Pagi menyapa dan rumah mewah keluarga Manoban tampak begitu sunyi pagi ini, tidak ada percakapan hangat di meja makan yang biasanya dilakukan oleh sepasang suami istri yang sudah hidup selama lebih dari tiga puluh tahun bersama, tapi aroma sedap dari dapur tetap tercium, seperti biasanya.
Suara langkah kaki terdengar dari lantai dua, anak bungsu keluarga Manoban turun dari kamarnya dengan langkah pelan, kedua tangannya berada di dalam saku celananya, dia memakai pakaian yang sudah rapi meski mata lelahnya tidak dapat membohongi eskpresi wajahnya.
Lisa menatap ayahnya yang termenung di meja makan sedangkan ibunya berkutat di dapur, seperti tengah mengaduk sesuatu yang Lisa yakini adalah sarapan mereka.
Gadis jangkung itu menghela nafas dan menghentikan langkahnya pada anak tangga terakhir, hatinya terenyuh begitu melihat bagaimana rapuhnya ayah kandungnya, Marco, terlihat kacau dengan kantung mata besar yang menghiasi wajahnya.
Lisa yakin orang tuanya tidak dapat tidur nyenyak, dia juga sama, sepanjang malam rasanya dia gelisah diatas ranjangnya, mungkin dia baru benar-benar terlelap dua atau tiga jam yang lalu sebelum matahari menyapa.
Rasa menyesal sedikit menyelinap di dalam hati gadis jangkung itu, selain memikirkan kakaknya yang sudah tiada, dia juga memikirkan Jennie, seharusnya dia tidak meninggalkan gadis itu sendirian di apartemen, Lisa tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang karena dia tidak repot-repot untuk menghubungi Jennie, begitupun sebaliknya.
Rencananya pagi ini Lisa akan pergi ke kantor, tim investigasi sudah berada disana dari hari Limario dinyatakan meninggal, hari ini Lisa akan menemui mereka setelah menghampiri Jennie di unit apartemen untuk mengantar sarapan mungkin.
Lisa perlahan menarik kursi meja makan tanpa suara, dia duduk disana, menatap ayahnya yang hanya diam, melamun, menatap entah kemana, ini sama sekali bukan Marco yang selalu mendidik anaknya dengn tegas dan berwibawa.
Alasan kenapa Lisa paling sedikit mengeluarkan tangisannya kemarin mungkin adalah didikan ayahnya, baik Limario ataupun Lisa, mereka dibesarkan oleh Marco yang sangat tegas dan disiplin tanpa membedakan gender putra putrinya, semuanya di pukul rata.
Seumur hidupnya, Lisa tidak pernah sekalipun melihat Marco meneteskan air matanya tapi pertahanan pria itu runtuh begitu mengetahui putranya meninggal, terlebih karena pembunuhan berencana, dia merasa separuh jiwa nya hilang, dia menangis, meraung, berlutut di hadapan jasad Limario yang sudah terbujur kaku saat di rumah duka.
Apalagi ibu kandungnya, dia juga merasakan kesedihan yang sama, tangisannya sama keras nya seperti Marco, dan yang bisa dilakukan sepasang suami istri itu hanyalah saling menguatkan, mereka juga banyak memeluk Jennie.
Lisa menjadi penenang diantara ketiganya baik dirumah duka maupun di pemakaman, meski dia juga cukup histeris saat peti akhirnya ditutup dan menyatu dengan tanah, tapi dia yang harus menjadi sedikit lebih tegar untuk orang tuanya dan juga, Jennie.. gadis itu tidak memiliki siapapun selain keluarga Manoban.
Lisa membasahi bibirnya, dia menoleh pada ibu kandungnya yang kemudian menyajikan makanan untuk mereka, Janchi guksu.
"Mommy sudah menyiapkan untuk Jennie, antarlah untuknya sebelum kau pergi ke kantor nanti." Lisa berdehem, dia meraih sumpitnya dengan ragu untuk memakan sarapannya karena Marco tidak bergeming, sejujurnya, perutnya sudah cukup lapar sekarang.
Kemarin saat kembali kerumah, Lisa tidak memakan apapun, dia sedikit menyesali keputusannya karena dia tidak membeli makanan yang sama dengan Jennie karena ternyata tidak ada makanan apapun dirumah, yang dia dengar hanyalah isakan tangis kedua orang tuanya dari dalam kamar, dan hal itu membuatnya langsung naik ke atas kamarnya, beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
KILLED LOVE - JENLISA [G×G]
FanfictionHal yang tidak pernah Jennie duga sebelumnya adalah tunangannya, Limario, terbunuh pada saat melakukan rapat di kantornya hanya karena meminum teh yang ternyata memiliki sianida di dalamnya. Jennie sangat terpukul dengan kejadian traumatik dalam hid...