"Halo Rin, sepertinya aku enggak bisa datang malem ini deh, Rin." Menghela napas, gadis itu menengok ban mobilnya yg kempes sekali lagi.
Setelah terdengar jawaban di seberang telpon ia pun melanjutkan, "Ban mobilku bocor, aku nggak bisa ninggalin gitu aja. Kamu kan tau besok pagi mobilnya mau dibawa Kakak."
Menggerutu pelan, ia menyesali kenapa harus melewati jalan sepi ini. Berdalih agar lebih cepat sampai, yang ia dapatkan sekarang justru menyusahkan dirinya sendiri.
"Yasudah titip salam saja sama teman-teman yang lain ya, Rin."
Menutup panggilan ia lantas menengok jam yang melingkar ditangannya, sudah hampir magrib. Sekarang ia bingung mau meminta tolong siapa. Jalanan yang diapit sawah dan perkebunan ini sudah sepi, tidak ada satupun yang bisa ia mintai tolong. Lagian sudah waktunya beristirahat, mana ada manusia yang masih berkeliaran di jam menjelang magrib begini. Jangankan manusia, ayam pun pasti sudah kembali ke kandangnya masing-masing.
Menghela napas panjang ia kembali mengotak-atik telpon genggamnya, mencari kontak siapa saja yang sekiranya bisa dimintai tolong. Ingin menelpon kakeknya, tapi ia teringat kakeknya saat ini mungkin saja sudah pergi ke masjid. Terlalu sibuk dengan ponsel, ia sampai tak menyadari seseorang yang baru saja turun dari motor menghampirinya.
"Ada yang bisa dibantu?"
"Astaghfirullah..." Tersentak kaget, ia hampir saja menjatuhkan ponsel di genggamannya.
Menengok ke samping kanan, ia menemukan pemuda tinggi bediri di sebelah mobilnya. Ia bisa bernapas lega setelah memastikan bahwa pemuda di depannya ini benar-benar manusia, bukanlah mahluk asing. Hey, jangan salahkan dia jika berpikiran begitu. Dia hanya terlalu khawatir!
"Ah.. Ini, ban mobilku bocor. Sepertinya tadi terkena paku di belokkan sana." Sembari menjelaskan ia memerhatikan lelaki di depannya sekilas.
Lelaki tersebut terlihat menimbang sejenak, mungkin ia bingung juga ingin membantu dengan apa.
"Sebentar lagi magrib. Apa tidak sebaiknya kamu mampir dulu kerumah saya? Nanti akan saya bantu hubungi bengkel untuk memperbaiki mobilmu disini."
Menggigit bibir, gadis tersebut nampak bingung memikirkan tawaran lelaki didepannya ini. Bagaimanapun mereka tidak saling mengenal.
**
Tok tok tok
"Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam," sesaat terdengar sahutan dari dalam rumah, lalu suara langkah kaki yang ikut mendekat.
"Loh Zar, kamu darimana toh, kok jam segini baru sampai rumah?"
"Maaf bu, tadi Edzar ada urusan sebentar dengan teman."
"Yasudah buruan mandi, sudah mau adzan." Ujar ibu Edzar.
Memperhatikan sang anak, ia kemudian menyadari ada seorang gadis dibelakang anaknya.
"Loh, iku sopo Zar?"
"Ah ini..." Edzar bingung ingin menjawab apa, karena ia dan gadis itu memang belum memperkenalkan diri satu sama lain sejak tadi.
"Oh iya bu, perkenalkan nama saya Rani." Gadis itu maju dan segera menyalami tangan wanita paruh baya di depannya.
Sembari mengulurkan tangan, ibu dari Edzar itu menatap gadis di depannya penuh perhatian. Kemudian tatapannya beralih kepada sang anak. Pikirnya, sejak kapan anak bujangnya ini memiliki teman perempuan. Sudah lama sekali rasanya Edzar tak membawa perempuan kerumahnya.
Sayup-sayup terdenger suara adzan magrib berkumandang, "Sebaiknya kita masuk dulu Bu, nanti Edzar jelaskan di dalam."
"Oh iya, mari masuk dulu Nak Rani." Seakan tersadar wanita paruh baya itu segera saja mempersilahkan anak dan tamunya masuk.
**
Setelah tadi Ibu dari Edzar memintanya untuk segera membersihkan diri dan menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim, disinilah Rani berada sekarang. Di sebuah kamar bernuansa biru muda dan di dominasi perabotan berwarna putih yang terkesan menenangkan. Kamar ini tidak terlalu besar, tapi juga tidak bisa di bilang kecil. Dilengkapi kamar mandi di dalam serta penataan perabot yang rapi, membuat kamar ini terasa nyaman ditempati.
Mengedarkan pandangan, Rani menemukan potret keluarga yang terletak di atas meja tak jauh dari tempat tidur. Diperhatikannya foto yang menampilkan empat orang di dalamnya itu, dia seperti pernah melihat pemuda yang mengenakan kemeja hitam itu. Ya, itu laki-laki yang sama yang membawanya kesini tadi. Wajah laki-laki itu seperti tidak asing, tapi siapa dan di mana dia melihatnya. Sedangkan Rani sangat yakin kalau dia memang baru pertama kali ini bertemu dengan laki-laki itu.
Beralih kesebelahnya, di sana terdapat foto seorang gadis remaja mengenakan pakaian sekolah khas pramuka tengah tersenyum lebar kearah kamera. Mungkin itu si pemilik kamar, pikir Rani.
Tok tok tok
"Nak Rani, apa sudah selesai sholat nya?"
Suara ketukan pintu dan panggilan dari luar seketika menyadarkan Rani. Dengan cepat diletakkannya mukena dan sajadah yang sudah dia lipat diatas tempat tidur, kemudian berjalan kearah pintu.
"Ah iya, sudah Bu," sahutnya setelah membuka pintu kamar.
"Kalau begitu mari makan dulu, Ibu sudah siapkan makan malam." Ujar sang tuan rumah dengan suara lembut dan senyum keibuannya.
"Ah tidak usah repot-repot Bu," ucap Rani sedikit merasa sungkan.
"Tidak sama sekali, Ibu justru senang ada teman makannya." Dengan lembut Ibu dari Edzar itu menuntun Rani ke ruang makan.
"Tadi Edzar habis sholat langsung pergi, dia bilang mau ke bengkel. Jadi cuma ada kita berdua disini." Seperti mengerti kebingungan Rani, ia kemudian menjelaskan.
Mendudukan diri di depan sang tuan rumah, Rani kemudian memperhatikan ruang makan yang lumayan luas itu. Terlihat nyaman dengan beberapa perabotan canggih yang melengkapinya. Rumah itu sendiri memang sudah termasuk modern untuk ukuran rumah di pedesaan, walaupun tidak bertingkat namun cukup luas.
**
"Oh iya, Nak Rani ini tadi mau kemana?" Tanya Ibu Edzar. Saat ini keduanya sudah beralih ke ruang tamu.
"Saya mau pulang Bu, kebetulan tadi habis berkunjung ke rumah Kakek saya di desa sebelah." Ujar Rani.
Tak lupa ia juga menjelaskan dirinya yang berasal dari kota, serta pertemuannya dengan Edzar tadi yang berakhir membawanya kerumah itu. Kemudian obrolan dilanjutkan dengan pembahasan lain, tentang si pemilik kamar yang tadi ditempati Rani yang ternyata adik dari Edzar.
"Elisha itu memang suka sekali ikut organisasi Ran, makanya kadang-kadang dia suka ndak ada di rumah," wanita paruh baya itu tersenyum membayangkan anak bungsunya yang kelewat aktif.
"Ya seperti sekarang ini, dia sudah 2 hari ndak pulang karena ada kegiatan di sekolah. LDKS atau apa lah itu ibu kurang paham juga." Ucapnya sambil tertawa.
"Bagus dong kalau begitu, selain dapet banyak pengalaman, kegiatan itu juga bisa mempererat tali persaudaraan antar teman juga kan, Bu." Rani tersenyum menanggapi.
"Iya betul itu, Ibu setuju. Tapi tetap saja Ran kadang-kadang Ibu suka khawatir kalau mau ditinggal itu. Rasanya kok ya ndak tenang gitu."
Rani tersenyum kecil, ia sangat paham apa yang dirasakan wanita di depannya ini. Sebab dia pun anak perempuan, dan pastinya para orangtua tidak mudah melepaskan anak perempuan mereka di luar sana tanpa pengawasan orangtua.
Kedua perempuan beda generasi itu nampak nyaman berbincang satu sama lain. Pembawaan Rani yang ramah serta sifat keibuan sang tuan rumah mampu membuat suasana tidak sekaku saat mereka baru berjumpa tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Luka
General Fiction"Tidak seharusnya seorang pendosa ini dibiarkan bernafas lebih lama." - Edzar Adriano Wirasatya Tentang luka penyesalan yang tak berujung, tak kunjung sembuh meskipun ribuan hari telah terlewati. Tak dapat terhapuskan meski bermilyar hujan jatuh mem...