Michelle POV
Rasanya ada yang menggelitik hatiku ketika melihat Alana tertawa riang bersama Karin, sebulan berlalu semenjak ibuku meninggal aku belum kembali untuk bekerja. Begitu juga komunikasi yang terjalin antara aku dan Dira yang akhir-akhir ini mulai tersendat. Entah kenapa, akupun masih mencari tahu jawabannya.
Rencanaku memang kembali mengajak Alana untuk tinggal di Jakarta, walaupun harus menyewa pengasuh dan aku ingin membawa serta Karin juga. Aku tidak ingin dia tinggal bersama kenangan-kenangan setelah ibu berpulang.
Sebagai anak tertua, menjadi tanggung jawabku untuk bisa menjaga Karin sebagai adikku. Aku menyarankannya untuk meminta pindah tugas ke cabang perusahaannya di Jakarta. Tinggal satu tahap lagi, lalu Karin akan tinggal bersamaku.
Mas Abi yang selalu ada, menjadi Bapak yang siaga untuk Alana aku harus bersyukur untuk itu. Tapi, kenapa yang aku pikirkan sekarang hanyalah Dira?
Tidak ada tanda-tanda Dira menghubungiku, mungkin aku yang harus memulainya untuk saat ini. Tetap, tidak ada jawaban disana. Chat yang aku kirim beberapa lalu pun tidak dibalasnya.
What's going on ?
Navaya POV
Tok..Tok..Tok..
"buka pintunya Dira".
Aishh sudah beberapa menit aku berdiri didepan pintu apartemen Dira, dia memintaku untuk menjemputnya.
"berisik banget". Jawab Dira sembari membuka pintu dengan memakai handuk kimono beserta rambutnya yang masih terlihat belum dikeringkan.
"astaga, berantakan banget". Aku memandang sekeliling ruangan terlihat beberapa sudut yang berantakan. Maksudku adalah menghindari pandanganku pada tubuh Dira yang bisa saja jika terus melihatnya, Dira akan menjadi santapan(?)ku.
"too much, gak segitunya". Aku tersenyum, memang tidak seberantakan apa yang aku ucapkan hanya saja ya begitulah, bohong jika aku tidak tertarik padanya.
"mau kemana? Pagi-pagi ganggu orang tidur aja, boleh tidur lagi kan?". Aku merebahkan diri di sofa yang menghadap ke arah televisi.
"kemana aja". Ucap Dira yang datang dari arah dapur sambil membawa dua kotak susu low fat.
"ya gak bisa kemana aja, harus ada tujuan. Thanks". Aku menyambut uluran tangannya menerima si susu low fat itu.
"Lombok, maybe". Aku tersedak, bagaimana bisa aku mengurangi kadar perasaanku jika kamu yang tidak mudah ditebak seperti ini terus membuatku menaruh perasaan lebih banyak.
"seriously, Dira". Kataku tidak percaya.
"No., i'm joking". Sigh, hampir saja aku mempercayai perkataannya. Dira memintaku bergeser untuk duduk disebelahku.
Rambutnya masih basah, terlihat beberapa bulir air yang terjatuh dari rambut yang sama sekali belum dirapihkan.
"Nav". Panggilnya pelan.
"hmm". Sambil meneguk kembali susu kotakku, aku sedikit menggeser lagi tempatku duduk.
"seberapa besar kamu suka sama aku".
"what?". Refleks yang benar-benar tidak bisa aku kendalikan.
"seberapa besar perasaan kamu terhadap aku". Kembali melontarkan pertanyaan yang sama, malah membuatku semakin mengerutkan dahiku.
"what are you talking about? Hey". Aku menghadapkan badanku pada Dira, Dira pun melakukan hal yang sama padaku. Kami saling berhadapan. Aku merasa sedang ditodongkan pedang melalui tatapan matanya.
"apa yang membuatmu ada disini sekarang,Nav?".
"kamu minta aku kesini kan?". Aku malah memberinya pertanyaan balik.
"kalau aku gak minta, apa kamu gak bakal kesini". Aku meraih tangan Dira, terasa dingin. Aku menggenggamnya.
"Dira, mau kamu minta aku kesini ataupun nggak. Aku akan tetap ada disini".
Dira membuang tatapannya, kembali mengarah ke televisi. Aku turun dari sofa, berlutut untuk menghadap wajahnya. Tanpa kata, aku meminta Dira untuk menatapku.
"bertahun-tahun seperti ini, apa kamu terlalu buta untuk merasa? Aku melakukan apapun untuk kamu, apakah itu tidak cukup untuk memenuhi kriteria perasaan menurutmu?". Mataku berkaca-kaca, namun mata Dira mulai menurunkan bulir-bulir air matanya.
"jika kamu bertanya, apakah aku menaruh perasaan. Apakah aku menyayangimu? Yes of course, i love you more than you know". Suaraku bergetar, aku tak mampu menahan jatuhnya air mataku. Setelah sekian lama aku memendamnya.
"kenapa?".
"aku hanya berharap suatu hari, pintu hati kamu bisa terbuka untukku Dira. Aku gak mau dibayangi siapapun dalam hidup kamu".
Tangan Dira yang dingin menyentuh pipiku, menyeka bulir air mata yang mulai terjatuh tak beraturan.
"aku hanya mau membuat kamu nyaman selama disisi aku, kenapa aku tidak pernah mengungkapkan perasaan aku. Setelah kamu menghindari aku akhir-akhir ini". Entah mengapa, walaupun kami sering bersentuhan rasanya sentuhan Dira diwajahku kali ini berbeda. Aku merasakan ketakutan disana.
Membeku, aku tak bisa lagi mengeluarkan kata-kata se-lancar tadi rasanya mulutku terkunci rapat. Dira tak berhenti menatapku dengan mata sendunya, aku semakin bertanya-tanya ada apa dengan dirinya.
Dira POV
Pergolakan batinku dimulai semenjak kepergian Michelle ke kampung halamannya. Melihatnya bersama suaminya, bersama anaknya mulai mempengaruhi caraku berpikir bagaimana diriku ditempatkan didalam hubungan kami. Bagaimana jika selama ini aku salah, kembali bertemunya adalah kesalahan keduaku.
Nava adalah satu-satunya orang yang berada didekatku selama bertahun-tahun aku mencoba untuk membuka hati pada laki-laki, entah sudah berapa banyak saat itu sebelum Michelle kembali hadir kedalam hidupku.
Saat ini yang aku butuh hanya Nava, Nava yang saat ini adalah seseorang yang dengan lantang mengungkapkan perasaannya padaku. Beberapa waktu lalu, ketika aku berbicara memberitahunya bahwa Michelle memintaku untuk kembali padanya.
Responnya diluar dugaanku, Nava mulai menjaga jaraknya saat itu. Susah aku temui dimanapun tempat yang sering kita datangi bersama.
"i need you, Nav". Aku meraih wajahnya, menariknya mendekat lalu mengecup bibirnya. Walaupun dengan air mata yang masih sedikit mengalir diwajahku. Aku memejamkan mataku, tak peduli jika Nava mendorongku untuk menjauh. Satu, dua hingga lima detik aku rasa tidak ada respon apapun. Aku menarik wajahku memberi Nava jarak.
Namun tangan kanan Nava menarik tengkukku, kembali untuk tidak memberikan jarak antara aku dan dirinya. Hanya udara yang tersisa ketika untuk kedua kalinya, setelah beberapa saat yang lalu aku merasakan lembut bibirnya.
Untuk sesaat aku menemukan kenyamanan diantara kecupan-kecupan yang Nava berikan padaku. Rasa nyaman itu membuatku menginginkan hal yang lebih dari sekedar kecupan. Aku menarik dan mendekap tubuh Nava, lagi-lagi tak mau jika jarak masih ada diantara kami berdua.
Bersamanya kini, batinku seolah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. I need you, Nava.
Song :
Sam Smith – Fire on Fire
Taylor Swift – Ivy
Sofia Carson – Comeback Home (OST Purple Hearts)