3

229 60 16
                                    


Malam semakin larut tapi Zeline masih tetap setia menatap layar komputer didepannya. Perempuan itu menguap padahal sudah menghabiskan dua gelas kopi  untuk menemaninya begadang.

Zeline tengah berada di kamar yang ia tempati sejak dia datang kesini. Haris mengatakan bahwa sekarang kamar ini adalah miliknya. Bahkan kalau Zeline mau, rumah ini pun bisa jadi miliknya. Sebenarnya Richard yang menawarkan hal itu. Tapi Zeline dengan tegas menolak.

Suara jarum jam yang bergerak adalah satu-satunya yang menemani Zeline malam ini. Dia berdiri dan meregangkan tubuhnya sejenak.

"Lelah juga," gumamnya lalu melepas kacamata dan berjalan ke arah balkon. Dari posisinya, Zeline bisa melihat menara Eiffel yang berdiri dengan gagahnya dan memamerkan sinarnya yang berkilau itu.

Sebenarnya, dia memang sangat ingin datang ke kota ini. Paris adalah list kota urutan pertama yang Zeline jadikan tujuan liburan. Bayangannya untuk menginjakkan kaki ke kota ini sudah lama sekali tapi baru terjadi sekarang.

Itu juga karena dia bergabung dengan Richard Nicolas dan menjadi bawahan pria itu. Mengingat itu Zeline mendengus kesal. Tapi tidak apa, dia hanya perlu bertahan selama satu tahun pada lelaki itu.

"Uh, haus," Zeline menyentuh lehernya sejenak lalu berjalan ke dapur untuk mengambil minum. Zeline menuruni anak tangga dengan pelan karena lampu yang dimatikan sebagian.

Begitu sampai di dapur, Zeline membuka pintu kulkas dan menemukan berbagai macam minuman disana. Dimulai air mineral, jus, yogurt, bahkan bir. Zeline menghela napas lalu tangannya meraih sebotol air mineral berukuran cukup besar. Zeline membuka tutup botol itu dan meneguk airnya sambil membalikkan badan.

"Ppuffttt!!" Perempuan itu menyemburkan air yang masuk kedalam mulutnya ketika melihat sosok Richard tengah bersandar pada dinding sambil menatapnya.

"Sedang apa kau?" Tanya Zeline, dia mengusap bibir dan dagunya yang basah.

"Berdiri dan bernapas," sahut Richard. Bibirnya berkedut karena menahan tawa melihat tindakan Zeline barusan.  "Kenapa belum tidur?"

"Karena sedang bekerja," balas Zeline, dia kembali meminum air mineral yang ada ditangannya.

"Tidak perlu bekerja sampai larut begini. Santai saja," Richard mendekat dan mengambil sekaleng bir dari kulkas. Kepalanya menunduk untuk menatap Zeline yang tinggi badannya hanya sebatas dadanya.

"Tapi aku ingin menyelesaikannya dengan cepat. Kau bos yang aneh, masa kau tidak suka melihat pegawai mu lembur?" Zeline mengerutkan keningnya.

"Kenapa harus terburu-buru padahal kau bisa santai mengerjakannya?"

"Wah, apa aku baru saja mendengar kalimat mutiara dari salah satu pria terkaya di dunia? Richard Nicholas Abraham?" Zeline menatap sinis pria didepannya ini.

"Kau tidak tau ya? Aku tidak menerapkan jam lembur di perusahaan ku."

"Apa? Omong kosong apa itu?" Zeline bertanya karena terkejut. Tidak mungkin golongan pemuja paham kapitalis seperti Richard ini tidak memeras tenaga pekerjanya.

"Kau tidak percaya? Datanglah nanti ke kantor ku dan tanyakan langsung pada karyawan disana."

"Tidak, terima kasih. Aku tidak tertarik," Zeline menolak dengan tegas. Dia tidak mau terseret lebih dalam ke dunia lelaki itu. Sekarang saja, bagi Zeline ini mempertaruhkan nyawanya. Entah apa yang akan terjadi kalau dia semakin menyelami dunia Richard.

"Aku pergi dulu," pamit Zeline dengan masih membawa air mineral botol yang ada di tangannya.

"Kau harus tidur begitu ke kamar," perkataan Richard menghentikan langkah Zeline.

VERHETETLEN (FOURTH VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang