Ayah, 02

8 2 0
                                    

Berderet kecewa kalanya, aku berdiri di ambang pintu dengan hati yang merasa tersudut penuh beda. Aku tanya, "Kapan jadi cantik, ya?"

Kukira hanya angin yang dengar, namun telinga tajam yang tak berubah dari puluhan silam itu rupanya jua dengar. Kurundukkan kepala takut mendengar tanggapnya atas keluh-keluh yang susah dijeda. Kukira ia kan kecewa sebab aku telah gagal melakoni inginnya. Namun lelaki itu mendekatiku dengan senyum hangatnya.

Ia berbisik, "Kalau hatimu sudah tahu apa cantik itu. Kalau hatimu sudah bisa menerima setiap yang ada pada dirimu. Kamu akan merasa cantik, cantik versi diri sendiri."

Aku diam.

Katanya lagi, "Tidak perlu disamakan seperti yang lain. Hidup ini beda-beda, di bumi kita penuh beda. Jadi belajarlah untuk hidup dengan apa-apa yang sudah ada."

Itu Ayah yang kuanggap manusia paling hebat selama-lamanya. Ia pengikis resah dalam atma, ia penghapus riuh dalam kepala. Bising diotak bisa ia redam dengan penuh dewasa. Ia pengertian dalam menghadapi kelabilan dari masa ke masa. Ia pengukuh lemahnya pondasi semangat putra-putrinya. Ia tempat pulang yang tak bosan mempersilahkan. Ia pohon yang menaungiku dari setiap bulir lara tanpa perlu aku memohon.

Ia Ayah, lelaki yang sudah renta namun masih kuat untuk ringankan beban keluarga. Ia bak telaga tenang, peluk sebentar saja, rasanya aku kan menjadi manusia yang tak punya masalah apa-apa.

Perihal AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang