DIRA POV
Kembali ke rutinitas, sebuah keputusan yang sangat berat ketika aku harus menanggalkan seragam kehakiman demi berlari dari kenyataan. Meminta kembali pengertian dari orangtua bahwa yang aku inginkan bukan seperti apa yang ada didalam kepala dan mata mereka.
Aku tidak tau mengapa manusia seperti dia bisa mengubah segala hal didalam hidupku termasuk meninggalkan apa yang dulu aku suka menjadi sesuatu yang aku hindari. Pulang ke negeri asal dengan membawa bekal ilmu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan hukum. Ekonomi dan manajemen menjadi pilihan yang benar-benar sangat aku minati ketika aku memutuskan pergi.
"Papa ikut kamu saja. Kamu sudah bisa membuat keputusan kamu sendiri. Dengan perginya kamu ke Jepang Papa berjanji tidak akan memaksakan keinginan Papa pada anak-anak Papa. Selama mereka tidak emngacau dimanapun mereka berada".
Sudah dua malam aku berada dirumah, sengaja aku merindukan kamarku. Kami sarapan dalam satu meja. Iya aku, Papa dan Mama.
"Mama mau yang terbaik untuk kamu dan adik-adik kamu apapun yang kamu ambil di Jepang jurusan apapun selama kamu bisa memanfaatkannya dengan baik dan kamu menikmatinya Mama tidak masalah". Aku mengangguk.
"senin aku udah masuk kantor Pa, Ma. Minggu kemarin interview aku keterima jadi HRD".
"awal yang baik, kasih tau perkembangan kerjaan kamu sama Papa. Kita bisa makan siang bareng lagi". Papa tersenyum, senyuman yang tulus. Sementara mataku berkaca-kaca.
"waktu Papa lebih banyak buat makan siang, jadi Papa bisa ngajak aku lunch didekat kantor aku".
"nanti Mama siapkan buat kalian makan siang bareng ya".
"Ma, Ma". Ucapku dan Papa bersamaan menolak Mama yang akan menyiapkan makanan.
"iyaa, iyaa Mama becanda. Kalian sensitive banget".
Keadaan rumahku menghangat, kembali seperti dulu dengan adanya aku dirumah ini. Eh adik-adikku sekarang berada dirumah juga mereka sudah selesai menempuh pendidikannya.
"pagi semuanya". Mata kami tertuju pada asal suara dilantai dua melihat kedua adikku masih dengan muka bantal menyapa kami, sementara jam sudah menunjukkan pukul sepuluh.
AUTHOR POV
Michelle, Alana dan Ibunya turun dari sebuah mobil disusul Abimanyu turun lalu membuka bagasi yang berisikan beberapa koper besar. Dibantu security, Apartemen Michelle kali ini berada dipusat kota Jakarta. Sebelum pulang, Michelle memutuskan untuk menjual Apartemen lama dan menjadikannya deposito.
"Ma, gedungnya tinggi banget". Alana menunjuk Gedung diseberang Apartemen kami.
"tinggi banget ya sayang?". Alana mengangguk antusias.
"Bu, nanti isitrahat dulu ya. Nanti aku keluar belanja sebentar habis itu masak buat makan malam".
"delivery aja, kamu pasti capek. Biar semua istirahat dulu".
Michelle mengangguk, mereka bertiga memasuki lift lebih dahulu sementara Abi mengurus koper-kopernya dibawah.
Tiba dilantai empat belas, apartemen dengan dua kamar yang aku beli dengan cicilan cukup waw harganya ini sudah Michelle dapatkan. Tabungan beserta deposito yang Michelle punya hampir terkuras tak bersisa. Walaupun mendapatkan uang bulanan dari Abi, Michelle menabungkannya atas nama Alana jika sewaktu-waktu keadaan mendesak.
"selamat datang dirumah baru sayang". Abi membuka kunci pintunya, terlihat ada ruangan tamu beserta sofa dan ada televisi berlayar cukup besar disana.
"waaaaaa Lana tinggi". Alana diturunkan dari gendongan Michelle dan berlarian diruangan tamu.
"Bu duduk dulu, aku cek kamar dulu".
Abi dan Michelle berjalan menuju ruangan yang dipakai untuk kamar tidur.
"gimana?". Tanya Abi sambil membuka gorden kamar.
"bagus, mungkin Alana tidur disini sama aku. Ibu dikamar satu lagi, Alana butuh pemandangan". Abi mengangguk, mengecek satu persatu furniture yang berada didalam kamar.
"ini kamar utama, kamar mandinya ada didalem walaupun kecil. Kamar satu lagi gak ada kamar mandinya".
"iya gak apa-apa Mas mungkin nanti yang lebih sering dipakai yang diluar".
"aku tidur sebentar boleh?". Abi melepas kaus kakinya menaiki tempat tidur berukuran queen itu.
"iya tidurlah". Michelle keluar kamar, membiarkan Abi beristirahat lalu mengecek ruang kamar satu lagi yang akan ditempati oleh ibunya.
Mengecek furniture dan sirkulasi udara, dirasa Michelle sudah cukup. Lalu Michelle menghampiri Ibunya yang duduk bersama Alana yang tertidur dipangkuan Neneknya.
"bu, udah bisa istirahat tidur dulu, Alana biar aku tidurin dikamar sama Mas Abi".
"iya, ibu istirahat ya Nak".
Michelle mengantar ibunya kekamar untuk berisitrahat setelah menidurkan Alana bersama Abi. Michelle pun mengambil dompet beserta kunci mobil Abi untuk berbelanja kesupermarket.
Sejenak Michelle memandang kearah kaca besar yang memperlihatkan pemandangan Gedung-gedung tinggi yang akan kembali menjadi biasa dimatanya.
Menaiki lift, Michelle turun ke tempat parkiran Apartemen dia memainkan kunci mobil ditangannya.
Pandangannya tertuju pada seseorang yang baru saja turun dari mobil setelah mendapat tempat parkir, langkahnya terhenti matanya membulat sesaat lalu kembali seperti biasa. Susah payah menelan salivanya.
Seakan dunia berhenti berputar, keduanya saling bertatap tidak lebih dari sepuluh detik kemudian Michelle tersenyum.
"hai".
"hey, disini?". Michelle mengangguk pelan, tak ada yang berubah. Dia masih hangat. Dira mengulurkan tangannya lebih dulu, tanpa ada rasa ragu sedikitpun Michelle menyambutnya.
"nice to meet you, lagi". Dira tersenyum.
"tinggal disini?". Michelle melepaskan tangannya menyadari terlalu lama ia menyambut uluran tangan Dira.
"iya, takdir membawaku kesini. I don't know how. Ini diluar ekspektasi aku". Michelle menggenggam erat kunci mobilnya.
"begitulah cara tuhan bekerja. By the way aku naik dulu". Dira berpamitan, seakan tak ingin berlama-lama berada disana.
Bagaikan bermain peran, sebaik-baiknya cerita adalah skenario Tuhan. Alur yang paling baik adalah waktu dalam kenyataan. Mundur melihat masa lalu atau maju melihat masa depan adalah sebuah pilihan. Terjebak atau pergi adalah sebuah keharusan.