Ayah, 01

11 3 4
                                    

Pernah aku diraut kecewa, susah begitu banyak disaat tak harusnya. Mengulang tanya serupa setiap ada sempat, "Kapan aku bahagianya?" Dan akan selalu ada tangis yang menyelingi, keluh demi keluh teralun tanpa permisi.

Kala mendengar, ayahku akan selalu tersenyum dan membelai rambutku lembut. Ia kan duduk di sampingku sebagai kawan yang lebih menahu perihal hidup. Ia kan mengutarakan banyak kata penyemangat sebagai motivator terbaik yang tak berharap imbalan. Ia kan membuatku tertawa seperti sahabat yang membersamai disetiap susah mau pun senang. Lantas ia kan memeluk sebagai ayah yang penyayang.

Ia punya banyak lakon di bumi, tapi tidak pernah mau dipuji-puji. Manusia paling heroik yang tak ada ganti, bahkan sepuluh menit bisa ia buat berarti. Tanpa perlu membawaku ke tempat luar biasa di bumi, gubuk kecil yang aku singgahi jika bersamanya bisa menjadi ranah terbaik dari berbagai sisi.

Ayahku juga seperti pesulap, ia tak perlu uang banyak. Tapi mampu membuat kehidupanku terasa berharga nan beri tenang terlampau banyak. Pelan ia beri lega yang nyata hingga dalam hati kan begitu melekat. Seperti biasa pada akhirnya ia kan berbisik, "Jangan lagi tanya Tuhan kapan bahagia, ya? Sebab, sia-sia, kamu hanya perlu syukur untuk mendapatkan bahagia."

Dan aku kan selalu berdoa untuk satu kebaikan ini, aku harap aku selalu memiliki ayah dalam setiap napasku terhembus di bumi. Sekiranya ibu tidak lagi mampu bertahan, ayah masih bisa kupegang, kan?

Perihal AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang