Seorang gadis tinggi semampai dan mengenakan pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuhnya berjalan dengan percaya diri sambil menyeret koper berwarna hitam di tangannya. Dia baru saja keluar dari pesawat yang membawanya dari Paris menuju ke Jakarta. Tidak ada kelelahan yang tergurat dari wajahnya walaupun penerbangan memakan waktu 16 jam. Wajahnya yang putih bersih terlihat begitu cantik. Pakaian yang dikenakannya terlihat sangat modis dan anggun.
Dia berhenti tepat di depan seorang laki-laki yang membawa papan nama 'Bulan Cantika'. Gadis tersebut membuka kacamata hitamnya dan menatap pria paruh baya yang ada di hadapannya.
Lelaki itu menatapnya lalu bertanya dengan senyuman di wajahnya, "Apakah anda nona Bulan Cantika?"
Gadis bernama Bulan itu menganggguk lalu melemparkan sebuah senyuman kepada pria yang sepertinya datang untuk menjemputnya. "Ya, Saya Bulan Cantika."
Sebuah senyuman terlihat di kedua sudut bibir lelaki berkulit sedikit gelap itu.
"Saya diutus oleh bos untuk menjemput anda dan mengantarkan anda ke tempat tinggal anda. Panggil saja saya Pak Diman." Tangannya mengambil koper yang ada di tangan Bulan dengan sopan. "Silahkan, Nona ikut saya."
Gadis cantik itupun mengikuti langkah pria yang membawa kopernya hingga di depan sebuah mobil mewah.
Bulan menghirup napas dalam-dalam lalu melihat ke sekelilingnya dengan sebuah senyuman tipis di wajahnya. Melihat pemandangan yang sangat mengusik ingatannya.
"Silahkan masuk, Nona." Pak Diman membuka pintu mobil tersebut mempersilahkan gadis cantik yang ada di hadapannya.
"Terima kasih, Pak."
Setelah menutup pintu mobil, Pak Diman dengan cepat berlari ke tempat duduk kemudi dan menyalakan mesin mobil. Mobil itu melaju perlahan membelah jalanan kota Jakarta yang padat.
"Saya kira Nona Bulan tidak bisa berbahasa Indonesia karena datang dari Perancis." Pak Diman membuka pembicaraan agar keadaan tidak terasa kaku. Lelaki itu memperhatikan bahwa Bulan sedari tadi hanya terdiam sambil menatap keluar jendela mobil. Menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi dan juga kendaraan serta hiruk pikuk kota besar ini.
"Saya juga dulu pernah tinggal di sini, Pak," jawab Bulan tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.
"Oh benarkah, Nona? Kapan?" tanya Pak Diman lagi dengan nada antusias. Beberapa kali lelaki itu menatap Bulan dari spion yang ada diatas kepalanya.
"Dari kecil hingga SMA, Pak."
"Wah pasti banyak sekali kenangan indah dan tak terlupakan. Apalagi ketika masa SMA, orang-orang bilang masa sekolah putih abu-abu tak akan bisa dilupakan. Banyak menyimpan kenangan indah dan cinta pertama, bukan begitu, Nona?" tanya Pak Diman kembali melirik kaca spionnya. Namun, tak ada jawaban dari gadis cantik yang duduk di belakangnya tersebut.
Bulan hanya terdiam mendengar kata-kata dari pria itu. Baginya masa putih abu-abunya sangat ingin dia lupakan. Masa-masa paling kelam dalam hidupnya. Masa-masa yang ingin membuatnya bunuh diri dan menghilang dari dunia ini.
Gadis itu memegang arloji yang ada di tangan kanannya dan menatapnya cukup lama. Sebuah luka tersimpan di balik arloji mewah yang dia kenakan itu. Luka yang terasa sakit hingga sekarang walaupun sudah sembuh.
Mata gadis itu kembali menatap pemandangan yang sudah lama tak pernah dia lihat dari balik jendela mobil mewahnya. Matanya seolah membuatnya kembali terkenang dengan semua kejadian yang pernah dia alami sebelumnya. Beberapa kali dia mengambil napas yang terasa sedikit sesak. Rasa sakit ini benar-benar harus dia hilangkan dengan kembali lagi ke kota ini dan membalas dendam.
YOU ARE READING
Sweet Revenge
Romance"Cih dasar babi jelek! Kamu lebih pantas bernama babi atau gorilla daripada namamu yang sekarang!" Bagi Bulan Cantika kata-kata hinaan itu adalah makanannya sehari-hari. Tubuhnya yang penuh lemak, perut buncit serta jerawat di seluruh wajahnya membu...