5

140 28 4
                                    

Keduanya kali ini berada di salah satu restaurant klasik ternama di bagian pusat ibu kota. Pertemuan ini didasari oleh paksaan dari Lina dan Arida yang memaksa mereka untuk bertemu, dengan alasan. "Kalian kan mau menikah, jadi sebelum tinggal di atap yang sama lebih baik kalian mengenal satu sama lain dulu, sering-sering lah jalan bareng." Itu yang diucapkan Arida pada Nadira. Sementara yang di ucapkan Lina pada Zharif. "Sayang perasaan kok kamu udah lama banget yaa.. gak jalan sama Nadira lagi? Ayok dong ajak Nadira keluar. Kan kalian mau menikah, jadi harus sering ketemu biar lebih memahami sifat dan perasaan satu sama lain." Karena hal itulah keduanya kini sedang duduk saling berhadapan dan saling memandang satu sama lain.

"Gimana kalo kita coba buat serius?"

Ucapan Zharifan sukses membuat Nadira menelan ludahnya dengan susah payah.

Padahal baru saja mereka duduk dan memesan makanan yang belum sempat datang. Tapi Zharif sudah memberi pertanyaan yang membuatnya merasa tertohok dengan realita. Bahkan sejak kejadian fitting baju 3 hari lalu. Keadaan keduanya yang sebelumnya biasa saja kini menjadi canggung. Hingga saat di mobil keduanya memilih untuk diam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Gimana?" Lanjut Zharif.

"Boleh, tapi semisal tetep aja gak bisa jangan dipaksa ya.."

Zharif mengangguk.

Keadaan kembali hening dan sepi. Tidak ada obrolan yang terjalin dianatara keduanya. Perasaan canggung bahkan masih menyelimuti keduanya sejak 3 hari yang lalu.

"Mas.."

Zharif yang sedang sibuk dengan ponselnya melirik Nadira sekilas dan kemudian meletakan poselnya. "Apa?"

"Acaranya lamarannya kan bulan depan, lo beneran serius buat lanjutin perjodohan kita ini?"

"Gua sih serius, lo gak bisa lanjutin ini?"

Nadira menggeleng. Karena memang bukan itu yang ia maksud.

"Bukan gitu, cuma.. gua agak takut aja kalau kehidupan setelah menikah bakal berubah." Nadira memainkan jari-jemarinya di atas meja. Mencoba menyalurkan kegelisahannya pada hal lain.

Zharif menghela napasnya. "Enggak, nggak berubah kok, gua kan dah pernah bilang kalo lo bebas ngapain aja. Anggap aja gua temen hidup lu tapi selamanya, misalkan kita udah jalanin bertahun-tahun dan masih tetep gak cocok ya kita pisah aja."

Nadira yang sebelumnya menatap Zharif kini beralih menatap lilin yang ada dihadapannya. "Itu juga salah satu yang gua takutin, gua takut jadi janda."

"Ya makannya kita coba buat serius sekarang ini. Mumpung masih ada waktu satu bulan Dir.."

Anggukan kecil lagi-lagi menjadi tanggapan untuk ucapan Zharifan.

"Mas gua mau tau alasan lain dari lo kenapa bisa terima perjodohan ini sama gua."

Zharif tercekat mendengar pertanyaan mendadak dari Nadira.

"Yaa jujur aja gua udah capek denger bunda nyuruh gua buat cepet-cepet nikah. Berkali-kali gua tolak tapi bunda tetep aja ada stock cewek yang mau dikenalin ke gua. Jadinya ya gua muak sama semua kemauan bunda yang buat gua tersiksa. Kebetulan juga bunda jodohin gua sama lo yang gua tau lo itu kandidat paling muda diantara semua cewek yang pernah dikenalin ke gua. Eh guanya juga cocok jadi yaudah lah gas."

"Tapi lo cinta gak sama gua?"

Zharifan tersenyum. Bahkan senyumnya yang mendadak itu membuat Nadira takut.

"Maaf belum, tapi rasa sayang untuk saling memiliki bisa semakin besar seiring berjalannya waktu."

"Lo homo ya?!"

Akhirnya Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang