Antara Aku, Kamu Dan Allah (1)

37 3 0
                                    

Zahira Nur Jannah, tetapi biasanya orang-orang lebih akrab memanggilku dengan sebutan Ara, umurku tahun ini menginjak ke dua puluh tahun, sudah tidak muda lagi bukan? Tetapi, entah kenapa aku pasti selalu mendapati kegagalan dalam mencari jodoh, seperti hari lalu, Calon tunanganku malah mengalami kecelakaan dan sekarang tengah kritis di rumah sakit.

Bukan maksudku untuk menyalahi Sang Kuasa, tetapi ini adalah kali ketiga aku gagal khitbah. “Sabar Ra, do’akan saja semoga Mas Fajar segera siuman dan lekas sembuh,” tutur Sahabatku Kaila.

Aku semakin menangis sejadi-jadinya, kenapa harus Mas Fajar yang tergeletak di sana? Kenapa bukan aku saja? Rasa bersalah terus menyelimuti hati, tragedi hari lalu seakan sempat membuatku trauma dan tak ingin menikah dengan siapapun itu. Takut, hal ini terjadi untuk kesekian kali.

‘Plak’

Pipi terasa sakit selepas di tampar oleh wanita paruh baya di hadapanku ini, Ummi Salwa tak lain tak bukan adalah Ibunya Mas Fajar. “Tidak sudi saya lanjutkan khitbahan ini terhadapmu Za, dasar Gadis pembawa sial ... pergi kamu dari sini!” Ummi Salwa, mendorongku dengan kuat hingga membuatku terpental ke lantai, jangankan untuk bangkit, untuk berpikir saja rasanya aku hilang akal.

Pihak keluargaku tadinya memang sempat kecewa akan hal ini, tak habis pikir karena aku telah gagal khitbah tiga kali. Sejak itu pula hariku seakan suram, apakah benar aku ini adalah Gadis pembawa sial?

.

Hari ini aku hanya bisa menyaksikan pernikahan mantan calon tunanganku itu, setelah satu bulan dia kritis setelahnya dia benar-benar membatalkan khitbahan kami dan memutuskan untuk menikahi gadis lain.

Memori tentangku dan Ia sekarang hanyalah tinggal kenangan, kenangan pahit yang sangat tak penting jika harus diingat kembali. Sesak rasanya.

“Percayalah dengan takdir Allah Mbak, mau dipaksa sekalipun kalau nddak jodoh pasti tetap sama hasilnya.” Karena tak tahan untuk menyaksikan akad nikah keduanya, tadi aku lebih memilih keluar dari tenda. Netraku menangkap Gus Iqbaal, Pria itu tengah berdiri tegap di hadapanku sekarang.

“Nggih Gus,” balasku, sambil mengusap air mata yang masih tersisa. Tiba-tiba, Pria itu merogoh kantung gamisnya hingga Ia dapati kain berukuran kecil berwarna biru, lantas menyodorkannya kepadaku. “Cepat hapus air mata sampean, nanti kalau ada orang liat malah dikiranya aku yang udah apa-apain sampean lagi,” ucapnya seraya terkekeh pelan.

Sikap Sang Putra Kiyai satu itu memang sangat hangat, humor tetapi kalau lagi marah, malah jadi horor. Astaghfirullah apa-apaan aku ini?

Hari demi hari berganti begitu cepat, seiring itu pula kedekatanku dan Gus Iqbaal, bahkan kemarin dia sempat memberikan padaku sebuah buku berisikan proposal ta’aruf. Ada rasa bahagia, ada pula rasa trauma. Takut Gus Iqbaal juga mundur nantinya. Tetapi lelaki berbadan tegap itu terus menerus meyakinkan padaku, katanya jika aku tidak menerimanya maka Ia akan membatalkan ajuan ta’aruf itu.

“Sampean cari yang lain saja Gus,” ucapku padanya.

Tanpa menjawab Sang Putra Kiyai itu malah langsung pergi, tak lupa sebelum itu mengucapkan salam. Bukannya aku meragukan niat baikmu Gus, tetapi aku sangat takut sesuatu hal buruk terjadi padamu. Justru, karena aku cinta padamu, lebih baik aku melepaskanmu.

Sudah beberapa hari ini tak pernah aku dapati lagi sosok Gus Iqbaal, bahkan di masjid sekalipun, seolah di telan oleh bumi. “Kamu sih Ra, orang Gusnya punya niat baik, malah ditolak mentah-mentah. Sekarang giliran orangnya nggak ada malah dicari.” Tausiah singkat malam ini di isi oleh Ustazah Kaila, padahal tak ada yang meminta.

“Ya ‘kan aku takut Kai,” balasku.

“Halah, sampean mah kebanyakan takutnya,” ujarnya lagi.

“Mungkin jika kamu berada di posisiku, pasti akan melakukan hal yang sama.”

Kaila hanya diam, tak ingin membalas ucapanku tadi. Baguslah, setidaknya Ia tidak akan asal ceplos lagi. Saat melewati depan rumah Gus Iqbaal, terlihat begitu ramai bahkan ada mobil ambulans yang baru saja memasuki pekarangan rumahnya.

Inisiatif Kaila, dia menyuruhku untuk menanyai seorang Anak kecil yang baru saja keluar dari sana. Setelah ‘ku panggil, dengan cepat Aku dan Kaila menginterogasi bocah itu. “Kok di Ndalem ramai begitu Dek, memang ada apa?” tanya Kaila.

“Gus Iqbaal—“ Belum sempat Ia melanjutkan ucapannya, bocah laki-laki itu malah menangis. Sebelum lanjut menginterogasi Anak itu, aku dan Kaila terlebih dahulu menenangkannya.

“Gus Iqbaal kenapa, hm?” tanyaku, seolah biasa saja. Padahal jauh di dalam sana, hatiku terasa hancur. Bukankah aku sudah menolak ta’aruf dari Gus Iqbaal? Jangan sampai hal buruk terjadi padanya.

“Gus Iqbaal sakit, trus tadi nggak bangun-bangun ....”

Mataku membulat sempurna, setelah mendengar ucapan bocah itu barusan. Apalagi sekarang ini mobil berwarna putih itu tengah melintas di hadapan. Gus Iqbaal kenapa? Dia sakit apa?

Malam ini aku kembali dilema, ingin rasanya aku mendatangi paranormal untuk memeriksa, apa yang sebenarnya ada di dalam tubuhku? Kenapa kesialan selalu datang tanpa jeda. Astaghfirullah ... syirik Zahira, syirik.

Tak ingin menyimpan rasa sakit ini seorang diri, akhirnya aku kembali mengadu kepada Sang pencipta, tentang kisah cintaku dan dirinya. Ibaratkan gambar sebuah grafik, umpamakan saja aku ini adalah sumbu X dan Ia sumbu Y. Dalam ilmu matematika, kedua sumbu itu memang tak bisa menyatu tetapi memiliki titik koordinat yang sama. Bedanya aku dan Gus Iqbaal itu sama-sama ciptaan Allah, tetapi dia Putra Kiyai sedangkan aku Anak Abi, pun sama-sama satu Sang Rabbi.

Apa bisa di katakan cintaku dan Ia itu cinta segitiga, cinta di antara Aku, Dia dan Sang Maha kuasa? Entahlah, tetapi menurutku inilah cinta segitiga sesungguhnya, kami berdua pasti akan sama-sama melakukan poligami nantinya, bedanya bukan dengan sesama ciptaannya, tetapi dengan Penciptanya.

Pagi ini Aku dan Kaila membuntuti Para Santri yang hendak menjenguk Sang Gusnya ke rumah sakit, sebenarnya bukan mereka yang menawari untuk ikut bersama, melainkan Aku dan Kaila yang ingin ikut serta, tentu saja Aku sangat penasaran dengan keadaannya.

Cukup lama menempuh perjalanan, akhirnya perjalanan kami pun tak sia-sia. Sesampainya di rumah sakit kami langsung mencari kamar rawatnya Gus Iqbaal. Setelah ketemu, kami masuk satu persatu mengingat harus lebih membudayakan mengantri. Bukankah begitu seorang Santri, dia pun harus siap mengantri.

Sesak kembali terasa, saat diri ini harus melihat dirinya terbaring di brankar dengan lemahnya. Bibir yang semulanya berwarna merah muda, justru malah berganti menjadi pucat pasi. Sepertinya dia sedang tidur.

“Ini Zahira ‘kan anaknya Hanif dan Syifa?” tanya Pak Yai padaku.

Aku langsung mengangguk dan beralih mencium tangan beliau, di balasnya lah dengan mengelus rambut yang telah terbungkus oleh hijab syar’iku. “Nggih Abah,” balasku.

“MasyaAllah ... bagaimana keadaan Ummi dan Abimu Nak? Mereka sehat ‘kan?” Sekarang giliran Ummi Salamah yang melempariku pertanyaan.

“Alhamdulillah, baik Bu Nyai,” balasku.

Baru aku sadari ternyata Gus Iqbaal sudah bangun dari tidurnya, membuatku merasa sedikit canggung untuk melihat ke arahnya. “Gus,” sapaku padanya.

Dia hanya membalas dengan tersenyum tipis ke arahku.

“Gus Iqbaal sakit apa sih Bu?” tanya Kaila, sepertinya Gadis itu sangat penasaran dengan penyakit Gus Iqbaal yang menyebabkannya sampai berada di tempat ini.

“Demam tinggi, di tambah lagi hilang napsu makan. Kemarin pas di ajak ke rumah sakit malah nggak mau, untung aja tadi malam pingsan, jadinya cepat deh ditangani dokter,” terang Bu Nyai.

“Loh kok malah untung Anaknya pingsan?” Gus Iqbaal sedikit tidak terima dengan penjelasan  Ibunya barusan, tetapi aneh juga sih dengernya, kok Anaknya pingsan malah untung.

“Kalau kamu nggak pingsan semalam, mau sampai kapan dibiarkan terus penyakitmu itu? Bisa-bisa nddak sembuh-sembuh,” balas Bu Nyai tak mau kalah.

“Sampai Zahira mau menerima ta’aruf-nya Iqbaal. Bukankah kata Abi jika kita mencintai seseorang itu harus diperjuangkan? Sekarang Iqbaal ingin memperjuangkan cinta Iqbaal, tanpa setitik pun noda hitam yang membuatnya menjadi kotor.”

Selepas kejadian hari itu, aku lebih memantapkan diri untuk menerima ta’aruf dari Gus Iqbaal, membukakan untuknya sedikit celah agar bisa menuntaskan niat baiknya yang ingin memperjuangkan aku sampai halal. Dan malam ini, Gus Iqbaal benar-benar melamarku di hadapan orang tuaku.

Telah tersemat dengan indahnya cincin itu dijari manisku. Hari ini adalah hari pertamaku menjadi seorang Istri dari Gus Iqbaal, alhamdulillah ... tak ada hal-hal aneh yang terjadi, semuanya berjalan begitu mulus sampai dengan selesai.

“Ini adalah bukti cintaku kepadamu, bahwasanya aku bukanlah Lelaki pengecut yang hanya akan berucap I Love You sebelum Qabiltu,” ucapnya ketika kami sudah selesai melaksanakan sholat isya berjamaah.

Aku hanya mengangguk, sambil menatap manik matanya yang sudah halal untukku pandang. “Dan buktiku ... hm, mendo’ akanmu selalu, agar Allah kembali datangkan Gus untukku,” balasku.

“Mas sayang, bukan Gus! Aku suamimu bukan Gurumu,” ucapnya tak terima.

“Iya deh, aku ngalah Mas,” balasku.

“Eh tapi, setelah ini Aku boleh poligami nggak?” tanyaku padanya. Mas Iqbaal langsung melayangkan tatapan tajam ke arahku, horor sekali, bak seorang elang yang siap menerkam.

“Kita belum malam pertama Dik, kok langsung bahas poligami aja sih?” tanyanya padaku.

“Iya, karena selain aku mencintaimu, aku juga Cinta kepada yang menciptakanmu.” Langsung saja wajah Pria itu memerah, hingga membuat lesung pipinya terlihat, begitu manis untuk di tatap.

Inilah kisahku, cinta segitiga di antara Aku, Suamiku Dan Allah. Tak ada yang lebih indah dari ini, apalagi menjalin hubungan yang telah halal dan diridhoi.




The End


Kumpulan c e r p e n ♡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang