Fetter

2.4K 81 4
                                    

       Aldrich menepikan mobilnya tepat di bahu jalan di depan pedestrian kecil. Ia menghela nafasnya perlahan lalu melirik Luvia di sampingnya yang nampak ketakutan dan gemetar. Tatapannya begitu teduh, ia lalu meraih tangan mungil Luvia dan menggenggamnya erat. Luvia yang agak tersentak menoleh dan menatap balik Aldrich. Genangan liquid bening menumpuk di pelupuk mata indahnya. 

      "Kau baik-baik saja, Lulu?" tanya Aldrich dengan suara yang begitu menenangkan. 

      Sontak saja hal itu membuat pertahanan batin Luvia runtuh. Tangisnya pun pecah, tangan kanannya meremas ujung roknya kuat-kuat. Kepalanya tertunduk membuat helaian rambutnya jatuh menutupi wajahnya yang kini basah oleh air mata. Aldrich yang menyaksikan itu merasa pilu. Hal buruk apa yang pernah menimpa gadisnya hingga kini ia begitu nampak terluka. Membayangkannya membuat dadanya penuh sesak. Rahangnya mengeras, ia tahu betul semua ini berhubungan dengan orang yang mengejar mereka tadi. 

      Aldrich lantas merengkuh tubuh Luvia yang bergemetar kedalam pelukannya. Ia mengusap pundak gadis itu seraya mengecup kepala Luvia penuh kasih. Perlakuan Aldrich tersebut membuat Luvia semakin meleleh dan menumpahkan semuanya. Tentu saja Aldrich tidak keberatan, ia akan melindungi Luvia dan membuat gadisnya merasa aman dan nyaman bersamanya. 

      Sudah kurang  lebih lima belas menit keduanya berada di dalam mobil. Luvia masih membisu dengan kedua mata yang sembab. Sementara Aldrich tak sedikitpun melonggarkan genggamannya pada jemari Luvia. Keduanya hanya menatap jalanan di depan mereka yang sepi melompong. Hanya ada deretan pertokoan kecil serta lampu-lampu jalan yang berbaris menghimpit di dua sisi jalanan kecil itu, serta sebuah pohon besar yang daunnya mulai kecoklatan. Tentu saja, ini sudah memasuki bulan September, sudah tiba saatnya bagi sang musim merah hadir. Tak lama sehelai dedaunan pohon yang kecoklatan jatuh gugur dengan anggun dari pohon besar di hadapan mereka dan mendarat tepat di atas kap mobil milik Aldrich. 

      "Huh?" Luvia melenguh pelan.

       Keduanya lantas tertegun menyaksikan dedaunan lainnya yang mulai beriringan menyusul terjun dari dahan-dahan mereka. Tak ada sepatah kata pun yang keluar sampai beberapa saat kemudian Luvia yang sedari tadi hanya terdiam dan terisak mulai bersuara.

      "Sangat cantik ... " ujarnya seraya tersenyum tipis.

      "Benar, sangat cantik." sahut Aldrich yang lalu mengalihkan pandangannya pada Luvia. Ia menatap Luvia dengan tatapan yang dalam lewat kedua mata teduhnya.

      Luvia hanya tersenyum "Aku ... ingin sekali seperti pohon yang kokoh. Yang setelah melewati beberapa musim, akhirnya bisa menggugurkan dedaunannya yang nampak rapuh dan rusak. Aku ingin bisa menggugurkan ingatanku yang buruk dan menyakitkan. Agar bisa menghadapi musim dingin selanjutnya, lalu memulai lembaran baru di musim semi." tukas Luvia dengan suara yang bergetar menahan sesak yang kembali menyeruak di dalam hatinya. 

      "Kau bisa, aku tahu kau bisa." ujar Aldrich.

       "Bisa kah? Tapi selama ini nyatanya aku tetap tenggelam dalam luka itu." lirih Luvia seraya kembali menatap keluar mobil menyaksikan dedaunan kering yang terus berjatuhan.

      Tangan kokoh Aldrich lalu meraih wajah Luvia dan membuatnya menghadap dirinya lagi. Kedua mata biru langitnya bergantian menatap kedua batuan hazel milik Luvia. Jemarinya yang besar lalu mengusap lembut pipi Luvia. Perlahan jemari itu berpindah membelai pucuk kepala Luvia serta helai demi helai rambutnya.

      "Dulu kau melaluinya sendiri, tapi sekarang kau punya aku Lulu. Aku daddy-mu, dan aku akan menjagamu, menenangkan mu, kau tidak perlu takut lagi. Aku akan selalu menggenggam tanganmu." tutur Aldrich diiringi senyuman yang hangat.

Daddy's LittleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang