‘Perjuangan, cinta dan anugerah.’
“Jika kamu pilih aku, maka kamu harus tinggalkan Tuhanmu kerena, pada kenyataannya kamu tidak bisa egois Sya.”
Ku lihat, gadis cantik yang mengenakan jilbab pashmina tosca tersebut terdiam. Dia seolah tengah berpikir keras untuk menentukan kedua pilihan yang ‘ku lempari. Tangannya sambil meremas ujung kerudung, bahkan matanya telah berkaca-kaca. “Nasya cinta Kakak, tapi maaf ... Nasya lebih cinta sama Tuhan, karena Nasya tau betul dia yang selalu ada bersama Nasya setiap saat. Dia yang tidak akan pernah meninggalkan Nasya, maaf sekali lagi, Kak jika pernyataan ini terkesan menyakitkan.”
Dapat ‘ku lihat cairan bening itu kini telah lolos dari tempat persembunyiannya, satu kata yang aku lempari pada Gadis itu, Dia begitu hebat, bahkan sangat hebat. Tapi ada sedikit rasa kecewa pada Gadis itu, tadinya aku pikir dia akan rela meninggalkan Tuhannya demi Aku, namun aku salah besar.
“Kamu nggak salah Sya, tapi yang salah Aku! Maaf juga karena waktu kamu harus terbuang sia-sia demi meladeni Pria seperti Kakak, Pria pengecut yang tak berani meminang kamu di depan Abimu, yang rela berlari begitu saja meninggalkan, karena tak mau menempuh agama yang sampai detik ini pun masih kau junjung tinggi.”
Hening beberapa saat, suasana di sore hari diselimuti oleh tangis sendari tadi membanjiri. Aku menyesal karena telah menjatuhkan hati pada seorang Gadis muslim yang sepengetahuanku adalah seorang Putri Kyai, jadi mana mungkin dia mau pindah keyakinan demi aku. “Kakak emang salah, tapi aku lebih kok. Udah jelas pacaran haram tapi masih pengen di tempuh.” Terdengar Gadis itu terkekeh paksa, tangannya mencoba menghapus jejak air mata.
“Kita emang saling mencintai, tapi kita harus lebih saya Tuhan. Kak Fajar, makasih ya udah ajarin Nasya bagaimana pedihnya mencintai tapi harus mengikhlaskan, Kakak akan selalu menjadi fajarnya Nasya yang menandakan bahwa akan datangnya matahari yang indah, sampai melupakan Nasya bahwasanya masih ada hujan yang setiap waktu mengguyur tiba-tiba.”
Aku semakin terisak dengan ucapan Gadis itu, bahkan aku terkesan lemah saat di hadapannya. Ini kali pertama aku menangis karena cinta, padahal Nasya adalah seorang Muslimah yang kesekian yang pernah aku ajak berpacaran. Siapa sangka Gadis itu bisa membawaku pada titik tertinggi dalam mencintai, mengikhlaskan dengan sabar dan menunggu sebuah keajaiban walaupun itu mustahil.
Laksana air dan minyak tak jua bisa menyatu tanpa adanya sabun sebagai perantara. Tuhan kita sama, tapi keyakinan kita berbeda, Aku Protestan dia Islam, salib tak akan pernah bisa menyatu dengan tasbih sampai, salah satu di antara keduanya mau mengalah. “Kalau gitu Nasya pamit ya, oh ya Nasya nggak tau ini akan menjadi pertemuan terakhir kita atau gimana, karena Nasya bukan peramal, hehe. Semoga Tuhan selalu mengaja Kakak dimana pun Kakak berada, juga lekas meluntur cinta kita agar tidak kembali jatuh pada tempat yang salah, permisi.”
Aku terdiam seribu bahasa, ingin sekali rasanya menahan tangan gadis itu, tapi aku tau betul bahwa itu dosa. Jujur, selama kami berpacaran, kami memang tak pernah saling berpegangan atau lebih jauh lagi. Setiap aku ajak, Nasya selalu menolaknya dan sampai sekarang barulah kami memutuskan untuk melepas sebuah ikatan kasih di antara kita.
•||•
“Ternyata islam itu menyenangkan ya, tidak terlalu buruk bahkan menenangkan jiwa. Pantas saja Nasya tidak ingin merelakan agamanya demi saya,” celetukku pada sohibku, Kang Yusuf.
“Nasya? Ning Nasya, maksudnya?”
Aku mengangguk, sepertinya Kang santri ini terkejut ketika aku mengucapkan nama Sang putri Kyai tersebut. “Maksudnya Ning Nasya pernah berpacaran dengan sampean, sebelum memutuskan menjadi seorang Muslim?”
Ya, dugaan kalian benar setelah tiga tahun lamanya aku memberanikan diri untuk menjelajahi dunia ummat Islam. Dan dalam waktu yang singkat pula aku memutuskan untuk menjadi seorang muslim, tentunya dengan bimbingan Ustaz bahkan Kyai, karena islam termasuk salah satu agama yang sangat menjunjung tinggi apa itu toleransi.
“Sejujurnya saya yang salah karena telah mengajaknya seperti itu.”
Kang Yusuf hanya mengangguk membenarkan. “Sudah lah Kang, yang lalu biarlah berlalu yang penting sekarang kamu tidak akan mengulangi.”
Di tengah percakapan kami, malah dikejutkan dengan kehadiran salah seorang santri putra, dia sedikit membungkuk di hadapan Kang Yusuf, karena begitulah salah satu cara bertawadu’ pada Guru. “Assalamualaikum Ustaz, afwan di panggil sama Abah, katanya ada sesuatu yang ingin di bicarakan.”
Setelah menjawab salam, Pria yang tak lain adalah seorang Ustaz tersebut lantas mengangguk paham. Sebelum menghampiri Abah Yai ke ndalem, terlebih dahulu ia berpamitan denganku.
Di sinilah aku sekarang, bersanding dengan seorang Putri Kyai yang tak lain adalah seorang mantan kekasihku sendiri. Mulanya Kang Yusuf yang hendak dijodohkan dengan Ning Nasya, tetapi Pria itu memilih untuk menolak secara halus karena ada satu dua hal yang menjadi penghalang cinta keduanya. Siapa sangka Pria sebaik Kang Yusuf tengah menderita sakit parah, leukimia, bahkan sudah hampir memasuki stadium akhir. Ternyata beberapa bulan terakhir ini, kesehatan beliau cukup terganggu karena tengah mengidap penyakit mematikan itu, bahkan dapat ku lihat tubuhnya berangsur kurus padahal hanya dalam kurun waktu tiga enam bulan setelah di jatuhkan vonis.
“Titip Ning Nasya ya Kang, semoga keluarga kalian selalu menjadi keluarga yang sakinah, mawadah warahmah.”
“Aamiin ... Gus, semoga sampean juga lekas di berikan oleh Gusti Allah.”
Pria yang tengah duduk di kursi roda itu terkekeh. “Selamanya saya adalah sahabatmu Jar, jadi sampean jangan panggil saya Gus. Entahlah jika Allah sudah menghendaki, kita sebagai makhluk bisa apa selain dari menerima? Jika maut yang lebih dahulu menghampiri, InsyaAllah saya siap, tapi jika seandainya masih ada waktu saya pun ingin menunaikan Sunnah Rasulullah yang belum sempat terpenuhi, yakni menikah. Do’akan yang terbaik.”
Aku hanya bisa tersenyum menanggapi, lalu menggenggam erat tangannya agar tidak hilang harapan. Dia adalah orang baik yang jasanya tak akan pernah bisa aku lupakan, perantara bagi kisah cintaku dan Nasya kembali dalam ikatan yang sah, yakni pernikahan. Terima kasih ya Robb, karena Engkau telah menyatukan aku kembali dengan Nasya, terima kasih juga Gus, karena telah menjadi sabun bagi air dan minyak.
“Subhanallah, Nasya tidak pernah berpikir sebelumnya bisa dipertemukan kembali dengan Kakak.” Raut kebahagiaan bisa aku lihat dari wajah Gadis cantik yang kepalanya masih terbalut kain kerudung tersebut. Jangan heran, kenapa kami baru bisa berbincang sekarang terlebih lagi pelaminan kami tadi terpisah, sengaja diberi hijab (pembatas) agar kaum Hawa tak bisa lebih lama bertemu dengan lawan jenisnya, sehubungan ini adalah area Pondok. Sangat di sayangkan karena peristiwa ini tak bisa dilihat oleh kedua orangtuaku karena keduanya telah tiada.
“Lebih nddak nyangka lagi kalau Abah mau menerima Kakak sebagai menantunya,” candaku.
“Iya juga. Eh tapi Nasya serius, kok Gus Yusuf bisa setegar itu ya?”
“I don’t know. Tapi satu hal yang perlu kamu ketahui Sya, bahwasanya jika takdir Allah tidak pernah bisa di ubah. Mungkin dulu kita sama-sama membenah diri agar menjadi seorang Muslim dan Muslimah yang lebih baik. Dan untuk Gus Yusuf, do’akan saja beliau yang terbaik agar penyakitnya lekas Allah angkat, karena tiada suatu hal yang mustahil bagi Allah jika itu sudah menjadi suatu hal yang Ia kehendaki. Kakak juga ingin Gus Yusuf merasakan hal yang sama, menikah, mencintai dan dicintai.”
Nasya mengangguk. “Aamiin, semoga saja ya. Ternyata benar apa yang Allah firman-kan dalam Al-Qur’an, bahwasanya seorang yang baik akan di pertemukan dengan yang baik pula.”
Aku menoel hidung peseknya. “Allah tidak akan pernah mengingkari segala janjinya, sayang. Ning, ana Uhibbuki Abada (aku mencintaimu selamanya).”
“Sheranghe Kang Fajar!”
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan c e r p e n ♡
JugendliteraturIni merupakan kumpulan cerpen yang tak bisa di jabarkan lagi bagaimana kisah lanjutannya, semuanya menjadi teka-teki yang tak ada yang tau kelanjutannya.