2 : Inkonsistensi

19 1 0
                                    

Jujur, kalau aku disuruh bersaing sama Rama, aku akan angkat tangan. Secantik apa pun kamu, sejatuh apa pun aku ke kamu, kalau saingannya Rama, aku lebih baik mundur di awal. Ganteng iya, jabatannya oke (walaupun jabatanku lebih tinggi sedikit sih, daripada dia—tapi tim dia lebih banyak proyek besarnya daripada timku), baik banget dan suka membantu, anaknya lurus lagi nggak neko-neko kayak aku yang dikit-dikit mabuk ini. Kalo aku cewek, mungkin aku juga naksir sama Rama.

Jadilah aku nggak berani lagi mimpi tinggi-tinggi. Lihat kamu datang ke kantor aku harus nundukkin pandangan, karena aku takut semakin naksir kalau lihat bulu mata kamu yang lentik itu. Kalau ada meeting sama kamu, kecuali aku harus banget hadir, aku lebih milih mengutus si Bimo untuk ikut meeting, walau ujung-ujungnya aku keki karena isi catatan meeting dia berantakan kayak ceker ayam. 

Sampai waktu berlalu begitu cepat dan nggak terasa sudah enam bulan aku pindah ke Jakarta. Weekend itu, teman-teman akrabku yang biasa main band bareng lagi pada ke luar kota. Ada yang dinas, ada yang ‘dinas’ alias liburan sama pacar. Alhasil aku yang E ini bingung mau ngapain sendirian. Mati gaya kalo cuma di apartemen. Aku coba scroll aktivitas menarik di Travelika, lalu menemukan kelas pottery yang diadain gak jauh dari apartemenku.

Menarik. Aku langsung booking dan siap-siap untuk pergi. 

Aku suka tempat yang walking distance dari apartemenku. Sesimpel karena aku nggak punya mobil dan SIM. Aku udah diomelin entah berapa kali karena sama Mama karena beliau sebel banget sama aku yang nggak pernah bisa nganterin beliau belanja atau arisan. Ya mau bagaimana lagi, aku masih belum dapat hidayah untuk beli mobil dan tes SIM. Waktu di Surabaya, kalau cuma ke swalayan dekat rumah atau ke tukang galon di perumahan sebelah sih, aku masih mau nyetir. Tapi sekarang di Jakarta? Dengan kemacetannya yang bisa bikin setengah gila itu? Nggak dulu, makasih.

Begitu aku sampai di tempat kelas pottery, jantungku rasanya kayak mau copot. Aku kira aku berhalusinasi karena aku lihat cewek rambut sebahu lebih sedikit yang mirip kamu. Tapi semakin aku mendekat, semakin mirip. Pas aku tepat di belakang cewek itu, seorang Kayla yang aku kenal menoleh ke aku dan langsung mengenali aku.

“Mas Brian, ya?”

Wah. Kayla, kalau mau nyebut namaku, jangan pake embel-embel ‘Mas’ gitu. Bikin jantungku makin mau copot.

“Oh… Mbak Kayla, ya? Suka pottery juga, Mbak?”Walaupun aku tau kamu lebih muda dari aku, tapi anggap aja aku gatau kalo kamu lebih muda dari aku.

“Ih, nggak usah pake ‘Mbak’. Aku lebih muda dari Mas Brian.”

“Ya udah kalo gitu ke saya juga nggak usah pake ‘Mas’. Panggil Brian aja.”Kupasang sedikit garis supaya jantungku lebih aman. Panggilan ‘Mas’ itu sakral kalau disebut sama perempuan yang aku sukai.

“Oke deh kalo gitu. Oh ya, tadi nanya aku suka pottery juga apa enggak, ya? Aku iseng aja sih. Bosen juga nggak ada kegiatan di rumah.”

Alasan kamu sama denganku. Memang ikut kelas-kelas random begini cukup menarik untuk pegawai kantoran macam kita yang setiap hari sudah dikejar-kejar sama deadline. Kalau kata anak zaman sekarang sih, healing

Tapi… Memangnya orang yang punya pacar nyaris sempurna seperti kamu bisa bosen nggak ada kegiatan di rumah? Kan bisa tinggal telepon ayang dan ajak ayang pergi? Apalagi kalau aku nggak salah ingat, Rama minggu ini nggak dinas ke mana-mana. Kemarin aku masih ketemu dia di kantor.

“Sama dong, kalau begitu. Tapi saya baru pertama kali ikut kelas ginian, bantuin saya ya kalo prakarya saya peyot-peyot nanti?”

Ealah Bri, tadi dibikin tuh garisnya. Eh sekarang kok tiba-tiba kendor. Gimana, sih?

***

Brian's Assistant:

Bimo Putra

Bimo Putra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pukul 4 PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang