Bagian 1: Pertemuan

6 0 0
                                    

Elfinata Cantika namanya, perempuan berambut pendek bermata hitam pekat, hidungnya tidak mancung, kulitnya berwarna kuning langsat, dan bibirnya tidak merekah merah alami seperti perempuan kebanyakan. Ya, dia, Elfinata, perempuan berumur tujuh belas tahun, kelas 11 Sekolah Menengah Atas. Dalam seumur hidupnya, tidak ada satu pun laki-laki yang tertarik olehnya. Jika ada satu atau dua orang menghampiri perempuan itu, mereka bukanlah menanyainya, melainkan menanyai kakak perempuannya, Mutiara.

Biasanya akan ada percakapan seperti....

"Permisi, maaf ganggu, bisa kamu sampein ke Mutiara tentang ini?"

Atau....

"Gue boleh minta nomornya Mutiara, lo adiknya bukan?"

Bisa saja....

"Gimana sih Mutiara kalau di rumahnya?"

"Kalau boleh tahu, makanan kesukaan Mutiara itu apa?"

Ya, tidak ada yang menarik dari Elfinata, benar, tentu saja. Alam semesta menciptakan perbedaan tiap makhluk-makhluknya, perbedaan tentang cantik dengan yang buruk, perbedaan tentang pintar dengan bodoh, juga perbedaan tentang baik dengan jahat. Tidak mengapa, Elfina berusaha tidak berpikir macam-macam, toh, ia tidak pernah berharap apapun, kebahagiaan perempuan itu begitu sederhana.

Ya, sederhana....

....sebuah definisi mengenai hal umum yang mudah didapatkan.

Elfina bahagia bisa menikmati kopi dingin di rumah ketika hari sedang terik, Elfina bahagia bisa berada di dalam kamar yang hangat dengan fasilitas kuota memadai sehingga ia bisa menonton series kesukaannya seharian, Elfina juga bahagia bisa menikmati makanan manis dan pedas jikalau ia menginginkannya. Untuk itu, Elfina selalu beranggapan dia tidak cantik, maka tidak akan ada rasa suka dari lawan jenis. Sederhana dan mudah. Meski rasa iri antar 'sesama perempuan' akan datang begitu saja, masuk, menyelinap, dan diam-diam memenuhi rongga dada Elfina, perempuan tersebut akan berusaha keras mengenyahkannya.

Sampai, ada hari di mana Elfina melihat sepasang mata kelam itu. Lelaki culun, berkacamata, disertai rambut kelimis yang rapih. Lelaki aneh yang dengan mudah masuk ke dalam kehidupan Elfinata begitu saja.

"Sebentar ya, kalau mau nanya tentang nomor Kak Muti, gue harus nanya dulu sama dia, boleh ngasih atau nggak." Elfina berujar tanpa perlu mendengar pertanyaan si empunya terlebih dahulu. Kepalanya tertunduk, kedua tangannya mengacak, mencari ponsel butut di tas sekolah miliknya. Setelah berhasil menemukannya, tanpa menyembunyikan perasaan lega, Elfina bernapas ringan. Ia mulai membuka aplikasi pesan.

"Bukan." Di tengah-tengah keheningan antara mereka berdua, ketika Elfina sedang mengetik. Suara khas lelaki terdengar di indera Elfina begitu saja. Secara spontan Elfina mengangkat kepala, menyorot lurus.

"Hm?"

"Bukan nomor Mutiara."

Dahi Elfina berkerut tidak paham. "Maaf?" Padahal sepertinya mereka seumuran, dengan tidak sopan, lelaki itu menyebut kakak perempuan Elfina tanpa embel-embel. Sepasang mata mereka bertemu, dan entah karena apa, suasana berubah menjadi lebih terhembus helaian angin halus, menerbangkan beberapa helai rambut mereka. Jika diibaratkan dengan cerita novel picisan, mereka menyebutnya, waktu seolah berhenti bekerja.

"Gue mau minta nomor lo."

Elfina refleks mengerjap. "Lo bilang apa tadi?"

Lelaki itu menghembuskan napas berat, suaranya mulai terdengar lebih berat dan penuh penekanan. "Nomor. Lo."

"G-Gue?"

Dia mengangguk.

Elfina tersenyum kikuk setengah tidak percaya. "Ma-maksudnya nomor gue?"

Sekali lagi dia mengangguk tanpa terlihat keraguan di sana.

"A-ahh m-maaf, ka-kalau mau deketin Kak Muti, langsung aja deketin dia, nggak usah pake perantara gue."

"Gue mau deketin lo."

MysteriousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang