakan isi hatinya.

Akhsan bingung, sementara Aini mencoba tenang dan mengatur posisi duduknya.

"Jadi benar dugaanku, sampai saat ini kamu belum baca pesan yang aku kirim ke facebook kamu, Mas?" tanya Aini dengan mata memerah basah air mata. Akhsan semakin bingung.

"Pesan? Pesan apa?"

Aini tak menjawab, dia malah memperlihatkan tangannya, jari manisnya terlingkari cincin, sangat manis.

Cincin pemberian dari Rizal yang dititipkan pada putri pengasuh ponpes Al-Muttakin yang juga kuliah satu kelas dengan Aini.

"Terlambat, Mas... aku sudah menerima khitbah seorang laki-laki yang dengan berani mengatakan ingin menikahiku, padahal aku belum pernah mengenal dia sebelumnya." Aini berkata dengan menggebu-gebu, sesal dan kesal bersatu di hatinya.

"Kamu tahu? Dari dulu aku kagum sama kamu, tapi aku takut untuk menaruh hati pada kamu. Kamu terlalu jauh dan mana mungkin aku bisa bersanding denganmu, membayangkannya saja aku tidak berani, Mas. Astagfirullah al-adzim..." Aini terus beristigfar.

Pengakuan Akhsan membuat Aini kacau, dia yang tidak berani memikirkan bisa menjadi istri dari Akhsan tiba-tiba kenyataan yang dihadapinya adalah bahwa selama ini Akhsan mencintainya.

Sungguh, adalah ujian yang sangat berat dalam kesetiaannya pada Rizal.

Akhsan tak berbicara sedikitpun, dia dikalahkan waktu,

"Aku hanya meminta waktu sampai aku akan diwisuda, apa itu terlalu lama sampai dia harus sudah bersama orang lain?" lirih Akhsan dalam hatinya yang sedang bergemuruh penyesalan dan keputusasaan.

Suasana hening, Akhsan diam dengan raut wajah putus asa pada waktu yang tak berpihak padanya.

Aini terus menangis, hatinya basah oleh air mata, bagaimana bisa Akhsan mencintainya secara sepihak dan tidak mengungkapkannya dari dulu, bukankah dia terlalu egois? Aini terus bertanya dalam hatiya.
-----

Akhsan berjalan gontai menuju kos, tak ada semangat dalam dirinya.

Sesampainya di kos dia langsung menyalakan laptopnya, membuka facebook yang sudah lama dia nonaktifkan karena ingin fokus pada skripsi dan wisudanya.

Assalamualaikum, Mas...
Kenapa hapenya? Belum
dikasih makan yaa?

Akhsan tersenyum sesal membaca pesan dari Aini. Dia membaca semua pesan Aini yang menanyakan kabarnya, skripsinya, dan juga kata-kata semangat darinya.

Sampai pada pesan yang mungkin dimaksud Aini tadi di taman, dia baca pesan itu dengan serius.

Mas... beri adikmu ini pertimbangan, apa yang
harus Aini katakan? Ada seseorang yang mengkhitbahku secara pribadi. Menurutmu sebagai seorang lelaki apakah kamu akan keberatan jika perempuan yang kamu cintai
itu masih mencintai orang lain? Kira-kira apa pertanyaan ini pantas aku tanyakan pada dia? Mas... aku menunggu...

Hati Akhsan terasa perih membaca pesan itu, jika saja tidak terlambat pasti...  Argh.. Akhsan mengasak rambutnya sendiri, merasa terlalu bodoh mengandaikan yang sudah pasti tidak akan terjadi.

Dia merebahkan tubuhnya di kasur, mencoba memejamkan matanya yang lelah dan terlalu malu untuk mengeluarkan air mata.

Mas... aku menunggumu...

Akhsan melihat Aini tersenyum padanya dan terus berucap seperti tadi, namun saat Akhsan mendekat Aini semakin menjauh

Mas... aku menunggumu...

Terus seperti itu sampai Akhsan mendengar suara adzan diserukan dengan merdu.

Akhsan terbangun.

"Mimpi..." lirihnya.

Dia pun segera beristigfar dan bangun untuk mengambil wudhu.

Yang TersembunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang