Subuh betul Helena memegang ransel dan kopernya turun dari taksi online dan berjalan menuju ruang tunggu di Stasiun Pasar Senen. Untung saja, temannya yang lain sudah berada di sana terlebih dahulu sehingga ia tidak perlu menunggu sendirian seperti orang dungu. Ia menghampiri teman-temannya dan meminta tiket kereta yang sudah dicetak kepada mereka. Matanya mulai mencari seseorang yang dari semalam membuat jantungnya berdetak tak karuan hanya karena menghubunginya melalui obrolan online dengan berkedok meminta tolong untuk titip beli kartu kuota internet. Untungnya si lawan obrolan menerima permintaan Helena dan akan diberikan saat bertemu di stasiun.
"Kasetra!" Helena memanggil si pembuat jantungnya yang berdetak tak karuan.
Si pemilik nama menoleh ke asal suara dan menghampiri Helena.
"Oh iya Len, ini kartu kuotanya" Kasetra membuka ranselnya dan mengeluarkan kertas bungkusan kartu kuota salah satu merk ternama di Indonesia.
"Wah, makasih ya Set! Ini gue ganti berapa jadinya?" tanya Helena.
"Tujuh puluh delapan ribu" setelah itu Helena merogoh saku celana jinnya.
"Waduh Set, gak ada duit pas nih. Lo pegang dulu aja yah, nanti kalau kembaliannya udah ada, kasih aja ke gua" Kasetra mengangguk mengiyakan dan Helena memberikan uang selembar berwarna merah kepada Kasetra. Setelah itu Kasetra pamit pergi ingin mengambil tiket keretanya kepada teman yang lain dan perbincangan mereka telah selesai begitu saja.
Helena sangat senang dengan benda yang sedang digenggamnya. Bagaimana tidak, benda yang ada di genggamannya tersebut merupakan benda yang diberikan dari orang yang ia suka, walaupun maksudnya adalah menitip. Setelah itu terdapat pemberitahuan bahwa kereta yang akan mereka naiki sudah tiba dan dihimbau agar segera masuk ke dalam kereta.
Dengan terburu-buru ia membawa barang-barangnya menuju peron yang tertera di tiket. Perjalanan menuju peron membutuhkan waktu yang tidak lama namun harus menuruni dan menaiki tangga dengan barang bawaan yang tergolong besar dan berat. Sebagai perempuan yang mandiri, Helena membawa barang-barangnya sendiri tanpa bantuan porter ataupun teman lelakinya.
Di saat menuruni tangga, ia tidak melihat anak tangga yang terakhir sehingga ia kehilangan keseimbangan, namun dengan sigap ia berdiri tegap dan tidak jadi jatuh. Sesaat ia berdiam diri untuk memfokuskan konsentrasinya dengan barang-barangnya. Tidak terlalu jauh di depannya terdapat temannya yang perempuan dibantu oleh pacarnya dengan membawa barang bawaan temannya sambil menaiki tangga menuju peron. Melihat itu Helena membayangkan jika saja dirinya memiliki pacar, ia tidak akan serepot ini untuk mengangkat dan membawa barang bawaannya. Ia segera menggelengkan kepalanya agar tidak hanyut dalam pikirannya yang aneh dan segera membawa barang bawaannya dan berjalan menuju peron kereta yang tertera pada tiket.
Sesampainya di dalam kereta, perjuangannya tetap harus berlanjut karena kopernya harus diletakkan di atas kursi yang ia duduki. Ia mulai mengangkat koper yang akan dinaikkan ke rak penyimpanan di atas kursi penumpang, namun keseimbangan tangannya terganggu dan hampir saja kopernya jatuh kalau tidak ditahan oleh teman perempuan di sebelahnya. Dengan cepat ia mengucapkan maaf dan terima kasih dan segera mendorong kopernya agar naik ke rak penyimpanan atas. Setelah koper sudah dinaikkan, Helena kemudian duduk namun sebelum itu ia kembali melihat teman perempuannya yang lain dibantu menaikkan kopernya oleh sang pacar. Melihat itu Helena menjadi iri dan kembali membayangkan jika ia memiliki pacar, ia tidak akan repot begini.
"Helena, ayo duduk, keretanya udah mau jalan nih" salah satu teman Helena, Kiana menegurnya untuk segera duduk. Helena mengangguk dan segera duduk di kursi yang sesuai dengan tiketnya.
Tidak lama setelah itu kereta mulai bergerak jalan meninggalkan stasiun keberangkatan. Perjalanan menuju daerah kecil, yaitu stasiun di daerah Kebumen memakan waktu sekitar tujuh jam. Mengetahui durasi perjalanan yang cukup lama, Helena mengeluarkan ponsel dan earphone untuk membantu meringankan kebosanannya selama di perjalanan. Ia mulai memasang earphone ke ponselnya dan memutar lagu-lagu yang sekiranya enak didengar.
Beberapa lagu telah berputar, Helena kembali teringat dengan kartu kuota internet yang diperoleh dari Kasetra di stasiun tadi. Ia mengeluarkan kartu tersebut dari saku celananya dan memperhatikan kemasannya. Jantungnya kembali berdetak kencang mengingat hal yang telah terjadi di stasiun tadi dan tidak dapat menahan senyumnya. Tersadar, buru-buru ia mengurungkan senyumnya dan untung saja teman yang sebangku sudah tertidur pulas, jadi tidak melihatnya tersenyum.
Helena kembali fokus pada musiknya sambil menatap ke luar jendela gerbong kereta yang menampilkan pemandangan jalanan yang padat. Teman perempuan yang dibantu pacarnya tadi melintas di pikiran Helena dan hal itu membuatnya menjadi sedih.
Selama dua puluh satu tahun ini ia mencari hubungan yang lebih dari pertemanan, namun belum ada kesempatan yang datang. Seringnya, atau mungkin selalu, Helena-lah yang memiliki perasaan seseorang tanpa orang tersebut tahu bahwa Helena memiliki perasaan kepadanya. Ia ingin sekali bercerita tentang orang yang ia suka pada teman-temannya, namun Helena berpikir ulang bahwa bercerita kepada temannya tidak ada gunanya, mungkin lebih tidak antusias.
Perlakuan Helena yang selalu mengurungkan niatnya untuk bercerita tentang orang yang ia suka menjadi sebuah kebiasaan dan ia lebih memilih memendam perasaan tersebut. Terkadang rasa yang dipendam sudah terlalu banyak, ia tidak tahu harus menumpahkan kepada siapa, jadi ia lebih memilih menangis dalam diam.
Helena sadar ia tidak memiliki banyak kelebihan dibandingkan temannya yang lain. Dalam kategori fisikpun tidak ada yang dapat dibanggakan, ia pendek, kulit sawo matang, serta badan yang 'berisi'. Jika diadu dalam hal intelektual, Helena termasuk orang yang biasa saja, setidaknya nilai semester dan IPK nya dapat membuat perasaan kedua orangtuanya senang.
Maka dari itu Helena hanya berdoa kepada Sang Mahakuasa agar dapat dipertemukan dengan orang yang mau menerimanya apa adanya, tanpa memandang kekurangannya.
HG.
KAMU SEDANG MEMBACA
HELENA
RomanceHelena Sagala, lahir dan tumbuh dalam keluarga suku Batak yang kental dan taat agama. Berasal dari daerah terpencil di Pulau Sumatera namun memiliki tekad untuk menuntut ilmu di Pulau Jawa. Mendapat kesempatan untuk kuliah di Kota Jakarta, Helena me...