“Ketika maut datang melamar, tak ada celah untuk menghindar.”
~Fikri Zainal Mu’afiq.
•|•
Namanya Gus Fikri, merupakan Putra sulung dari Kiyai Hasyim dan Ummi Kalsum. Orangnya sih pecicilan tetapi entahlah, justru dia yang terlihat sedikit berbeda dari layaknya seorang Gus pada umumnya, namun berhasil membuatku luluh dan menerima khitbahan yang di ajukan olehnya. Lambat laun, kata Qabiltu akhirnya terucap dengan lantangnya, sebagai keterikatan di antara kami berdua.
“Ning, mungkin di dalam ilmu Nahwu, muftada’ tak akan sempurna jika tanpa adanya kbobar, namun lain halnya dengan seorang Gus Fikri Zainal Mu’afiq, dia tak bisa sempurna tanpa Ningnya, Maza Zukhuful Jannah.” Sepele memang, tetapi siapa sangka jurus gombalan ala Kang Santri Salafi tersebut, berhasil membuat pipiku bersemu merah.
“Cintaku padamu tadinya bak hukum bacaan Ikhfa’ (samar-samar) namun siapa sangka, justru sekarang aku harus mencintaimu bak hukum bacaan Izhar yang jelas tanpa berdengung,” balasku. Gus Fikri lantas menghadap ke arah lain, seolah membuang muka.
“Kalau sampean baper, ya jangan di tutup-tutupi begitu toh Gus.” Ternyata, sindiranku berhasil membuat Gus Fikri langsung menoleh. Pria di hadapanku ini terlihat mengerutkan keningnya.
“Gus? Kenapa kamu selalu memanggilku dengan sebutan Gus?”
“Iyo, ‘kan sampean emang Gus toh.”
“Sayang, bukan Gus. Fahimtuna ya Ukhty?” tanyanya sambil menekan kata sayang.
Melihatnya marah seperti itu justru semakin membuatku ingin menggoda, namun sudahlah ... bukankah panggilan Allah itu harus lebih di dahului? Azan memang sudah berkumandang sejak tadi, tetapi entah kenapa tumben- tumbenan Gus Fikri tak segera beranjak pergi ke Masjid.
“Sayang nggak ke Masjid?” tanyaku yang mengalihkan pembicaraan.
“Sayang ... cie, ada yang sudah jatuh cinta nih,” godanya.
“Dih, kepedean,” balasku. Ya cintalah, masa nggak. Heran juga kadang kenapa sih dia nggak peka-peka.
“Saranku jika sudah mulai cinta jangan terlalu mencinta. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Imam At- tirmidzi, ‘Cintailah orang yang kau cinta dengan sewajar-wajarnya, boleh jadi suatu saat nanti dia malah menjadi seorang yang paling kau benci. Dan bencilah kepada orang yang kau benci dengan sewajar-wajarnya, boleh jadi dia yang kau benci suatu saat nanti menjadi seorang yang kau cinta,” jelasnya.
Aku yang sama sekali tak paham dengan arah pembicaraannya, lantas hanya mengangguk-ngangguk sahaja. Tetapi, buktinya itu terjadi juga padaku, tadinya sosok suamiku memang sempat menjadi sosok seorang yang paling aku benci, bahkan karena kami dijodohkan dari sejak kecil, aku sampai rela harus pergi menuntut ilmu ke Negeri para Ulama, yakni Kota Kareem namanya.
Bukan sebentar Gus Fikri menunggu kepulanganku, terlebih lagi umur kami berdua berjarak kurang lebih lima tahun. “Mas hari ini lagi pengen sholat jamaah di rumah aja, bareng sama istri Mas yang paling ... bawel ini.”
Setelah mendengar kata bawel, aku langsung memasang wajah masam, bahkan lebih masam dari rasa jeruk lemon. “Kok makin gemas ya.” Tak membiarkan aku larut dalam dunia per ambekanku, justru Mas Fikri malah memanfaatkan kesempatan ini untuk menggoda.
“Mas ih ... lama-lama kesal aku punya suami kayak kamu,” ujarku.
“Ambil wudu’ dulu sana, nanti malah keburu habis waktu sholatnya.” Bukannya membalas ujaranku barusan, Mas Fikri malah terlihat mengalihkan pembicaraan.
“Ini sholat isya’ bukannya sholat maghrib,” balasku sedikit kesal.
“Lebih cepat mengerjakannya lebih baik sayang ....” Setelah berucap demikian, dia langsung pergi menuju kamar mandi.
•|•
Lambat laun, rumah tanggaku dan Gus Fikri berjalan dengan sangat baik, walaupun terkadang ada juga beberapa masalah kecil yang justru memunculkan sebuah pertengkaran.
Namun, pada akhirnya ia pasti selalu mengalah, katanya tak baik dalam rumah tangga jika selalu saja bertengkar, toh ya percuma ... ujung-ujungnya baikan juga.
Namun, hari ini dia berhasil membuatku seperti orang yang sudah tak waras lagi. Seolah jatuh dari ketinggian, tanpa bisa bangkit untuk menopang badan, Gusku tengah terbaring lemah di sana ... di tempat yang paling aku takuti sejak kecil. Lagi-lagi, hari ini dia berhasil membuatku bak seorang pemberani yang seolah-olah tak takut lagi dengan jarum suntik yang sendari kecil, selalu aku hindari.
Kanker otak stadium akhir, baru ‘ku ketahui selama ini dia mengidap penyakit mematikan itu. Bahkan aku baru tahu kemarin ... bodoh, padahal aku ini Istrinya. “Sampean jahat Gus, kenapa nggak pernah bilang ke aku kalau sampean semenderita ini,” ujarku, kala telah berada di ruang rawatnya. Rapuh, rasanya aku benar-benar hancur setelah mengetahui kebenaran pahit ini. Tetapi, mau bagaimana lagi? Bukankah ada seorang pun Hamba, yang bisa menentang takdir yang telah di tetapkan oleh Sang pencipta.
Lengkungan sabit itu tercipta dari bibir pucatnya, seolah-olah tak ada beban baginya. “Lebay kamu, pake nangis segala lagi,” balasnya sambil terkekeh pelan. “Lagi pula, Allah itu tak akan pernah menguji seorang Hamba-Nya, di luar batas kemampuannya. ‘Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah), dengan sabar dan sholat. (Dan) sholat itu sungguh berat kecuali, bagi orang-orang yang khusu’. (Yaitu) Mereka yang yakin bahwa Mereka akan menemui Tuhan-Nya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.’ Qur’an surah Al-Baqarah ayat 45-46. Sejauh-jauhnya kita berlari, ada suatu hal yang tidak bisa di hindari, yakni ketika malaikat maut datang untuk melamar. Dia tidak akan menunggu sampai kita menjawab siap atau tidaknya, karena ketika itu langsung ia cabut nyawa seorang Hamba, sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan kepadanya.”
Mas Fikri terlihat menarik napas dalam-dalam. “Yakinlah Mas pasti sembuh, tetapi jika sewaktu-waktu takdir Allah berkata lain, percayalah ... sesungguhnya itu adalah suatu ketetapan yang terbaik, bagiku dan kamu ... ya Zaujati.”
Perkataan yang keluar begitu enteng dari mulutnya, semakin membuat tangisku terisak. Rasanya ingin aku menjerit sekuatnya, berharap ini hanyalah sebuah mimpi belaka. Namun, ketika tangan ini diusap olehnya, semakin membuatku sadar, ini bukanlah sebuah mimpi ... melainkan nyata.
Gemuruh di dada, tak mampu aku tahan. Hingga, tanpa ada lagi rasa malu untuk memeluknya di depan keramaian. Dia mengecup ubun-ubunku, sama persis setelah ia mengucapkan Qobul kemarin.
Lama sekali berpelukan, hingga tak sadar bahwa Suamiku tak memberikan balasan. ‘Ku pengang tangannya, terasa dingin sekali. Hingga, pelukan sedikit aku longgarkan. “Mas ... bangun Mas ....” Terus berusaha untuk membangunnya dari tidur, namun sepertinya ia begitu lelap.
“Innalillahhi wa innailaihi roji’un ....”
Tubuhku langsung jatuh ke lantai, dengan derai tangis yang tak kunjung henti sendari tadi. Apalagi setelah Kiyai Hasyim memeriksa denyut nadi Putranya, yang sudah tak lagi bertaut. Mas Fikri telah tidur selamanya ....
Pandanganku mendadak kabur, kepala terasa pusing sekali dan ... gelap.
•|•
“Jika kamu temui surat ini, pasti ragaku sudah tak lagi di tempat, napasku tak lagi berdetak, nadipun tak lagi berdenyut. Biarku tebak, pasti sekarang kamu sedang menangisi kepergianku ‘kan? Hayo ngaku aja kamu. Tenang, selamanya aku akan selalu mencintaimu kok Ning, sampai Tuhan kembali menakdirkan kita untuk bertemu lagi, karena aku tau alam lain sekarang tengah menjadi sekat di antara kita. Gusmu ini sekarang tak akan lagi merasakan sakit di sekujur tubuhnya, tak pula menangis karena mengingat kemarin umurnya bersisa tak akan lama. Namun, cukup tau bahwa kamu mencintai aku, aku pun sudah begitu bahagia. Jaga dirimu baik-baik setelah ini, jangan sampai kamunya malah jatuh sakit. Maaf ... jika selama menjalani kehidupan denganku, tak pernah sekalipun kau dapati kebahagiaan.” Merasa tak sanggup untuk lanjut membaca buku diary yang ‘ku temukan tadi, terpaksa aku tutup.
Hingga rasa penasaran semakin bergejolak, ingin tahu kelanjutan dari tulisannya.
“Maaf ... jika aku tak pandai menjadi seorang Lelaki yang romantis, yang selalu bisa menyenangkan hati seorang Istrinya. Tetapi percayalah Sayang ... di izinkan Tuhan untuk bisa bersanding denganmu, itu merupakan kebagian yang tiada taranya, tetapi boleh jadi bagimu itu sebuah bala’ (mala petaka). Oh ya, kamu boleh nikah lagi kok, tetapi ingat ... jangan lupa selalu do’akan suami terbobrokmu ini, haha ... canda bobrok.”
‘Ku usap air mata yang telah berjatuhan sendari tadi. Jika boleh jujur, aku sangat merindukan sosokmu Gus ... dan aku pun sama bahagianya karena bisa bersanding denganmu.
“Jangan pernah salahkan Allah ya, soal kepergian Mas. Karena Mas pergi hanya sebentar ... tetapi Mas sangat yakin, pasti ada sosok Pria lain yang bisa menjadi menggantikan posisi Mas, jauh lebih baik. Dan jika Syaidatina Khodijah sangat beruntung semasa hidupnya tak pernah Nabi Yullah poligami, maka Mas sangat beruntung karena semasa hidup Mas dulu, tak pernah kamu khianati. Ana Uhibbuki Fillah, Ya Zaujati.”
Bagiku tak ada mala petaka yang paling besar selain di tinggal pergi oleh seorang Imamku, selama-lamanya. Pun tak ada kebagian yang paling membuatku merasa gembira, selain sempat menjadi pelengkap separuh imannya. Walau Allah hanya memberikanku waktu untuk mengabdikan diri tiga bulan lamanya, tetapi percayalah ... kebahagiaan yang ‘ku dapatkan saat itu tiada taranya.
Ajal, memang tak ada yang pernah tau. Sama halnya pula dengan Jodoh, keduanya tak bisa di duga kapan datangnya. Karena keduanya bersifat sangat rahasia. Dari Gus Fikri, aku bisa belajar untuk mencintai dari segi lain yang ada pada dirinya, bukan karena mapan, tampan dan berasal dari keluarga terpandangnya, tetapi ... karena semata-mata hanya karena ibadah dan mengharapkan keridhoan dari-Nya, saling melengkapi tanpa ingin mengungkit kekurangan masing-masing, karena manusia memang tak ada yang sempurna.
The End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan c e r p e n ♡
Ficção AdolescenteIni merupakan kumpulan cerpen yang tak bisa di jabarkan lagi bagaimana kisah lanjutannya, semuanya menjadi teka-teki yang tak ada yang tau kelanjutannya.