Episode 07

877 20 7
                                    

Hari ini adalah hari selasa, atau tepatnya hari kedua aku bersekolah di sini. Tante Ririn dan aku sudah mengenakan seragam rapi dan bersiap-siap untuk berangkat.

Mobil dinyalakan, aku langsung masuk ke dalam setelah Tante Ririn memanaskannya sebentar. Tak lama kemudian, kami sudah pergi menuju sekolah.

Di perjalanan, aku lebih banyak diam daripada mengobrol. Memandang hutan dan sawah di sepanjang perjalanan. Meski sudah beraspal, jalanan di desa tidak begitu ramai seperti di kota. Dengan begitu aku tak perlu lagi merasakan panas akibat terjebak kemacetan yang panjang.

Tante Ririn: "Kenapa, Rui? Daritadi kok cuma diem? Lagi ada yang dipikirin, ya?"

Suara Tante Ririn membuyarkan lamunanku.

Aku: "Eh, enggak Tante. Aku cuma sedang menikmati pemandangan desa yang berbeda jauh dengan di kota."

Tante Ririn: "Oh... Pemandangan disini memang enak dilihat, lebih memanjakan mata. Emang di kota gak kayak gitu, ya?"

Aku: "Enggak, bosen. Yang ada cuma gedung-gedung besar dan kemacetan. Aku gak suka lihat pemandangan kota."

Tante Ririn: "Tapi disini sepi loh, Rui. Kalo malem udah gak bisa keluar rumah karena gak ada pedagang makanan yang masih berjualan."

Aku: "Ga masalah, Tante. Aku justru lebih suka kesunyian. Rasanya lebih tenang."

Tante Ririn: "Bagus deh kalo kamu mulai nyaman tinggal di desa."

Obrolan berakhir, aku kembali melamun menatap keluar kaca. Kali ini yang kupikirkan adalah tentang cincin pemberian Arum yang sudah mampu kugunakan, tetapi aku masih belum tahu apakah hanya sampai sini saja kemampuannya?

"Aku harus mengeksplornya lebih jauh lagi." Batinku sambil memperhatikan cincin di jari manis tangan kiriku.

10 menit kemudian mobil telah masuk parkiran sekolah. Aku dan Tante Ririn segera turun, kemudian aku langsung bergegas menuju kelas.

Jam menunjukkan pukul 7:50 saat aku memasuki kelas. Masih ada 10 menit lagi sebelum pelajaran dimulai. Aku melihat para murid sedang mengerjakan sesuatu secara buru-buru. Terlebih Wulan dan murid cewek yang lain sedang mengerumuni siswa gendut yang belum kuketahui namanya itu.

Hanya Sarah yang kulihat tetap tenang duduk di kursinya sembari membaca novel. Aku pun segera menghampirinya lalu duduk di sampingnya.

Aku: "Pagi, Sar."

Sapaku ramah.

Sarah: "Pagi, juga. Rui."

Jawabnya sambil menoleh ke arahku sesaat, setelah itu kembali membaca novel kesukaannya. Meski begitu, aku merasa kali ini Sarah jauh lebih ramah dari kemaren. "Baguslah." Batinku.

Aku: "Mereka sedang apa?"

Tanyaku pada Sarah sambil menunjuk Wulan dan teman-temannya yang sedang mengerumuni siswa gendut.

Sarah: "Biasa, minta contekan. Wulan selalu memanfaatkan Dion saat ada PR matematika, karena dia yang paling pintar di kelas ini."

Aku: "Ah, jadi nama murid cowok itu Dion."

Gumamku lirih setelah mengetahui namanya dari Sarah.

Sarah: "Kamu sendiri gimana?"

Aku: "Apanya?"

Sarah: "PR matematika kemarin, udah dikerjain?"

Aku: "Udah dong, kamu?"

Sarah: "Udah juga."

Aku: "Bagus deh."

Tak lama kemudian bel berbunyi menandakan jam pelajar akan segera dimulai. Semua murid bergegas duduk di bangkunya masing-masing, kecuali Wulan yang masih sibuk menyalin jawaban PR matematika milik Dion.

Entah mengapa tidak ada satupun murid yang menegurnya, sehingga aku dengan terpaksa berdiri dari kursi dan menghampiri Wulan.

Aku: "Maaf, namamu Wulan, kan?"

Wulan menoleh serta menatapku tajam.

Wulan: "Kenapa?"

Aku: "Eng, sekarang sudah waktunya pelajaran, jadi tolong duduk di kursimu."

Ucapku berusaha sehalus mungkin.

Murid yang lain sontak menatapku, entah kenapa tatapan mereka terasa aneh seperti ada rasa takut pada diri mereka masing-masing.

Wulan: "Kau berani menyuruhku?"

Tanya Wulan dengan nada mengancam serta tatapan tajam.

Aku: "Eh, a-aku cuma mengingatkanmu kalau pelajaran sudah akan dimulai. L-lagipula, menyomtek itu tidak baik, bukan?"

?: "Siapa yang menyontek?!!"

Tiba-tiba suara keras terdengar, seluruh murid menoleh ke sumber suara yang ternyata milik Bu Tifa --wali kelasku sekaligus guru matematika--

Aku: "Eh, W-Wulan, Bu. Dia menyontek PR milik Dion."

Jawabku dengan enteng. Lagi-lagi semua murid menatapku ngeri, sementara Wulan hanya terdiam membisu.

Bu Tifa: "Apa benar kamu menyontek, Wulan?!"

Wulan: "I-iya, Bu."

Jawabnya takut-takut sembari menunduk.

Bu Tifa: "Kalau begitu, sekarang kamu berdiri di luar sebagai hukumannya."

Wulan tak menjawab lagi. Dia segera menaruh buku di mejanya setelah itu berjalan keluar kelas.

Bu Tifa: "Baik anak-anak, buka PR kalian masing-masing, ibu akan mengkoreksinya satu per satu."

Ucap Bu Tifa setelah Wulan meninggalkan kelas. Aku kembali duduk di kursiku.

Sarah: "Apa yang kamu lakukan?"

Bisik Sarah marah setelah aku kembali ke kursi.

Aku: "Eh, kenapa? Aku hanya menegur orang yang berbuat salah."

Sarah: "Justru kamu sedang dalam masalah sekarang!"

Bisik Sarah sekali lagi saat Bu Tifa sedang memanggil satu per satu murid untuk dikoreksi PR-nya.

Aku: "Apa maksudmu aku sedang dalam masalah?"

Sarah menepuk jidat, lalu menutup novelnya dan kembali menatapku.

Sarah: "Kamu tidak tahu sedang berurusan dengan siapa?"

Aku: "Wulan, kan?"

Sarah: "Hei, anak baru... Kamu tidak tahu siapa Wulan."

Aku: "Memangnya dia siapa?"

Sarah: "Huh, susah aku menjelaskannya. Yang terpenting jangan pernah jauh dari sisiku atau kau akan mendapat masalah."

Aku: "Aku tidak mengerti, sebenarnya masalah apa yang sedang kamu bahas, sih?!"

Bu Tifa: "SARAH!"

Nama Sarah telah dipanggil oleh Bu Tifa.

Sarah: "Nanti kau akan tahu sendiri."

Jawabnya sambil beranjak dari kursi membawa buku matematika.

Aku memandangnya dari sini sambil mencoba mencerna maksud perkataan Sarah yang sama sekali tak dapat kumengerti.

-bersambung-

My Lovely Sister 2: After MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang