bab 3

5.4K 25 0
                                    

"Turunkan pisaunya!" Kali ini suaranya sedikit merendah. Aku menggeleng cepat pertanda mengancam.

"Saya tidak main-main, apa bedanya anda yang melukai atau saya sendiri yang melakukannya." Sejenak melupakan semua perih bekas cambukannya semalam, belum lagi perihnya daerah pangkal pahaku ketika berlari kesini tadi.

"Ya baiklah, aku akan keluar dari kamar. Bergeserlah dulu agar aku bisa berjalan melewati pintu itu." Dengan sedikit ragu,  menuruti perintahnya tapi tetap memposisikan pisau ditanganku. Walau pelan aku tetap berusaha menggeser langkah agar lelaki itu bisa pergi dari kamar ini.

Mata yang awalnya penuh amarah kini hanya nampak sedikit sendu. Dia menatapku tajam dengan mengayunkan langkah menuju pintu. Sepertinya dia tak berbohong , buktinya dia keluar dari sini.

Tanpa ucapan apapun akhirnya lelaki itu pergi dan menutup kembali pintu itu. Aku bernafas lega, berjalan menuju ranjang mewah. Pisau kuletakkan dimeja dekat ranjang sebagai persiapan bila lelaki itu tiba-tiba datang lagi.

***
Entah sejak kapan aku tertidur, yang aku tau setelah lelaki itu pergi aku masih menangisi sisa-sisa kesakitan yang dia sebabkan semalam.

Baru saja akan bangun, lelaki itu sudah ada dihadapanku dan duduk disisi ranjang yang kutiduri. Ingat akan pisau yang kuletakkan tadi ternyata sudah tidak ada.

"Kamu mencari pisaumu? Mau mengancamku lagi?" Ucapnya santai tapi mampu membuatku ketakutan. "Jangan pernah lakukan hal bodoh seperti itu." Dengan cepat bangun dari tempatku lalu beringsut mundur hingga lupa bahwa aku sudah diujung ranjangnya.

"Tuan, saya mohon jangan aniaya saya lagi." Hanya bisa memohon dengan tangis yang berusaha kutahan.

"Dari pada menjadi gadis pembangkang, kenapa kamu tak menjadi gadis penurut saja." Tangannya mendekat kearah luka yang dia ciptakan semalam. Entahlah, sepertinya malam ini pun masih harus merasakan sakit lagi seperti semalam.

Setelah mendapatkan anggukan dariku, dia beranjak dari tempatnya itu. Masih kuamati dari sini yang ternyata tengah mengambil nampan berisi makanan lalu dia bawa kearahku.

"Makanlah cepat, Aku tunggu disini." Dia menyuruhku dan meletakkan nampan itu dipangkuanku, dengan tangan gemetar aku menerimanya. Sejak tadi aku memang belum makan, jadi tak kusiakan kesempatan ini dengan memakannya secara lahap tanpa peduli lelaki yang tengah memandangiku itu. Mungkin dia jijik melihat caraku makan, tapi aku berusaha tak mempedulikannya.

"Kamu tak takut aku meracunimu?" Aku menggeleng dan masih tetap melanjutkan makanku.

"Lebih baik bukan kalau saya mati secepatnya." Lelaki itu dengan kasar menarik tanganku.

"Jangan berbicara mati dihadapanku. Atau kamu memang mau aku bunuh secepatnya?"

"Memang itu yang saya mau tuan, secepatnya membuat anda muak dan membunuh saya." Jawabku tegas. Matanya berubah sangat tajam menatapku.

Bahkan aku sudah lupa hari apa ini? Karena sejak sadar berada diruangan ini belum sekalipun lelaki ini membiarkanku keluar kamar.

Terakhir kuingat bibi menyuruhku pergi kesebuah taman pinggir kota untuk mengantarkan pesanan telur asin yang biasa dia buat. Namun setelah sampai disana aku sudah tak mampu mengingatnya hingga tersadar sudah bangun diruangan ini.

Selama ini memanglah aku tinggal bersama bibi, adik dari ibuku yang sejak kecil mengasuhku sepeninggalnya orang tuaku. Walaupun banyak cacian dan kerap kali pukulan dia lakukan padaku, tetap saja tak mengurangi rasa sayangku untuk orang yang sudah banyak andil dalam membesarkanku itu. Namun kali ini aku tak menyangka bila ucapan lelaki itu benar bahwa bibi sudah menukarku dengan hutangnya, entahlah bagaimana lagi rasa yang tertinggal untuk bibi kesayanganku itu.

Aku melirik kearah lelaki yang masih memandangiku. Entahlah usianya berapa, tapi jujur saja wajahnya masih sangat tampan, matanya yang berwana kebiruan sepertinya memang bukan keturunan warga negara ini karena garis wajahpun lebih mirip orang luar.

"Habiskan!" Aku hanya diam saja, tanpa dia perintah aku pasti akan menghabiskannya. "Kamu mau apa lagi?" Kali ini menoleh kearahnya, kenapa bisa sikapnya menjadi hangat begini mengingat semalam dia seperti seorang iblis yang sedang dilanda amarah. "Mintalah apapun tapi jangan berharap untuk keluar dari sini."

"Tuan tidak sedang menyiapkan sesuatu untuk menghajarku lagi?" Dia tersenyum, sesaat aku terpana dengan senyumannya.

"Kenapa? Kamu ingin dihajar lagi?" Gegas aku menggeleng. Dia tersenyum lagi, sungguh sesaat aku lupa sakit karenanya. Aku gegas menggelengkan kepala untuk menetralkan fikiranku sendiri. "Akan kusuruh Vika untuk mengobati lukamu lagi " ucapnya lalu beranjak pergi keluar kamar.

Mau diapain nih si Sellena ya?
Btw, mereka masih berlanjut digoodnovel loh. Jangan lupa untuk mencari judul "budak hasrat"

Budak HasratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang