2

139 27 3
                                    

Nadira membuka matanya yang terasa begitu berat dan lengket. Tangannya bergerak meraba sekelilingnya.

"Loh! Kok gua udah di kasur."

Ia menegakan tubuhnya dan menatap ruangan disekitarnya. Tangannya bergerak menggaruk pelipisnya yang terasa gatal. Matanya berkedip gemas karena ia bingung dengam dirinya sendiri. "Udah di kamar ternyata."

Mata bulatnya yang indah melirik ke arah jarum jam yang diletakan di atas nakas tempat tidurnya. Pukul sepuluh pagi.

"Haah." Ia meniup udara di depan tangannya dan menghirupnya. "Anjir bau neraka jahanam."

Nadira kemudian bergegas turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu ia berjalan keluar kamar dan turun ke lantai satu menuju ruang makan.

Nadira menarik kursi yang tertata rapi di ruang makan yang terlihat kosong dan sepi. Biasanya di jam-jam seperti ini seluruh anggota keluarganya memang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing jadi, hanya ada sisten rumah tangganya saja yang sedang sibuk membersihkan rumah.

Seperti papahnya yang sudah berangkat kantor sejak pukul tujuh pagi tadi. Mamahnya yang pastinya sedang sibuk mengikuti pengajian dari pukul delapan pagi hingga sepuluh pagi, dan juga Karel kakaknya yang memang tidak tinggal satu atap lagi dengannya karena Karel memilih untuk tinggal di sebuah kost. Elit!

"Baru bangun?"

Nadira yang sedang fokus mengunyah nasi goreng dimulutnya sembari melamun tidak memikirkan apa-apa teralihkan fokusnya pada suara wanita yang terlihat baru saja pulang dari pengajian.

"Iya."

Arida duduk di kursi yang ada di hadapan putrinya. Helaan napasnya terdengar begitu berat ketika ia menatap putrinya yang kembali melanjutkan kegiatan melamunnya.

"Ra.., Ra. Kamu kapan berubah sih." Ucap Arida pada Nadria.

"Soon as possible mah."

Arida kembali menghela napasnya.

"Mamah udah capek banget Ra liat kamu kaya gini terus. Pulang malem, mabuk, pakaiannya seksi. Mau sampai kapan kamu kaya gini?"

Nadira yang sedari tadi menatap kosong ke arah jendela besar dengan view taman, kini beralih menatap Arida yang ada di depannya.

Ia meletakan sendoknya dengan kasar, kemudian berkata. "Mah aku masih muda, masih mau have fun dulu sama temen-temen seusiaku. Biarin aja kenapa sih, lagian juga kalau udah waktunya aku bakal taubat."

Arida lagi-lagi mendapat jawaban seperti ini. Entah sudah berapa kali ia mengingatkan putrinya tetapi tetap saja ia hanya mendapatkan jawaban yang sama.

"Mau sampai kapan? Sampai dapet teguran dulu dari allah?"

Nadira mengerutkan dahinya. Ia kesal mendengar penuturan mamahnya, karena hampir setiap hari ia selalu saja mendapatkan pertanyaan seperti ini. Apa tidak ada kegiatan lain selain mengusik kebahagiaannya.

"Mah udah deh gausah bahas itu mulu, biarin aku nikmatin masa mudaku kenapa sih! Jangan di bandingin sama mamah waktu muda dulu, jaman udah berubah jangan sama-samain sama masalalu mamah yang kuno dan gak modern! Bikin males di rumah aja!"

Arida menghela napasnya. "Mamah ngomong gini itu karena, kamu kan sebentar lagi udah mau nikah sayang. Masa sifat kamu masih kaya gini? Apa gak malu sama bundanya Zharif? Sama Zharifnya juga?"

Mata bulat Nadira melirik Adira dengan cepat. "Dia juga nerima aku apa adanya yaudah, adanya aku begini."

Nadira bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan cepat ke lantai dua meninggalkan Arida yang saat ini sedang menatapnya lelah.

Akhirnya Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang