Pesantren Impian (5)

6 0 0
                                    


“Pahit manis kehidupan mengajariku bagaimana caranya untuk lebih banyak bersyukur atas apa yang telah Allah berikan dan Ia gadis takdiri, sesungguhnya Dia Maha pemberi apa yang di butuhkan oleh Hamba-Nya, bukan apa yang di inginkan.” Syuhada Ma’al Jannah.

Tak terasa waktu sudah banyak terbuang sia-sia karena pengharapan yang tatkala berujung, merindu pada sebuah tempat yang sendari dulu Aku rindu namun, apalah dayaku yang terlahir dari keluarga sederhana bahkan Sosok Ayah pun sudah tiada. Panggil saja Namaku Syuhada, tentu kalian sudah tau artinya bukan?

Tetapi apakah Namaku saja yang berartikan Bidadari,  sedang nantinya kelak akan menjadi salah satu penghuni yang masuk dari pintu kiri dan disambut pula oleh malaikat Malik? Tentu saja, tak ada seorang pun yang ingin masuk ke dalamnya, termasuk juga Aku.

“Syuha, apa kamu ingin ikut mondok bersamaku? Bersama-sama kita jelajahi dunia para Santri itu,” ajak salah seorang sahabatku, Rahma.

Aku berpikir sejenak, alasan apalagi yang masuk akal sekiranya yang dapat aku jadikan alasan. “Mau, tetapi tunggu aku lulus SMA dulu,” balasku, sambil nyengir kuda.

Rahma tampak mengangkat salah satu alisnya. “Lah, sekarang aja Syu, biar kita bisa terus sama-sama mengajinya,” ujarnya lagi. Namun belum sempat aku membalas, Ustaz Rojak telah menjawab ucapannya barusan. “Siapa bilang Syuhada mondoknya tunggu lulus SMA? Dia udah mondok kok dari sekarang, di sini Madin Miftahul Jannah,” balas Beliau.

Rahma langsung terdiam sejenak, sebelum Ustaz Rojak melanjutkan ucapannya, “Jadi Santri Kalong tapi. Bukan begitu Syuhada?” tanya Beliau padaku.

“Na’am Ustaz,” balasku sambil tersenyum paksa, walau hati rasanya sedikit tak enak. Aku memang baperan orangnya, sedikit-sedikit pasti bawa perasaan. Apa mungkin maksudnya Ustaz Rojak aku tidak akan pernah bisa Nyantri, seperti Santri pada umumnya?

“Mau dimana pun kalian menuntut ilmu, sejauh apapun itu, kalau kalian tidak tawadhu pada Guru dan khidmat dalam mengaji, hasilnya boyo tetap nol. Ingat tempat itu tidak selalu menjadi patokan dalam menuntut ilmu, kalau Gurunya meridhoi dan Santrinya itu manut, insyaallah ... Santrinya juga pasti berkualitas,” terang Beliau.

Sampai sekarang perkataan Ustaz Rojak selalu menjadi penyemangat tersendiri bagiku, ada beribu makna yang tersirat di dalamnya. Motivasi untuk selalu giat dalam menuntut ilmu kembali tertanam kala itu, enggan rasanya untuk meninggalkan tempatku menuntut ilmu akhirat ini. Ya, rencananya aku akan berhenti mengkaji kitab kuning sampai sini, berhubungan banyak kawanku yang ingin melanjutkan studinya ke Pondok pesantren.

Sejak awal aku memang sudah memberitahu ‘kan pada Ibuku, bahwa aku juga ingin melanjutkan pendidikanku di sekolah Non-formal saja, namun kendala ekonomi menjadi pemicu utama kenapa sampai sekarang aku masih berdiam diri di tempat, apalagi kondisinya sekarang Ibuku banting tulang sendiri.

Tetapi katanya, kalau niat kita baik itu pasti akan menemukan jalannya sendiri, dari berbagai cerah mana pun itu, ‘ku harap kelak Allah juga memberikan hal yang serupa padaku, mempermudah langkahku menuju penjara suci itu.

.

Hampir setiap malamnya sajadah panjang itu selalu aku gelar, di waktu sepertiga malam. Tangisku seakan tak bisa henti dari sholat dua rakaat itu di mulai sampai akhirnya, terlalu sakit rasanya memang jika membiarkannya terlalu lama tanpa membicarakan kembali kepada Sang pencipta. Usai menunaikan ibadah sholat tahajud, di lanjutkan pula dengan tadarus Al-Qur’an.

“Sejatinya Hamba-Mu ini adalah seseorang yang paling lemah, maka kuatkan lah Hamba dalam segala hal ya Rabb ... jika takdirku memang menempuh pendidikan di Pondok pesantren, maka per luaskan lah jalan selebar-lebarnya agar Hamba bisa menuju ke sana, meraih mimpi menjadi seorang Hafidzah dan Ustazah. Namun jika sebaiknya, lunturkanlah harapku ini, sesungguhnya Engkau lebih tau dari apa yang tidak Hamba ketahui ....”

Kumpulan c e r p e n ♡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang