Ria akhirnya menemukan keahliannya, akuntansi. Selama kelas X, perempuan itu memang menyukai pelajaran ekonomi. Tapi dia tak menyangka menemukan jiwanya dalam pelajaran akuntansi. Dari awal perkenalan, semua terasa mudah untuk dimengerti. Jadi hanya di pelajaran akuntansi-lah Ria paling bersemangat.
"Yaa,, tugas akuntansi?" tanya Eva, sambil menyodorkan kedua tangannya.
Ria membuka tasnya dan mengeluarkan buku tugas lalu menyerahkannya pada Eva. "Banyak lho tugasnya."
"Nggak pa-pa. Lagian aku nggak yakin bakal diperiksa sama Bu Beth. Liat aja yang lain."
Ria mengedarkan pandangannya, melihat para temannya yang sedang sibuk menyalin tugas. Sepertinya tebakan Eva akan tepat. Bu Beth tidak akan mengoreksi jika tugas mereka belum selesai. Ria mendekati jendela, menikmati udara pagi yang masih segar. Bel tanda mulai pelajaran telah berbunyi 5 menit yang lalu, tapi Bu Beth belum masuk di kelasnya.
Terdengar raungan motor memenuhi parkiran belakang sekolah dan kebetulan terletak di samping lapangan volli. Ria yang masih memandangi lapangan, mengalihkan pandangannya pada rombongan motor tersebut.
"Telat terus tuh anak. Nggak kapok-kapok," ujar Eva yang ternyata sudah berdiri di samping Ria.
"Siapa?"
"Si Tuan Tanah. Si yang nggak boleh disebut Dilan."
Ria tertawa mendengar jawaban Eva. Semenjak kejadian di kantin waktu itu, Eva memanggil kakak kelas tersebut dengan dua sebutan baru. Si Tuan Tanah dan Si yang nggak boleh disebut Dilan. Tapi sebutan ini hanya berlaku di kelompok mereka saja.
"Langganan telat dia?"
"Terlalu loyal sama gengnya. Sebenarnya kalau dia mau dia nggak bakal telat, cuma karna pengennya bareng-bareng jadinya ya gitu."
Ria memfokuskan pandangannya, "Lho, bukannya itu Albert?" tunjuknya pada salah satu lelaki yang berada di rombongan tersebut. Teman sekelasnya.
Eva mengangguk, "Iya itu Albert. Mereka dah temenan dari SMP."
"Ohh...." Ria hanya mengangguk-angguk, masih melihat rombongan bermotor itu dengan santainya berjalan mendatangi Pak Mars yang sudah menunggu mereka.
"Oii... Bu Beth datang." teriak Nelson, yang bertugas menjaga pintu, mengabarkan kedatangan para guru.
Penghuni XI IPS 3 langsung kocar-kacir membereskan kekacauan sebelum diketahui Bu Beth. "Hayoo... belum selesai nyalinnya kalian?" tanya Bu Beth yang sudah tiba di depan kelas setelah menjewer telinga Nelson.
Nelson lari menuju tempat duduknya, mengelus telinganya. Yang lain terdiam, tak berkutik. "Ibu kan sudah bilang, ibu nggak suka kalau kalian hanya menyalin. Lebih baik kalian jujur, bilang kalau belum selesai. Ibu lebih menghargai kalian yang jujur, tanya kalau ada yang tidak dimengerti, kita bisa kerjakan sama-sama."
"Sekarang jujur, siapa yang tidak mengerjakan tugasnya."
Penghuni kelas XI IPS 3 saling berpandangan, berdiskusi dalam diam untuk membuat keputusan yang tepat. Tangan Aldo, sang ketua kelas terangkat, diikuti oleh 22 lainnya. Sedangkan 3 orang, termasuk Ria tidak ikut mengangkat tangannya karena mereka mengerjakan tugasnya.
"Terima kasih. Ibu hargai kejujuran kalian. Sekarang kalian semua ikut Ibu ke lapangan."
Seluruh penghuni kelas XI IPS 3 beriringan mengikuti Bu Beth menuju lapangan. Mereka menurut saja perintah Bu Beth untuk berbaris di depan tiang bendera. Pak Mars yang sedang menghukum siswa yang telat, kebingungan melihat Bu Beth membawa rombongan sebanyak ini.
"Lhoo.. kenapa ini Bu?"
"Biasa Pak.. Nggak ngerjain tugas."
"Satu kelas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HighSchool Story of Reo & Ria
Novela JuvenilMasa sekolah yang dipikir akan biasa saja ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Ria tak pernah menyangka jika dia bisa menjadi pacar Reo. Kakak kelas sekaligus ketua Ganendra yang dikenal seantero SMA Gemz. Hubungannya bersama Reo membuat hidupn...