Terik matahari di siang kamis ini tidak menyurutkan niat para warga desa untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Tinggal di desa yang subur dan makmur, membuat sebagian warga yang tinggal di salah satu desa di Malang ini bermata pencaharian sebagai petani.
Tak terkecuali dengan Pak Marno, beliau termasuk salah satu petani sayur yang cukup sukses di desanya. Dibantu anak pertamanya, kebun sayur yang dikelola Pak Marno menjadi ladang penghasilan yang cukup menjanjikan.
Menghela napas sambil sesekali menyeka keringat, pemuda bertudung caping tersebut mendudukan dirinya di pinggiran pondok. Menatap hamparan hijau di sekelilingnya yang ditanami berbagai macam sayuran yang beberapa tahun ini ikut dikelolanya.
Di sana ramai, ada kurang lebih 10 orang yang ikut membantu memanen sayuran. Ya, beginilah rutinitasnya beberapa tahun belakangan ini. Selain menjadi pemilik, terkadang ia juga ikut turun ke kebun membantu memetik hasil panen. Untuk kemudian di distribusikan ke berbagai supermarket atau ke sejumlah pasar.
Mengedarkan pandangan, ia menemukan segerombolan anak kecil berpakaian putih-merah di jalan bebatuan pinggir kebun. Ia tersenyum saat memperhatikan salah satu anak lelaki tengah menjahili teman perempuannya. Ah, betapa bahagianya hidup mereka saat ini, tidak perlu pusing memikirkan asam manisnya kehidupan.
"Woy, Zar. Kamu kenapa toh ngelamun ditengah hutan begini? Kesambet tau rasa lho."
"Siapa yang melamun?" Edzar gelagapan lantaran kaget dengan kedatangan temannya yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
"Aku hanya sedang mengingat kenangan waktu kita kecil dulu. Kelakuanmu waktu itu persis seperti anak kecil itu." Ia tersenyum tipis sembari menatap gerombolan anak-anak berseragam putih merah yang semakin menjauh.
Mengikuti pandangan Edzar, pemuda tersebut tak kuasa menyemburkan tawanya. Ia jadi mengingat betapa jahilnya ia waktu kecil dulu. Menarik kunciran rambut teman perempuannya, mencolek pipi mereka dengan arang, dan masih banyak lagi kejahilannya yang lain. Membuat ia sering dimusuhi oleh teman-teman perempuannya kala itu.
"Oh ya, Zar. Bagaimana keadaan ibumu?"
"Alhamdulillah Ibu sudah semakin sehat, dua hari lalu sudah dibawa ke puskesmas sama Bapak." Edzar menatap hamparan hijau kebun sayur di depannya dengan sendu.
"Jangan terlalu dipikirkan, beliau wanita kuat." Lelaki tersebut menepuk-nepuk punggung Edzar.
"Ya, beliau wanita terhebat," gumamnya. Edzar menunduk membayangkan senyuman ibunya yang tak selebar dulu.
"Aku tidak tau akan jadi apa aku sekarang kalau tidak ada beliau, Res."
"Nah, kalau begitu sudah sepatutnya kamu membalas jasa beliau. Membawakan calon menantu misalnya." Ares berkelakar, mencoba mencairkan suasana. Rasanya menyesakkan setiap kali Ares menatap lekat lelaki di sampingnya. Ada begitu banyak luka yang tergambar di sana.
Terkekeh pelan, Edzar kemudian menanggapi, "Tidak ada hubungannya sama sekali, Res."
"Loh, bener toh. Beliau pasti senang kalau dibawakan menantu sama anak bujang kesayangannya ini."
Mengelus dagu seolah serius, Ares kemudian melanjutkan, "Aku rasa, Minarsih anak pak RT siap kamu bawa kerumah, Zar."
"Oh atau kamu mau aku kenalkan sama keponakannya bu Layla dari kampung sebelah itu?" Menaik turunkan alisnya Ares berniat menggoda teman kecilnya itu.
Ares memang paling suka menggoda Edzar. Pembawaan Edzar yang kalem dan sedikit pendiam sering dijadikan bulan-bulanan oleh temannya tersebut. Sifat keduanya yang sangat berkebalikan inilah yang menjadikan mereka semakin akrab.
"Makin ngawur kamu." Edzar berdecak tidak percaya. Ada-ada saja temannya itu.
Bagaimana tidak, keponakan bu Layla yang disebutkan Ares tersebut, adalah gadis manis yang secara tidak langsung dinobatkan sebagai kembang desa, beberapa bulan setelah kepindahannya ke desa Banjarsari.
Sementara Minarsih, yang disebut sebagai anak pak RT itu baru saja lulus sekolah menengah atas. Selain perbedaan usia yang cukup jauh, gadis itu juga pastinya memiliki masa depan cerah. Perjalanan hidupnya pun masih panjang.
Lagipula, gadis mana yang mau menjalin hubungan dengan lelaki sepertinya. Seorang mantan narapidana yang namanya sudah terkenal jelek dimana-mana. Tidak akan ada gadis yang mau menggantungkan hidup dengan lelaki hina sepertinya bukan?
Edzar tersenyum sendu, membayangkan kehancuran dirinya beberapa tahun yang lalu. Tidak ada yang patut disalahkan selain dirinya sendiri. Jadi, apapun yang terjadi sekarang adalah buah dari perbuatannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Luka
General Fiction"Tidak seharusnya seorang pendosa ini dibiarkan bernafas lebih lama." - Edzar Adriano Wirasatya Tentang luka penyesalan yang tak berujung, tak kunjung sembuh meskipun ribuan hari telah terlewati. Tak dapat terhapuskan meski bermilyar hujan jatuh mem...