1 - Minha Vida

122 17 9
                                    

Sa Ra, akan atau mungkin ingin selalu berprasangka baik pada Tuhan. Sesakit apa pun duri yang tengah ia pijak, takkan bisa ia hindari karena seperti inilah hidupnya, mau bagaimana lagi.

Tidak ada hari untuk bernapas, atau sekedar bermain-main bersama teman. Semuanya terasa berjalan begitu cepat. Namun tidak pada perubahan hidup Sa Ra yang selalu begini-begini saja dan terasa lebih lambat dari orang lain. Sehingga ia berharap akan lebih baik jika dunia ini hancur lebih cepat.

Ia terus bekerja dan bekerja, menghasilkan uang dari jerih payah tanpa mengeluh sama sekali, karena baginya untuk apa ia mengeluh. Toh keadaan akan tetap sama, mengeluh atau tidak, tidak ada yang berubah sama sekali.

Beberapa waktu lalu ada banyak piring kotor, namun Sa Ra mulai menyunggingkan kedua sudut bibirnya ketika ia sedikit lagi selesai. Ah, sebaiknya sore ini aku pergi menikmati angin sore di dekat Sungai Han, pasti menyenangkan sekali. Begitulah batinnya berkata.

Namun kedua netranya tiba-tiba saja berubah lesu tatkala setumpuk piring kotor kembali bertambah—diletakkan begitu saja oleh pelayan lain hingga menimbulkan bunyi benturan dari piring-piring kotor tersebut.

"Sa Ra-ssi, tolong ya." Katanya buru-buru.

Sa Ra tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun, ia bahkan tidak mendongak untuk sekedar menoleh. Ia hanya memandang sendu ke arah piring kotor tersebut. Berapa banyak lagi piring yang harus kucuci?

Tiba-tiba saja sekelebat keinginannya tentang menikmati angin sore di tepi sungai Han sirna, karena tidak ada waktu untuk menikmati hidup. Setiap detik dalam hidupnya adalah tentang uang, uang dapat membantunya untuk bertahan hidup. Itu saja, seharusnya Sa Ra sadar dan tidak seharusnya ia berharap lebih pada takdir, karena ia memang ditakdirkan untuk selalu bekerja keras. Tidak ada tempat untuk mengadu, tidak ada tempat untuk istirahat. Ia hanya mengandalkan dirinya sendiri, tanpa mengeluh dan jangan mengeluh.

Fatal, jika seandainya ia bersikeras untuk marah pada Tuhan.

**

Sa Ra berpamitan pada rekan kerja yang lain, restoran sudah tutup. Hari pun sudah malam, rumahnya tidak begitu jauh, tetapi jika ia pulang dengan berjalan kaki setidaknya ia membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai ke rumah.

"Rumah?" Sa Ra yang tengah menatap kosong ke arah permukaan jalan yang basah, tertawa tipis tatkala mengucapkan kata rumah. Sebab baginya, rumah itu tidak ada. Tidak ada rumah sebagai tempatnya pulang.

Kondisi Sa Ra saat ini tengah kelelahan, karena restoran ramai. Dan ia harus bekerja lebih untuk mendapatkan upah lebih pula, seharusnya ia pulang pada sore hari, namun Tuhan sedang baik, memberinya tambahan uang hari ini hingga bekerja sampai malam hari.
Sudah tidak ada orang lagi di restoran ini, semua orang sudah pulang, memakai payung, ataupun berlari bersama pasangan dan berlindung di bawah jaket tebal.

Tatapan kosong Sa Ra tadi kini telah memperhatikan rintik hujan sembari menadahkan satu tangannya ke udara, agar telapak tangannya dapat merasakan rintik hujan.

Kemudian ia mengambil sesuatu di dalam tas selempang miliknya. "Haruskah kau kugunakan hari ini?" Katanya setelah meraih dompet kecil dari dalam tas.

Hujannya deras, jika ia tetap menunggu, kemungkinan butuh satu jam lagi agar hujannya berhenti, jadi mau tidak mau Sa Ra harus naik taksi paling tidak, karena bus kota sudah tidak ada.
"Sebaiknya tidak." Ia mengurungkan niat dan memasukkan kembali dompet tersebut ke dalam tas.

You Can CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang