9.Berani Mengakui

146 10 0
                                    


Monica dan Zello berjalan masuk ke dalam restoran kecil bernama Trattoria Da Papa yang terletak di kota Napoli, Italia. Wanita yang saat ini mengenakan jaket kulit hitam itu memeluk lengan Zello. Semua orang akan mengira jika Monica adalah kekasih Zello. Namun memang itu tujuan mereka agar mereka tidak menarik perhatian orang-orang.

Karena hari sudah sore sehingga hanya sedikit pengunjung yang datang. Tapi mereka berhasil menemukan seseorang yang mereka cari. Mereka melangkah menghampiri pria yang saat ini sedang menikmati pistachio ricotta tart. Monica dan Zello langsung duduk di hadapan pria itu.

"Lama tidak bertemu, Paman Elio." Monica tersenyum pada pria yang merupakan adik ayahnya itu.

"Monica, Zello?" Pria yang lebih muda lima tahun dari Dominico itu tampak terkejut.

"Akhirnya kami menemukanmu, Paman." Zello dengan seenaknya mengambil piring pistachio ricotta tart di hadapan Elio dan langsung memakannya.

"Ta-tapi bagaimana kalian bisa menemukanku?"

Monica tersenyum dengan bangga. "Berkat bantuan tunanganku. Mengapa Paman tidak kembali?"

"Apakah itu pertanyaan pertamamu untukku, Monica? Bukankah seharusnya kamu bertanya mengapa aku berkhianat pada Papa-mu?" Elio mengambil gelas berisi soda dan meminumnya.

"Aku tidak percaya Paman berkhianat pada Papa dan juga kami. Karena itu aku tidak menanyakannya." Monica menepuk tangan kakaknya dan mengembalikan piring pistachio ricotta tart yang sudah dimakan Zello sebagian.

"Kenapa kamu begitu yakin aku tidak berkhianat, Monica?" Elio memicingkan matanya.

"Aku mengenal Paman sepanjang hidupku. Jika Paman ingin berkhianat, tidak perlu menunggu hari ini. Pasti sejak dulu Paman sudah melakukannya. Dan satu hal lagi, Paman terlalu menyayangiku, mana mungkin Paman mengkhianati keponakanmu yang hebat ini."

Elio tidak bisa menahan tawanya mendengar ucapan Monica. "Keponakan kesayanganku ini memang sangat pintar. Paman memang tidak bisa mengkhianati keponakanku yang cantik ini."

"Lalu kenapa Paman tidak kembali?" tanya Zello.

Elio menyodorkan kembali piring pistachio ricotta tart kepada Zello agar keponakannya itu bisa menghabiskannya. "Karena aku dijebak. Meskipun kalian percaya padaku tidak melakukannya, tapi tidak dengan anggota Vittori yang lain. Terutama Massimo dan Silvano yang lebih percaya pada bukti."

"Dijebak? Siapa yang melakukannya?" tanya Monica penasaran.

"Aku masih belum mengetahuinya. Dia berusaha mengambil dokumen yang kubawa. Bahkan dia menyuap orang-orang Vittori sehingga aku terlihat seperti pengkhianat."

Zello berhasil menghabiskan kue itu dengan bersih. "Jika bisa menyuap orang-orang Vittori, artinya dia mendapatkan bantuan dari orang dalam."

Elio mengusap puncak kepala Zello. "Tepat sekali. Karena itu aku sedang memancingnya kemari."

"Memancingnya? Jadi Paman sudah memiliki rencana?" mata Monica berbinar mendengarnya.

Elio menganggukkan kepalanya. "Benar. Aku memang sudah memiliki rencana. Apa kalian mau bergabung?"

Zello melotot mendengarnya. "Jangan katakan kalau rencana itu adalah...."

"Dark maze." Monica memotong ucapan kakaknya.

Elio tersenyum mendengarnya. "Tepat sekali."

"Aku ikut." Monica mengangkat tangannya.

"Aku juga ikut." Zello pun sama bersemangatnya seperti sang adik.

"Kapan kita mulainya, Paman?" tanya Monica tidak sabar.

"Nanti malam. Kita akan memulai rencananya nanti malam." Elio pun tersenyum membayangkan rencananya bersama dua keponakannya.

***

Nino yang duduk di ruangannya sedang fokus ke layar komputer yang menampilkan desain terbaru mobil hypercar yang akan dibuat oleh perusahaan Marchetti. Rambutnya sedikit berantakan karena pria itu terus menyugar rambutnya saat menemukan sesuatu yang tidak cocok dengan keinginannya. Dia juga sudah melonggarkan dasi dan melepaskan satu kancing kemejanya agar tidak membuatnya terasa sesak.

Hingga akhirnya suara ketukan pintu terdengar. Nino meminta orang dibalik pintu untuk masuk. Pintu ruangan itu pun terbuka dan Jonas berjalan masuk.

"Signore, ada dua orang yang ingin bertemu dengan anda." Ucap Jonas sembari membenarkan letak kacamatanya.

Nino pun akhirnya mendongak dan mengalihkan perhatian dari pekerjaannya. "Dua orang? Siapa?"

"Dua kakak tunangan anda."

Seketika mata Nino melotot kaget mendengarnya. Dia ingat benar kakak-kakak Monica saat dia menjemput wanita itu.

"Suruh mereka masuk. Dan seduhkan kopi untuk mereka." Perintah Nino.

"Baik, Signore." Jonas menganggukkan kepala sebelum akhirnya berjalan kembali ke pintu.

Nino segera merapikan kancing dan dasinya. Dia juga merapikan rambutnya. Kemudian dia bisa melihat pintu ruangannya kembali terbuka. Kali ini Massimo dan Silvano berjalan masuk. Nino segera menghampiri mereka dan mengajak kedua kakak Monica untuk duduk ke sofa.

"Aku begitu terkejut dengan kedatangan kalian kemari. Apakah ada masalah dengan lokasi paman kalian?" tanya Nino cemas. Karena dia sudah membantu memberitahu keberadaan paman mereka. Sehingga Nino berpikir mungkin mereka tidak bisa menemukan Elio di tempat yang sudah Nino beritahu.

Sebelum Massimo menjawab, pintu ruangan Nino kembali terbuka. Terlihat Jonas berjalan masuk meletakkan dua cangkir kopi sebelum akhirnya beranjak keluar. Setelah tidak ada orang lain di ruangan itu, barulah Massimo angkat bicara.

"Kami kemari bukan karena masalah Paman Elio. Kami kemari karena kami ingin meminta maaf padamu." Massimo mengalihkan pandangan. Tidak mudah bagi pria dengan harga diri tinggi untuk merendahkan diri.

Nino memicingkan matanya. "Meminta maaf? Untuk apa?"

Silvano menghela nafas berat. "Karena kami bersikap buruk padamu. Kami tidak percaya kalau tulus ingin menikah dengan Monica. Karena sebelumnya kamu terus saja menolak adik kami. Mendengar kamu menerima lamaran Monica, membuat kami berpikir kamu memiliki niat tersembunyi pada adik kami."

Akhirnya Nino memahami mengapa kesan pertama kedua kakak Monica buruk terhadapnya. Kemudian Nino pun tersenyum pada Massimo dan Silvano.

"Aku pikir kalian tidak salah. Karena memang pada awalnya aku memiliki niat tertentu menerima lamaran Monica."

"Jadi benar kamu mau memanfaatkan adik kami?" Massimo pun hendak berdiri, tapi Silvano menahannya.

"Aku belum selesai bicara, Massimo."

Akhirnya Massimo berusaha tenang dan kembali mendengar ucapan Nino.

"Aku sudah mengatakan pada Monica jika aku membutuhkan bantuannya. Sebagai imbalannya, aku akan belajar untuk mencintainya. Dan setelah aku mengenal Monica, aku pikir tidak sulit untuk mencintainya. Karena aku sudah mulai menyukai Monica. Karena itu, aku harap kalian bisa percaya padaku sekarang."

Massimo dan Silvano terdiam mendengar ucapan Nino. Tidak ada tanda-tanda Nino sedang berbohong. Mereka berdua sudah sering berhadapan dengan banyak orang. Sehingga mereka bisa menyadari jika lawan bicara mereka berbohong atau tidak.

"Karena kamu tulus menyayangi adik kami, maka aku percaya padamu." Ucap Silvano membuat Nino tersenyum.

"Aku juga mulai percaya padamu. Tapi jika kamu menyakiti Monica, aku tidak akan tinggal diam," ancam Massimo.

"Tidak akan ada yang tahu masa depan seseorang, Massimo. Terkadang hubungan kami bisa diterpa masalah. Tapi aku tetap akan berjanji jika aku tidak akan pernah dengan sengaja membuat Monica menangis."

Massimo tersenyum mendengar ucapan Nino. "Aku suka dengan jawabanmu."

Akhirnya mereka berdua pun menikmati kopi yang sudah disediakan oleh Jonas. Lalu pembicaraan berubah ke arah bisnis. Nino memberitahu mengenai perusahaan Marchetti. Membuat ketiga pria itu bisa dekat.

***

Kesempatan Kedua Sang CEO (Terbit di FIZZO - TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang