Kita tukaran nomor hp setelah selesai kelas pottery karena kamu janji mau mengirim foto bareng dan foto hasil prakarya kita. Kita mampir ke kafe karena kamu bilang kamu ngantuk dan mau minum es americano.
Kamu langsung kirim foto ke aku waktu hp kamu sudah terhubung sama wifi di kafe yang kita sambangi. Kita ngobrol ngalor-ngidul, dari soal kelas pottery, kerjaan, sampai ke hobi memasak kamu. Aku langsung deg-degan lagi. Masalahnya, aku ini anaknya akan lebih mudah jatuh hati kalau diberi makanan.
"Kamu jago masak apa, emang?"
"Aku lebih jago masakan lokal pokoknya. Andalanku sih ayam goreng mentega. Sama cah kangkung. Kapan-kapan deh kamu cobain masakan aku. Dijamin nagih. Hahahaha..."
Ketawa kamu renyah banget. Ditambah kamu nawarin aku sesuatu yang gak mungkin aku tolak—nyobain makanan. Tolong dong, jangan bikin aku jadi cuma bisa cengengesan gini.
"Boleh, kalo kamu ke kantor saya, bawain aja masakan andalan kamu. Nanti saya juriin kayak Masterchef."
"Kalau enak, aku dapat apa dong? Kalo Masterchef kan maju ke babak berikutnya. Dapat hadiah, nggak?"
"Hmmm... Saya traktir kopi. Sama dessert deh. Kamu suka apa?"
"Gelato. Ada tempat gelato gak jauh dari sini, dia punya strawberry cheesecake ngaco banget. Enak banget."
Mata kamu berbinar-binar waktu ngomongin gelato. Seenak apa sih, rasanya, sampe bisa bikin kamu sesumringah itu?
"Boleh. Kebetulan saya juga suka makan gelato. Nggak sih, kalo saya lebih ke pemakan segala, hahaha..."
"Keliatan, sih. Tadi waktu kita dikasih snack, kamu nggak milih-milih dan asal ambil aja yang ada di depan mata kamu."
Aku merasa kalau ada yang mulai merambat di pipiku. Hangat. Aku harus segera mengalihkan pandanganku sebelum kamu sadar kalau pipiku memerah karena kata-kata kamu barusan.
Selain makanan, aku juga paling senang diperhatikan. Jadi kalau kamu ngomong sesuatu yang menunjukkan kalau kamu put some attention on me, aku pasti jadi salah tingkah begini.
"Btw, kamu tinggalnya di mana? Kok nggak bawa kendaraan?"Aku berusaha mengalihkan pembicaraan untuk menetralisir kondisi pipiku sebelum semakin merah kayak tomat.
"Aku biasa naik ojek atau kendaraan umum aja sih. Apartemenku deket kantor, daerah belakang Sudirman sana. Ngantornya juga jalan kaki, atau ngojek kalo udah telat."
"Wih, Sudirman lho."
"Bukan bagian Sudirman yang mewah seperti di bayangan orang pada umumnya, kok. Kalau kamu tinggal di mana?"
"Saya? Sebelah situ..."
Aku menunjukkan gedung apartemenku yang terletak beberapa kavling dari kafe ini.
"Eh? Deket banget? Tapi jauh dong dari kantor? Tiap hari pulang-pergi dong ya?"
"Iya, biasanya saya naik bus atau taksi kalau pas lagi capek banget."
"Oh, nggak pake apartemen kantor?"
"Nggak, apartemen saya lebih bagus daripada apartemen kantor soalnya. Walaupun punya Papa sih. Bukan punya saya, ya."
Kamu ketawa lagi. Gemas ya suara ketawa kamu yang renyah itu. Kamu kalau ketawa agak sedikit heboh sampai rambut kamu jadi berantakan. Setelah itu, kamu sibuk menyibak dan merapikan rambut kamu. Di situ gantian aku yang berantakan. Hatinya.
"Eh, kamu nggak ada janji nih malam minggu? Mau mampir tempat saya, nggak? Saya ada stok almond crispy cheese dari Surabaya."
Lho. Lho. Lho. Apa yang barusan aku bilang?
***
GIMANAAA INIII AKANG!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pukul 4 Pagi
FanfictionTerinspirasi dari puisi Aan Mansyur dengan judul yang sama. "Jika ada seorang telanjur menyentuh inti jantungmu, mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan." by hwangaurora